Capaian reforma agraria yang terbilang sukses berbanding terbalik dengan jumlah kasus konflik agraria yang masih tinggi. Penyelesaian konflik agraria harus jadi bagian dalam program reforma agraria.
Oleh
DAHLENA
·4 menit baca
Reforma agraria yang sejatinya mengusung salah satu tujuan untuk menyelesaikan konflik agraria ternyata dalam implementasinya belum optimal. Data pada instansi pemerintah ataupun pada masyarakat sipil masih menunjukkan tingginya konflik agraria di Indonesia. Ini kontradiktif dengan capaian reforma agraria yang dianggap cukup sukses.
Reforma agraria merupakan asset reform dan access reform atau redistribusi tanah yang disertai dengan upaya pemberdayaan bagi penerima tanah. Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria sesungguhnya merupakan suatu kemajuan. Dengan meneguhkan reforma agraria dalam suatu kerangka yuridis, diharapkan ada keadilan agraria sehingga terwujud kemakmuran bagi masyarakat.
Sebagai suatu konsep yang lahir dalam situasi tingginya ketimpangan dalam kepemilikan tanah antara tuan tanah dan petani penggarap, menggambarkan bahwa konsep ini berada dalam situasi yang sarat dengan konflik sehingga relevan menempatkan penyelesaian konflik sebagai bagian dari reforma agraria.
Ketetapan MPR No IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam memuat salah satu arah kebijakan pembaruan agraria. Arah kebijakan tersebut ialah menyelesaikan konflik sekaligus mengantisipasi konflik berkenaan dengan sumber daya agraria.
Selanjutnya Perpres No 86/2018 juga memuat hal yang senada. Akan tetapi, perpres ini tidak mengatur penyelesaian konflik agraria secara komprehensif. Hal ini menjadi temuan Ombudsman RI sebagaimana hasil kajian sistemik Ombudsman RI yang dirilis pada 8 Juni 2022. Kelemahan regulasi dan tata kelola redistribusi tanah dan penyelesaian konflik membawa Ombudsman kepada kesimpulan adanya potensi maladministrasi sehingga dikeluarkan enam saran perbaikan yang ditujukan kepada pemerintah.
Agenda prioritas
Apabila sejumlah kelemahan reforma agraria dalam penyelesaian konflik tidak menjadi agenda prioritas, bisa saja reforma agraria hilang dari kebijakan negara, apalagi terdapat beberapa hal yang mengarah pada kondisi tersebut.
Pertama, terjadinya pergantian pimpinan negara atau kepala daerah. Pengalaman dari sejumlah negara menunjukkan reforma agraria selalu didasarkan kepada kedermawanan atau kebaikan hati penguasa negara (Gunawan Wiradi, 2000). Maka, political will pimpinan tertinggi menjadi kunci keberlanjutan reforma agraria.
Apabila sejumlah kelemahan reforma agraria dalam penyelesaian konflik tidak menjadi agenda prioritas, bisa saja reforma agraria hilang dari kebijakan negara.
Kedua, Undang-Undang No 11/2020 tentang Cipta Kerja memandatkan kepada bank tanah untuk ketersediaan tanah bagi reforma agraria. Sekali lagi ini langkah kemajuan untuk mengukuhkan reforma agraria pada tataran yuridis.
Namun, reforma agraria dalam UU Cipta Kerja ini mengandung dua pembatasan, yaitu pembatasan alokasi tanah untuk reforma agraria paling sedikit 30 persen dari tanah negara yang diperlukan bank tanah. Pembatasan lainnya adalah reforma agraria dalam kerangka bank tanah tidak termasuk tanah dalam kawasan hutan.
Hal ini akan menjadi tantangan ketika terjadi benturan antara reforma agraria dan investasi atas nama kepentingan umum. Terlebih lagi jika berhadapan dengan konflik antara klaim masyarakat dan klaim kawasan hutan. Tentu saja UU Cipta Kerja ini tidak menjadi bagian dari bank tanah sehingga ini menjadi wilayah abu-abu.
Ketiga, kelemahan administrasi pertanahan masa lalu. Konflik agraria yang saat ini terjadi tidak terlepas dari adanya kelemahan administrasi masa lalu, baik itu berupa tidak adanya data pendukung historis kepemilikan tanah maupun adanya kekeliruan administrasi masa lalu yang baru diketahui ketika munculnya konflik.
Keempat, putusan pengadilan belum menjadi jaminan akhir dari suatu konflik agraria. Dalam perkara yang berkaitan dengan agraria dapat ditempuh upaya hukum perdata, pidana, ataupun tata usaha negara.
Dengan banyaknya dimensi dari suatu konflik agraria tersebut, justru dalam beberapa kasus membawa konsekuensi berupa semakin kompleksnya konflik agraria pasca-putusan pengadilan. Pada laporan masyarakat yang masuk ke Ombudsman RI ditemukan ada kendala dalam eksekusi putusan pengadilan dalam perkara agraria karena adanya dua atau tiga putusan yang saling bertentangan.
Ada kendala dalam eksekusi putusan pengadilan dalam perkara agraria karena adanya dua atau tiga putusan yang saling bertentangan.
Kelima, pengakuan hukum terhadap keberadaan dan hak-hak masyarakat adat. Saat ini masih ada konflik agraria yang dialami masyarakat. Pasal 18 B UUD 1945, negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI, yang diatur dalam undang-undang. Mandat konstitusi tersebut menjadi dasar masyarakat adat keluar dari konflik atas hak tanah ulayat.
Keenam, pertanian belum menjadi sektor pilihan profesi masa depan bagi generasi muda. Banyak faktor yang mendorong ini terjadi. Maka, perlu upaya ekstra untuk memastikan penerima redistribusi tanah mengalami peningkatan kesejahteraan dan di sisi lain perlu memastikan sektor pertanian ini tetap dipertahankan petani di tengah ”godaan” modernisasi.
Beberapa hal tersebut perlu menjadi atensi banyak pihak. Selain itu adanya hasil kajian sistemik Ombudsman dan masukan banyak pihak dalam pelbagai kesempatan perlu segera ditindaklanjuti pemerintah. Jika di negara lain, konflik agraria hilang dengan sendirinya karena pemerintah menunda-nunda penyelesaian konflik. Maka, hal tersebut diharapkan tidak terjadi di Indonesia. Sebab, bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Gugus Tugas Refoma Agraria (GTRA) Summit yang berlangsung di Wakatobi, Sulawesi Tenggara, pada 8-10 Juni 2022 merupakan momentum yang baik. Akan tetapi, ini tidak cukup tanpa rencana aksi yang konkret, terukur, dan menyentuh akar dari konflik agraria. Suksesnya reforma agraria semestinya berbanding lurus dengan semakin memperkuat hak atas tanah dan meningkatnya kesejahteraan rakyat.