Ketika perang Ukraina-Rusia mengguncang Eropa, Asia juga waswas akibat tensi Taiwan-China. Ada bara yang, jika gagal dikelola, bisa mereplikasi krisis di Ukraina.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Ketegangan isu Taiwan-China meningkat lagi, awal pekan ini. Kali ini dipicu pernyataan Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Wan Wenbin, Senin (13/6/2022), yang menyatakan Selat Taiwan sepenuhnya milik China. Ia menuding pihak-pihak yang menyebut Selat Taiwan sebagai perairan internasional merupakan upaya mencari dalih memanipulasi isu-isu terkait Taiwan serta mengancam kedaulatan dan keamanan China.
Kontan pernyataan tersebut memantik reaksi balik Taiwan. Berselang sehari, Kementerian Luar Negeri Taiwan melalui jubirnya, Joanna Ou, menangkis klaim Beijing itu. Seperti diberitakan, ia menegaskan, Selat Taiwan, sesuai hukum internasional, sudah masuk zona ekonomi eksklusif karena berjarak 12 mil laut (22,2 kilometer) dari pesisir Taiwan. Di Washington, Jubir Kementerian Luar Negeri AS Ned Price melontarkan pernyataan senada dengan Taiwan.
Perang pernyataan oleh Beijing, Taipei, dan Washington itu seolah menyambung ketegangan seputar isu Taiwan pekan lalu. Isu tersebut menjadi salah satu isu panas di forum dialog pertahanan, Shangri-La Dialogue, di Singapura, 10-12 Juni.
Pada forum itu, Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida mengungkapkan kekhawatirannya bahwa Asia Timur bisa bernasib seperti Ukraina saat ini. Ia tidak menyebut secara spesifik isu Taiwan. Titik-titik konflik di kawasan itu banyak. Mulai dari Laut China Selatan, Laut China Timur, Semenanjung Korea, hingga tak ketinggalan juga Selat Taiwan. Semua titik konflik itu menyimpan bara yang berbahaya.
Namun, melihat konfigurasi peta geopolitik kawasan ataupun global, cukup beralasan jika kekhawatiran replikasi krisis di Ukraina saat ini bisa saja terjadi di sekitar Selat Taiwan. Ada dua kekuatan besar ”bertarung” di balik konflik di selat itu: China versus AS. Pada forum Dialog Shangri-La, pekan lalu, Menteri Pertahanan China Wei Fenghe juga mengangkat isu Taiwan. Begitu pula Menhan AS Lloyd Austin.
Perang retorika, lengkap dengan bumbu saling gertaknya, semacam bara berbahaya di tengah konflik yang belum terselesaikan. Konflik di Selat Taiwan menjadi sumber ketegangan sejak berdirinya Taiwan tahun 1949 dan akan terus membara sepanjang konflik tersebut belum terselesaikan.
Adakah jalan keluarnya? Menarik apa yang disampaikan Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi pada forum Dialog Tingkat Tinggi tentang Indo-Pasifik di Praha, Ceko, Senin (13/6/2022). Ia tidak menyebut spesifik isu Taiwan. Namun, ia menyampaikan, perang Ukraina-Rusia jadi pengingat pentingnya kemampuan mengelola potensi konflik, termasuk di kawasan Indo-Pasifik, agar tidak menjadi konflik bersenjata.
Tiga formula ditawarkan Retno: menegakkan kembali Piagam PBB dan hukum internasional, pentingnya menciptakan arsitektur kawasan yang inklusif, serta pentingnya mengutamakan kerja sama yang konkret. Tiga elemen itu, meski normatif, bisa jadi panduan. Lebih penting lagi, bagaimana semua itu bisa diturunkan pada tata pergaulan di kawasan.