Tirani Metrik di Perguruan Tinggi
Penggunaan metriks sangat populer di perguruan tinggi Indonesia. Akan tetapi hal itu melahirkan sisi paradoks yang memprihatinkan. Metrifikasi membuat perguruan tinggi sulit keluar dari jebakan birokrasi administrasi.
Istilah tirani metrik pertama kali dikemukakan Jerry Z Muller dalam bukunya, The Tyranny of Metrics. Buku terbitan 2018 ini membongkar praktik hegemoni metrik dalam berbagai ranah, seperti sekolah, universitas, medis, militer/kepolisian, filantropi sosial, hingga bantuan asing.
Muller melakukan kerja penting dalam dua hal. Pertama, dia menjelaskan kenapa penggunaan metrik sangat populer dalam berbagai isu sosial pendidikan. Muller juga memotret praktik metrik di berbagai ranah dengan berbagai turunan kebijakannya, seperti beban/angka kinerja, kinerja kepuasan mahasiswa dan pemangku kepentingan, serta ranking institusi.
Kedua, Muller secara provokatif menyebut istilah tirani dalam praktik itu. Istilah tirani menunjukkan kondisi akut karena menghilangkan kebebasan dan otonom individu. Istilah tirani juga menggambarkan suasana yang mencekam dalam berbagai dimensi institusi tersebut.
Penjelasan Muller ini membawa saya kepada wajah perguruan tinggi (PT) Indonesia beberapa waktu terakhir. Muller membawa imajinasi kita pada serangkaian kebijakan PT yang mendasarkan pada standar metrik yang diproduksi rezim pendidikan tinggi. Sebagai standar dan regulasi, menjadi keniscayaan semua civitas academica untuk melakukannya. Tak ada ruang kosong untuk menghindari.
Sebagai standar dan regulasi, menjadi keniscayaan semua civitas academica untuk melakukannya. Tak ada ruang kosong untuk menghindari.
Pasca-Orde Baru, rezim pendidikan tinggi mulai mengintroduksi kebijakan akreditasi sebagai bagian dan mekanisme kontrol akademik di semua jenjang program studi hingga universitas. Saat itu mulai diterapkan Kebijakan Jaminan Mutu Pendidikan (quality assurance) yang dianggap paradigma baru manajemen pendidikan tinggi. Quality assurance meliputi mutu (quality), otonomi, akuntabilitas, evaluasi diri, dan akreditasi.
Institusi pendidikan tinggi harus memenuhi proses quality assurance dengan setumpuk standar dan regulasi yang sangat ketat. Salah satunya, mekanisme akreditasi yang mulai diterapkan. Akreditasi dilakukan melalui kontrol dan supervisi asesor. Akreditasi mengacu kepada regulasi dan normalisasi yang dilakukan bertumpu dan menghasilkan metrik kuantitatif. Akreditasi memosisikan institusi pendidikan tinggi pada level dan strata tertentu dalam standar kelayakan.
Perdebatan sering muncul antara kualitas akademik versus kinerja kuantitatif. Alih-alih ingin meningkatkan kualitas institusi, jebakan kuantifikasi masih menjadi arus utama dalam akreditasi. Asesor sebagai representasi rezim pendidikan tinggi bekerja dan berdalih mengacu kepada standar dan regulasi yang diproduksi oleh negara.
Seorang kolega bercerita kepada saya, meski ada mekanisme banding setelah hasil akreditasi keluar, mekanisme itu hampir jarang dilakukan karena ketakutan sekaligus ancaman bahwa nilai akreditasi bisa turun dari nilai sebelumnya. Asesor seolah menjadi aparatur negara (state apparatus) yang menakutkan.
Pola ini akan terus berlangsung bersamaan dengan proses akreditasi berikutnya. Anda bisa bayangkan ketakutan dan ancaman ini terus direproduksi dan bahkan dilegitimasi sebagai normalisasi kebenaran. PT dihadapkan pada beban psikologis menjelang dimulainya persiapan akreditasi. Beban administratif juga menjadi pekerjaan sehari-hari yang harus dipersiapkan satu tahun sebelum akreditasi tersebut dimulai.
Metrik kuantitatif juga terlihat dalam pengindeks artikel dan jurnal seperti Scopus dan Web of Science mengenal istilah kategori Q1, Q2, Q3, dan Q4.
Baca juga: Target Lima Perguruan Tinggi Indonesia Masuk Top 500 Dunia Tercapai
Setiap kategori memiliki penjelasan kuantitatif dengan penekanan kepada peringkat/ranking dari sebuah disiplin ilmu. Semakin rendah kategori Q jurnal tersebut, semakin besar pengaruh dan reputasinya. Selain Scopus, indeksasi dalam negeri melalui sistem SINTA atau Science and Technology Index yang merupakan penelitian berbasis web yang dibangun untuk mengukur kinerja peneliti, institusi, dan jurnal ilmiah.
Jurnal ilmiah dengan indeks SINTA dikategorikan berdasarkan peringkat SINTA 1 hingga SINTA 6 dan akan dilakukan pemeringkatan berdasarkan jumlah sitasi dan h-indeks dari Google Scholar. Tidak kalah penting juga peringkat dan indeks sitasi Google Scholar dan H Indeks yang sangat diperhitungkan. Peringkat dalam ranking nasional dan internasional juga menjadi wajah lain dari standardisasi metrik.
Adanya lembaga seperti QS World University Rankings dan Times Higher Education World University Rankings memperkuat hegemoni metrik dalam kinerja perguruan tinggi. Semua perguruan tinggi memuja dan mengejarnya sebagai bagian dari visi pimpinan.
Kenapa metrik sangat populer dalam ranah PT? Paling tidak ada dua argumentasi penting. Pertama, standar metrik yang digunakan semua berbasis angka-angka kuantitatif yang menggambarkan wajah kinerja PT. Penggunaan angka kuantitatif karena dianggap lebih mudah untuk diawasi oleh manajerialisme PT. Standar metrik bertumpu kepada performa dan manajerialisme.
Kedua, standar metrik dianggap paling feasible dan rasional terukur dalam operasionalisasi oleh tenaga administrasi. Standar metrik ini menjadi efektif digunakan oleh negara-negara yang menuju standar dan reputasi internasional. Sementara negara-negara seperti Eropa yang sudah mapan kualitas akademiknya tidak menjadikannya sebagai rujukan. Indonesia dengan segala proyek ambisiusnya berupaya mengejar reputasi internasional dengan berkiblat kepada metrik kuantitatif.
Meski demikian, gegap gempita merayakan standar metrik melahirkan sisi paradoks yang memprihatinkan. Secara sosiologis, adanya metrifikasi ini merupakan cara lain dari negara mengawasi secara ketat akademisi. Negara tidak bisa secara fisik dan langsung mengawasi kinerja akademisi sehingga ruang kuantifikasi metriklah yang memungkinkan jadi alat pengawasan tersebut.
Kinerja akademisi berada dalam bayang-bayang dan tekanan metrifikasi dan mengubah mereka menjadi robot mekanisme kuantifikasi.
Ranah sosial kemanusiaan akademisi disimplifikasi oleh komponen metrik tersebut. Kinerja akademisi berada dalam bayang-bayang dan tekanan metrifikasi dan mengubah mereka menjadi robot mekanisme kuantifikasi. Hegemonik administrasi ini menjadikan akademisi kehilangan nalarnya dan menjadikannya pekerja administrasi.
Yang terjadi adalah menguatnya quasi academia. Secara psikologis, akademisi sering merasakan stres, galau, dan penuh kecemasan dalam tekanan-tekanan metrifikasi tersebut. Alhasil, akademisi sudah kehilangan otentisitas dirinya sebagai homo academicus (Pierre Bourdieu, 1984).
Baca juga: Perguruan Tinggi Indonesia Terus Mengejar Peringkat Dunia
Teknokrasi administratif
Beban dan momok administrasi juga dirasakan dari kebijakan beban kerja dosen (BKD) yang harus dilakukan setiap semester dengan melakukan pengumpulan dan verifikasi dokumen terkait pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Semua dokumen tersebut harus dikumpulkan dan dikirim melalui operator kampus.
Semua dokumen itu tidak serta-merta lolos verifikasi karena harus divalidasi oleh asesor yang bertugas memverifikasi dokumen-dokumen tersebut. Dengan persetujuan asesorlah melalui serangkaian metrik kuantitatif, dokumen-dokumen administratif akan diproses hingga universitas.
Implikasinya adalah akan disetujui berupa insentif keuangan. Jika dokumen administrasi tersebut tidak lengkap atau tidak disetujui asesor, akan ada penundaan insentif keuangan. Pimpinan sering menyampaikan bahwa insentif akan dicairkan jika kelengkapan berkas disetujui asesor. Keberadaan asesor dalam normalisasi standar kebijakan menjadi otoritatif sekaligus menentukan ”mati hidup” seorang dosen. Seorang kolega bercerita terancam tak bisa merayakan Idul Fitri karena belum mendapatkan tanda tangan persetujuan asesor.
Didie SW
Bagi akademisi yang menjadi aparatur sipil negara (ASN), kewajiban administrasi juga harus ditunaikan dengan melakukan registrasi sistem kepegawaian (simpeg), ePUPNS yang merupakan pendataan ulang PNS secara elektronik, serta kewajiban mengisi MySAPK yang merupakan aplikasi berbasis teknologi untuk ASN yang terintegrasi dengan basis data ASN nasional. Sebagai akademisi perguruan tinggi, dibebankan administrasi kampusnya, sementara sebagai seorang ASN, juga dibebankan administrasi kepegawaian sebagai ASN. Dua sisi level administrasi yang tidak bisa dilepaskan.
