Hanya sedikit partai besar yang berpeluang menampilkan bakal capres secara otonom. Sayangnya, partai itu tak punya sosok yang dianggap kredibel untuk disodorkan dalam ajang adu prestasi. Yang paham tentang kepemimpinan.
Oleh
TULUS WARSITO
·4 menit baca
Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 masih dua tahun ke depan, tetapi sejak kurang lebih setahun yang lalu masyarakat sudah meraba-raba siapa kira-kira yang akan tampil dalam pilpres nanti.
Yang paling tradisional adalah dengan menjajakinya lewat survei atau polling walaupun tidak semua survei dilakukan dengan benar. Ada juga penjajakan itu dilakukan dengan cara ”kawin paksa”, tokoh A langsung dijodohkan dengan tokoh B, walaupun tampak aneh. Ada juga menjajaki kemungkinan dengan cara ”mancing”, langsung melempar isu melalui deklarasi.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Menggali ciri-ciri bakal capres lewat jalur partai politik terkendala dengan berlakunya ambang batas presidensial (presidential threshold). Hanya sedikit partai besar yang berpeluang menampilkan bakal capres secara otonom. Sayangnya, partai itu tidak punya sosok yang dianggap kredibel untuk disodorkan dalam ajang adu prestasi. Kemungkinan yang ada hanyalah spekulasi koalisi yang proses tawar-menawarnya sangatlah rumit.
Membangun ”kubu” menjadi peluang paling berpengharapan. Tulisan ini berupaya menggali ciri-ciri apa yang pantas dilekatkan kepada bakal capres, baik dalam konteks formal organisasional maupun secara sosiologi populer.
Bakal capres adalah sosok yang paham tentang kepemimpinan dan keterpimpinan masyarakatnya.
Pasal 222 Undang-Undang (UU) Pemilu sudah menegaskan bahwa pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan parpol peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara yang sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya. Kalimat UU tersebut sangat lugas dan jelas pengertiannya, tetapi rumit cara melaksanakannya.
Kacamata sosiologis
Untuk melengkapi analisis spekulatif legal formal organisasional di atas, ada baiknya dilengkapi sekalian dengan perspektif lain sebagai pembanding. Ini wajar saja terjadi pada masa menjelang pilpres.
Perspektif pembanding yang pertama adalah dari kacamata sosiologis mengenai kepemimpinan dan keterpimpinan (leadership and followership). Bakal capres adalah sosok yang paham tentang kepemimpinan dan keterpimpinan masyarakatnya.
Kalau dilihat dari segi kepatuhan dalam masyarakat, bakal calon seharusnya merupakan sosok yang eksklusif sekaligus inklusif. Eksklusif dalam pengertian bahwa yang bersangkutan adalah sosok istimewa (superior), inklusif dalam pengertian yang bersangkutan merupakan bagian integral dari masyarakatnya.
Dalam filosofi kepemimpinan Jawa yang dipopulerkan oleh Ki Hajar Dewantara, kita mengenali Ing Ngarso Sung Tuladha, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani.
Calon pemimpin adalah sosok yang harus mampu tampil di depan sebagai teladan, di tengah masyarakatnya harus mampu membangun semangat kemajuan, sedangkan kalau harus berada di belakang mampu memberi dorongan keberdayaan yang positif.
Jika konsep ini diterapkan pada elemen masyarakat kita, eksklusivitas menunjuk sosok calon dari golongan intelektual, militer, atau kaya. Adapun inklusivitas mengindikasikan unsur kelompok Jawa dan Muslim. Intelektual, militer, dan kemakmuran (kaya) mencerminkan superioritas (eksklusif) yang mempunyai pengaruh kepada masyarakat. Sementara elemen Jawa dan Muslim mengindikasikan mayoritas yang inklusif.
Perspektif mitologi
Setelah eksklusif-inklusif, perspektif populer yang sering laku di masyarakat adalah perspektif mitologi. Mitos ini berlaku tidak hanya di masyarakat agraris seperti Indonesia atau Malaysia, tetapi juga di Amerika Serikat ternyata.
Di Indonesia pernah lama dipengaruhi ramalan Jayabaya mengenai suku kata akhir nama sosok pemimpin Indonesia diyakini berurutan sesuai konsep No-to-na-go-ro. Sampai batas tertentu ramalan itu dianggap benar, oleh karena itu menjadi legitimate.
SoekarNO, SoeharTO, jabatan presiden ketiga yang pernah diduga diwariskan kepada Tri SutrisNO, tetapi ternyata turun ke Habibie (yang dalam bahasa Arab artinya sutrisNO juga).
Abdurrahman Wahid sebagai presiden keempat dianggap mulai menyimpang dari konsep Jayabaya, tetapi ada yang percaya sesuai, karena yang berlaku adalah nama Gus Dur, yang dalam abjad Jawa huruf pertama nama Gus Dur adalah GO). Berikutnya, MeGa dianggap kembali di jalur mitos. Adapun Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo sama sekali tidak termasuk dalam spektrum karena nihil unsur RO, (dan mulai terjadi goro-goro).
Bukan khas Indonesia
Di masyarakat Malaysia juga pernah dilanda mitos, dengan formasi urutan nama perdana menteri pertama mereka, yaitu R-A-H-M-A-N. Perdana menteri pertama Abdul Rahman, kedua Abdul Razak, ketiga Hussein Onn, keempat Mahathir Mohammad, kelima (yang pernah diduga Anwar Ibrahim) ternyata Abdullah Badawi, keenam Najib Razak, baru menyimpang kemudian.
Jika konsep ini diterapkan pada elemen masyarakat kita, eksklusivitas menunjuk sosok calon dari golongan intelektual, militer, atau kaya.
Jangan heran kalau di Amerika pun ada mitos pilpres juga. WASP adalah mitos pilpres AS yang masih berlaku hingga sekarang. Sampai mereka punya presiden ke-46 semua sesuai dengan WASP, yaitu White/putih, Anglo-Saxon (keturunan Inggris) dan Protestan. Hanya ada tiga presiden yang sedikit menyimpang: JF Kennedy dan Joe Biden yang Katolik, dan Obama yang tidak sepenuhnya putih.
Kalau mau lengkap, mitos pilpres AS seharusnya dilengkapi menjadi WASPM karena semuanya laki-laki (Male). Negara demokrasi besar, tetapi belum pernah punya presiden wanita, kita malah sudah, iya kan?
Tulus Warsito, Guru Besar Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta