Surat Ali Imran ayat 103 menyebutkan, ”Berpeganglah kalian semua kepada ikatan Allah ('hablil-lâh') secara keseluruhan”. Dalam konteks Indonesia, ”hablul-lâh” tiada lain adalah Pancasila.
Oleh
FAUZ NOOR
·4 menit baca
Dalam wacana keislaman yang sedang populer dewasa ini, yakni asal-usul Islam atau keislaman awal, problem yang menjadi perhatian serius adalah persoalan sumber yang membentuk pemahaman tentang Islam yang kita kenal sekarang ini. Salah satu buku yang mencoba membahas wacana ini adalah Muhammad and The Believers: A The Origin of Islam (2010) karangan Freed M Donner.
Tentang ”sumber”, Donner menulis, ”Masalahnya adalah bahwa gambaran detail mengenai karier Nabi Muhammad ini digambarkan bukan dari dokumen atau bahkan cerita yang bertitimangsa dari masa Nabi Muhammad, tetapi dari sumber-sumber literatur yang ditulis atau dikumpulkan beberapa tahun—bahkan abad—kemudian.
Ujaran Donner itu kiranya bisa diterima mengingat tafsir Al Quran dan hadits pun mulai digarap kaum Muslim—sampai berbentuk buku atau teks—pada masa satu abad setelah Rasulullah SAW wafat. Tafsir dan hadits inilah yang kemudian membentuk pemahaman tentang Islam seperti yang banyak diyakini dewasa ini.
Hanya saja, ada satu dokumen yang menurut profesor sejarah di Universitas Chicago ini yang bisa dipandang valid, yakni ”Piagam Madinah”. Ia menulis, ”Dokumen aslinya telah hilang… Sehubungan teks-teks literatur yang disusun seabad atau lebih setelah Nabi Muhammad wafat, orang dapat bertanya mengenai otentisitas dari teks tersebut. Akan tetapi, konsesus sarjana berkata bahwa Piagam Madinah (Dokumen Ummat) adalah transkripsi yang cukup akurat mengenai dokumen awal yang aktual.”
Piagam Madinah adalah dokumen otentik dan valid (sahih). Hanya saja, malangnya, dalam kitab-kitab tafsir klasik, dokumen penting ini seperti luput dalam pembahasan. Tak ada ayat yang bisa dipandang secara tegas bercerita atau menunjuk kepada Piagam Madinah.
Seolah-olah, Al Quran tak pernah merespons dokumen sepenting ini. Saya sebut ”penting” karena Piagam Madinah merupakan pengejawantahan semangat syura atau musyawarah, dan juga berisikan semangat perdamaian dan persatuan yang merupakan jantung dari ajaran Al Quran (rahmatan lil-‘alamin).
Ikatan Allah
Saya ingin mengajak pembaca untuk merenungkan surat Ali Imran ayat 103. ”Berpeganglah kalian semua kepada ikatan Allah (hablil-lâh) secara keseluruhan”. Para mufasir memahami ”ikatan Allah” dalam ayat ini dengan ”agama Allah (dînul-lâh)”. Sebab, turunnya ayat ini, suku Aus dan Khajraj, bertengkar kembali setelah dihasut oleh orang-orang Yahudi, mereka kembali saling benci dan bermusuhan, turunlah ayat ini supaya mereka berpegang teguh kepada agama Allah.
”Dan ingatlah atas nikmat yang telah Allah anugerahkan kepada kalian, ketika kalian dahulu bermusuh-musuhan, (oleh Allah) hati kalian dilembutkan, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara. Kalian (dahulu) berada di tepi jurang neraka, lalu (Allah) menyelamatkan kalian. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya kepadamu, supaya kalian mendapat petunjuk.” ”Agama Allah” ini tiada lain adalah al-Islâm.
Kita mesti melakukan penafsiran yang antroposentris agar Al Quran lebih membumi bagi kehidupan umat manusia.
Lazim dalam kitab-kitab Tafsir klasik, penafsiran sering kali bercorak teosentris. Yang melembutkan hati sehingga bisa bersaudara adalah Allahu Ta’ala atau agama Allah. Tentu saja, secara hakikat adalah benar demikian. Allahu Ta’ala adalah yang menyebabkan segala. Hanya saja, seperti disuarakan para pemikir Muslim kontemporer, katakan semisal Hasan Hanafi, kita mesti melakukan penafsiran yang antroposentris agar Al Quran lebih membumi bagi kehidupan umat manusia.
Jika kita melihat sosial-budaya-politik masyarakat Nabi SAW kala itu, yang telah menciptakan hati nan lembut sehingga tak bermusuhan, yang mampu mewujudkan persaudaraan sesama warga, baik Khajraz maupun Aos, baik Ansor maupun Muhajirin, baik Muslim ataupun non-Muslim, adalah Piagam Madinah. Dan masyarakat Madinah yang heterogen ”pernah” hidup rukun tanpa perselisihan dan permusuhan, benar-benar menjalankan Piagam Madinah, sekitar delapan bulan, sebelum akhirnya datang hasutan dan pembangkangan dari sebagian kaum Yahudi.
Hemat penulis, ”hablul-lâh”, ”ikatan Allah”, dalam ayat ini adalah Piagam Madinah. Ikatan Allah bermakna ikatan yang telah disepakati oleh segenap manusia untuk bisa hidup dalam persatuan dan perdamaian di Negara Madinah. Ikatan Allah adalah ikatan sakral, ikatan yang menyertakan nama Tuhan di dalamnya, ikatan yang disepakati oleh segenap manusia dalam satu komunitas (konstitusi), untuk bisa hidup damai dan rukun, dalam menjalankan keyakinan mereka masing-masing tanpa diskriminasi dan kekerasan.
Dalam konteks Indonesia, hablul-lâh tiada lain adalah Pancasila. Secara teks, Piagam Madinah dan Pancasila sangatlah berbeda, tetapi secara substansi keduanya mempunyai banyak sekali kemiripan atau kesamaan, wa bilkhusus dalam tujuan pembentukannya, mempersatukan masyarakat yang heterogen untuk bisa hidup damai dalam satu negara dan satu konstitusi yang disepakati bersama.
Singkat kata, berpegang teguh, menjalankan dan mengamalkan Pancasila (konstitusi) dalam kehidupan kita sehari-hari merupakan perintah Allah Ta’ala. Wallâhu a’lam.
Fauz Noor, Pengasuh Pondok Pesantren Fauzan, Dosen Institute Agama Islam Tasikmalaya.