Metrifikasi yang paling mencuat saat ini adalah kebijakan indikator kinerja utama (IKU). PT disibukkan memenuhi standar IKU sebagai ukuran atau indikator kinerja perguruan tinggi. PT harus merumuskannya sebagai prioritas kinerjanya. Terdapat delapan standar IKU sebagai standar kebijakan rezim pendidikan tinggi menetapkan pendanaan bagi perguruan tinggi negeri (PTN). Setiap PTN yang berhasil meningkatkan IKU atau mencapai target akan diberikan insentif keuangan.
Kompetisi memenuhi dilakukan melalui adanya Liga Kampus IKU yang diikuti oleh semua kampus. Mereka berlomba mendapatkan peringkat terbaik di liga tersebut. Pada saat inilah semua warga kampus kembali sibuk dengan berbagai standar yang harus dipenuhi. Mereka kadang harus lembur mengumpulkan berbagai dokumen. Banyak juga yang stres menjelang tenggat akhir pengumpulan dokumen.
Sebagai akademisi perguruan tinggi, dibebankan administrasi kampusnya, sementara sebagai seorang ASN, juga dibebankan administrasi kepegawaian sebagai ASN.
Pimpinan kampus terus mengawasi proses administrasi tersebut sebagai bagian dari mekanisme kontrol manajerialisme. Ibarat liga sepak bola, hasil akhir liga akan melahirkan klasemen akhir dengan juara dan peringkat-peringkatnya. Kampus kemudian merayakan juara dan hasil klasemen tersebut sebagai manifestasi dari prestasi dan kinerjanya.
Pada saat bersamaan, sejumlah kampus siap-siap mengubah statusnya sebagai perguruan tinggi badan hukum (PTN BH). PTN BH adalah level paling tinggi PT di Indonesia karena dianggap menjadi mandiri dan otonom, baik secara akademik maupun nonakademik. Kampus yang berjuang menjadi PTN BH melakukan berbagai strategi untuk memenuhi kelayakan tersebut. Kelayakan mengacu kepada standardisasi dan indikator administratif secara akademik, administratif, sumber daya manusia, hingga sarana-prasarana.
Mereka menyiapkan tim kerja yang melakukan analisis kelayakan tersebut. Tim inilah yang secara maraton melakukan rapat dan diseminasi kerja-kerja administratif tadi. Jika PT berhasil menjadi PTN BH, itu dianggap prestasi dan kredit pimpinan kampus. Semakin hari tampak terlihat adanya ekspansi teknokratis dalam normalisasi kebijakan.
”Darkocrazy”
PT sulit keluar dari jebakan administrasi. Birokrasi administrasi melekat dan mendarah daging dalam kinerja PT. Sejatinya mendekonstruksi hegemonik teknokratis administratif merupakan langkah serius yang harus dilakukan.
Kampus-kampus bergengsi di luar negeri yang memiliki reputasi akademik kelas dunia dibangun oleh basis akademik dan riset yang mumpuni dengan minimnya beban administratif birokratis. Mereka bisa melaju kencang karena memiliki ruang-ruang akademik intelektual yang luas. Tak diperbudak oleh rezim administrasi yang mengawasi mereka setiap saat. Bayang-bayang teknokrasi administratif menjadikan PT Indonesia lamban bergerak dan jauh tertinggal dari kampus-kampus di luar negeri, terutama di Asia.
Fleming secara sinis mengatakan bahwa perguruan tinggi sudah mati dengan berbagai gejala yang dihadapi saat ini, termasuk metrifikasi yang dikutip dari buku Muller.
Dari metrifikasi yang dijelaskan Muller, membawa saya kepada buku Peter Fleming yang berjudul Dark Academia: How Universities Die (2021). Saya berkesempatan menjadi salah satu pembedah dalam diskusi buku tersebut dalam terjemahan bahasa Indonesia berjudul Dark Academia: Matinya Perguruan Tinggi (2022). Fleming secara sinis mengatakan bahwa perguruan tinggi sudah mati dengan berbagai gejala yang dihadapi saat ini, termasuk metrifikasi yang dikutip dari buku Muller.
Fleming berupaya membongkar sisi gelap PT. Dia menyebutnya darkocrazy. Namun, yang lebih menakutkan adalah kematian PT sejalan dengan munculnya berbagai paradoks, seperti komersialisasi, korporatisasi, otoritarianisme, birokratisasi, hingga metrifikasi. Hal ini bukan isapan jempol lagi, melainkan sudah di depan pelupuk mata. Muller dan Fleming sudah mengingatkan bahwa kematian itu realitas, bukan utopis.
Rakhmat Hidayat Sosiolog Universitas Negeri Jakarta, Visiting Professor di University of Seoul (UoS)