Potensi Capres dari Parpol dan Nonparpol Masih Seimbang
Sekalipun hasil survei Litbang "Kompas" menunjukkan prereferensi publik lebih dominan mendukung capres nonparpol, kesempatan kader parpol untuk diusung menjadi capres masih terbuka lebar.
JAKARTA, KOMPAS — Kesempatan kader partai politik untuk diusung dalam Pemilu Presiden 2024 masih tetap tinggi sekalipun preferensi publik lebih dominan kepada calon presiden nonpartai politik. Ini karena setiap parpol memiliki perhitungan sendiri serta potensi membangun koalisi untuk menentukan strategi pemenangan pilpres masih terbuka lebar.
Hasil survei Litbang Kompas, Januari 2022, menunjukkan sejumlah nama memuncaki benak publik sebagai bakal calon presiden (capres). Di puncak elektabilitas ada Prabowo Subianto (26,5 persen), Ganjar Pranowo (20,5 persen), Anies Baswedan (14,2 persen), dan Sandiaga Salahudin Uno (4,9 persen), dan Agus Harimurti Yudhoyono (3,7 persen). Ada pula nama lain, seperti Ridwan Kamil, Tri Rismaharini, Basuki Tjahaja Purnama, Andika Perkasa, Gatot Nurmantyo, Mahfud MD, dan Erick Thohir.
Baca juga : Prabowo, Ganjar, Anies Masih Dominan
Survei juga menunjukkan preferensi publik masih condong kepada tokoh yang menjadi kepala daerah. Adapun tokoh parpol yang menonjol baru Prabowo Subianto dan Agus Harimurti Yudhoyono. Ganjar, sekalipun merupakan kader parpol, bukan elite partai dan tidak memiliki kewenangan untuk menentukan capres.
Menanggapi hal ini, sejumlah partai mengatakan masih belum menentukan sikap, apakah akan mengambil tokoh dengan elektabilitas tinggi ataukah mengutamakan kadernya sendiri. Politik sangat dinamis dan dapat berubah dengan sangat cepat, bahkan di detik-detik terakhir.
Partai Keadilan Sejahtera (PKS), salah satunya. Menurut Wakil Sekretaris Jenderal PKS Ahmad Fathul Bari, Rabu (23/2/2022), partainya masih terus memantau hasil survei dari berbagai lembaga. PKS mempersiapkan Ketua Majelis Syuro Salim Segaf Al’Jufrie sebagai calon pemimpin nasional sesuai dengan kehendak kader.
Kendati demikian, PKS menyadari tidak bisa mengusung capres-cawapres sendiri. PKS memahami pentingnya komunikasi lintaspartai untuk mengusung pasangan capres-cawapres. Oleh karena itu, PKS terbuka dengan segala kemungkinan koalisi dan tokoh-tokoh untuk diusulkan sebagai capres-cawapres.
”Semua nama-nama yang muncul di dalam survei itu sebenarnya pernah bersinggungan dengan PKS, seperti Prabowo, Anies, dan Ridwan Kamil, serta Sandiaga Uno, karena pernah kami dukung dalam kontestasi lokal ataupun nasional. Nama-nama lain juga ada persinggungannya dan karena itu adalah kader-kader anak bangsa yang diperhatikan oleh publik,” katanya.
Soal apakah PKS akan mengedepankan kadernya atau tokoh-tokoh lain, Bari menuturkan, partainya terbuka untuk semua anak bangsa. ”Nama-nama (di luar parpol) itu juga pernah diusung oleh parpol, dan kami juga pernah ikut mengusung. Tentu kesempatan itu terbuka bagi berbagai nama itu, sekalipun nanti akan ditentukan oleh Majelis Syuro PKS dan disesuaikan dengan komunikasi antarparpol,” tuturnya.
Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Hasto Kristiyanto mengatakan, partainya akan menunggu penilaian dari Ketua Umum Megawati Soekarnoputri. Siapa pun yang ditetapkan oleh Megawati dipastikan telah melalui serangkaian penilaian secara komprehensif. Tak hanya aspek ideologi Pancasila, penilaian juga menyangkut kepemimpinan, keteguhan dalam prinsip, serta keberanian menghadapi risiko dalam mengambil kebijakan. Rekam jejak kepemimpinan serta aspek psikologis berupa kematangan sebagai pemimpin juga menjadi pertimbangan.
”Proses pertimbangan ini tentunya dengan mendengarkan suara kebatinan rakyat,” ucapnya.
Hasto mengatakan, dalam konsepsi kepemimpinan nasional, PDI-P memberikan kebijakan dasar bagi seorang pemimpin. Pertama, kepemimpinan masa depan harus terus menggelorakan semangat Indonesia yang berdaulat, berdikari, dan bangga dengan identitas kebudayaan Nusantara sebagaimana disampaikan Bung Karno. Kedua, pentingnya mengedepankan keberlangsungan dengan apa yang sudah dilakukan oleh Bung Karno, Megawati, dan Joko Widodo.
”Kepemimpinan ke depan harus menggelorakan kepemimpinan Indonesia bagi dunia. Kepemimpinan ke depan juga mampu menggelorakan supremasi penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menggelorakan tradisi riset dan inovasi. Di sinilah pendidikan dan kebudayaan menjadi kebijakan yang sangat strategis yang menopang kemajuan bangsa,” katanya.
Hal penting lain, menurut Hasto, kepempinan ke depan harus memiliki kemampuan teknokratis bagi Indonesia yang berdikari. Dalam upaya ini diperlukan kemampuan melihat detail, tetapi visioner dalam mendorong kemajuan perekonomian Indonesia.
Tergantung koalisi
Secara terpisah, Wakil Sekjen Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Neng Eem Marhamah mengatakan, kader-kader partai telah sepakat untuk mengusung Ketua Umum Abdul Muhaimin Iskandar menjadi capres dari PKB. Namun, bagaimana realisasinya ke depan, itu akan sangat bergantung pada dinamika politik yang berkembang, termasuk langkah koalisi yang mungkin terbangun nantinya.
”Kami terus berkonsolidasi, dan walau kami harga mati untuk Cak Imin presiden, yang adalah kader PKB, tetapi ini masih ada waktu sampai ke Pemilu 2024. Sekarang masih awal 2022, dan masih ada proses perubahan, yang nanti pasti akan timbul dari negosiasi, koalisi, dan sebagainya,” kata Eem.
Baca juga : Parpol Masih Perjuangkan Kader Sendiri untuk Pilpres 2024
Menanggapi hasil survei Kompas, Eem menilai, PKB tidak terlalu risau dengan kenaikan elektabilitas sejumlah nama karena semua tokoh memiliki kekuatan masing-masing. Setiap parpol juga memiliki kader terbaik yang ingin diusung.
”PDI-P memiliki Ganjar, tetapi ia tidak memunyai kekuasaan penuh atas partainya. Anies juga populer, tetapi tidak memiliki partai. Ridwan Kamil juga tidak memiliki partai,” katanya.
Menurut Eem, hasil survei sejumlah lembaga lain juga mengonfirmasi bahwa praktis hanya dua nama tokoh parpol yang tidak hanya berpotensi menjadi capres, tetapi juga ”king maker” atau penentu capres. Dua tokoh itu ialah Prabowo Subianto dan Muhaimin Iskandar. Keduanya tidak hanya bisa menjadi kandidat, tetapi juga turut menentukan siapa yang akan menjadi capres.
Ia mencontohkan peristiwa KH Ma’ruf Amin yang akhirnya dipilih sebagai calon wapres di saat-saat terakhir, untuk menggantikan Mahfud MD, adalah bukti betapa politik sangat dinamis. ”Kami tidak risau kalau Ganjar naik, Anies naik, karena mereka semua memiliki panggung karena kepala daerah. Mereka juga belum tentu memiliki kendaraan politik. Harus diingat bahwa politik ini dinamis, dan apalagi ini waktunya masih lama,” kata Eem.
Masih seimbang
Mengenai elektabilitas kepala daerah di luar pimpinan parpol yang cenderung lebih tinggi, peneliti Indikator Politik Indonesia, Adam Kamil, berpadangan bahwa hal itu merupakan fenomena umum dalam berbagai survei. Namun, posisi sebenarnya masih seimbang antara pimpinan parpol dan kepala daerah.
Potensi para ketua umum partai dalam pilpres mendatang memang masih didominasi Prabowo, sementara ketua umum partai lain masih sangat rendah. Menurut Adam, hal ini terkait dengan polarisasi pada dua pilpres sebelumnya dan isu Pilkada DKI Jakarta sebelum Pilpres 2019.
”Pertama, Prabowo sudah jauh lebih dalam kepada pemilih karena dua kali menjadi capres head to head dengan Jokowi. Sekurang-kurangnya Prabowo masih memiliki basis pendukung yang diperkuat juga dengan basis Gerindra yang pada Pemilu 2019 lalu juga mengalami peningkatan dibanding pemilu sebelumnya,” katanya.
Kedua, menurut Adam, Anies Baswedan secara tidak langsung masuk dalam polarisasi Pilpres 2019 karena isu Pilkada DKI 2017 melalui aksi 212 yang sangat luas diketahui publik nasional. Agus Harimurti juga ada di dalam Pilkada DKI Jakarta, tetapi tidak begitu kuat memoderasi polarisasi antara kutub Ahok (Basuki Tjahja Purnama) dan Anies. Anies kemudian menang pada Pilkada DKI Jakarta sehingga Anies Baswedan mendapatkan momentum lebih kuat.
Sementara itu, untuk calon dari kepala daerah, hingga saat ini juga baru Ganjar dan Anies yang sudah memiliki basis dukungan besar. Jika Anies Baswedan secara tidak langsung masuk dalam polarisasi pilpres sebelumnya, Ganjar mendapatkan dukungan terutama dari basis wilayah yang memiliki konsentrasi basis politik dan primordial, yaitu pendukung PDI-P serta etnis Jawa.
Situasi ini sangat kondusif bagi Ganjar untuk memiliki basis dukungan yang kuat dan berpotensi meluas. Akan tetapi, fenomena Ganjar ini, kata Adam, juga tidak terlepas dari polarisasi yang masih ada. PDI-P merupakan bagian besar dari polarisasi tersebut, terutama di wilayah Jawa Tengah, yang merupakan pendukung utama Presiden Joko Widodo. Kelompok ini menemukan figur yang paling dekat, yaitu Ganjar Pranowo.
”Nah, momentum-momentum tersebut tidak dimiliki oleh ketum-ketum partai lain sehingga masih kesulitan untuk meraih dukungan publik yang luas,” ujarnya.
Melihat konstelasi ini, lanjut Adam, pada dasarnya lebih kurang sama potensi antara calon dari ketum partai dan kepala daerah. Kepala daerah juga banyak yang potensial, sekalipun momentum yang ada hingga saat ini masih momentum lama. ”Di satu kutub ada arah kecenderungan kepada Prabowo dan Anies, dan di kutub lain baru ada Ganjar. Masih terbuka segmen untuk dimanfaatkan oleh calon lain,” katanya.