Kurikulum bukan satu-satunya obat mujarab ataupun jalan pintas dalam menyelesaikan persoalan pendidikan. Ada solusi alternatif yang bisa dijalankan secara gotong royong semua pemangku kepentingan pendidikan.
Oleh
SUMARDIANSYAH PERDANA KUSUMA
·6 menit baca
SUPRIYANTO
Ilustrasi
Melalui spirit pemulihan, Indonesia ingin mengajak seluruh dunia untuk bergotong royong mendukung pemulihan pasca pandemi agar semua dapat tumbuh lebih kuat dan berkelanjutan. Spirit pemulihan di dunia pendidikan digunakan untuk menghadapi fenomena hilangnya kompetensi siswa yang diakibatkan oleh terhentinya proses pembelajaran atau learning loss.
Dari sisi kebijakan, pemerintah (Kemendikbudristek) meyakini cara memulihkan pendidikan adalah dengan meluncurkan kurikulum baru, yaitu Kurikulum Merdeka, yang dapat digunakan sebagai alternatif ataupun pengganti Kurikulum 2013. Kurikulum dianggap obat mujarab untuk menyembuhkan penyakit dan jalan pintas dalam menyelesaikan berbagai persoalan pendidikan. Lalu yang menjadi pertanyaan, mampukah kurikulum baru memulihkan pendidikan?
Politisasi kurikulum
Sepanjang sejarah 75 tahun Indonesia merdeka, lika-liku perjalanan kurikulum sudah pernah berganti dalam 11 wajah. Dari sana kita bisa melihat wajah kurikulum mulai dari Kurikulum Rentjana Pelajaran 1947, Kurikulum Rencana Pelajaran Terurai 1952, Kurikulum Rentjana Pendidikan 1964, Kurikulum 1968, Kurikulum 1975, Kurikulum 1984, Kurikulum 1994, Kurikulum 2004, Kurikulum 2006, Kurikulum 2013, hingga Kurikulum Merdeka.
Pemerintah (Kemendikbudristek) meyakini cara memulihkan pendidikan adalah dengan meluncurkan kurikulum baru, yaitu Kurikulum Merdeka.
Secara empiris, kurikulum memang harus berubah sesuai dinamika perkembangan zaman. Dari sisi akademis, kurikulum harus dikembangkan atas dasar analisis kebutuhan (need assesment) dan studi evaluasi. Tahapan-tahapan dalam pengambilan kebijakan mulai dari penyusunan naskah akademik, diskusi terpumpun, dan uji publik harus melibatkan seluruh komponen (akademisi, praktisi, masyarakat luas) serta diselenggarakan secara berkesinambungan, transparan, dan akuntabel.
Pertimbangan empiris dan akademis seharusnya digunakan sebagai rujukan utama dalam perubahan ataupun pengembangan sebuah kurikulum. Namun, jika kita melihat fenomena yang sering terjadi, perubahan ataupun pengembangan kurikulum didominasi oleh pertimbangan politis, di mana penguasa melakukan intervensi secara aktif dengan menggunakan berbagai dalil dan lobi untuk mengubah kurikulum sesuai penafsiran yang dianutnya. Kurikulum dipolitisasi atas dasar dominasi ideologi dan kekuasaan serta mengabaikan keberadaan ruang publik secara deliberatif (Apple, 1979, Habermas, 1992).
Dugaan politisasi kurikulum muncul ketika kita melihat ada ketidaksinkronan ataupun ketidakkonsistenan antara apa yang digaungkan dan kenyataan di lapangan sehingga menimbulkan polemik. Misalnya pemerintah harus mampu menjelaskan bagaimana proses perubahan dari Kurikulum 2013 ke Kurikulum Merdeka dilakukan dengan menggunakan kaidah-kaidah dalam studi evaluasi kurikulum? Seberapa penting perubahan kurikulum dilakukan dalam kondisi seperti sekarang? Sejauh mana publik terlibat secara aktif dalam proses perubahan kurikulum?
Lalu apakah perubahan kurikulum yang dijalankan sudah memiliki landasan hukum berupa peraturan, di mana antar-aturan telah sinkron dan tidak bertentangan dengan aturan lainnya? Selanjutnya bagaimana dengan penerapan uji coba kurikulum di 2.500 sekolah penggerak untuk kita bisa melihat hasil dan dampaknya? Kemudian benarkah sekolah bisa bebas memilih kurikulum tanpa khawatir adanya tekanan dari dinas sebagai perpanjangan pemerintah pusat?
Jika politisasi kurikulum yang bersifat subyektif kekuasaan terus dipraktikkan dengan mengabaikan pertimbangan empiris dan akademis yang bersifat obyektif, nasib dunia pendidikan kita akan terus terombang-ambing dalam lautan ketidakpastian tanpa pernah bisa berlabuh di dermaga tujuan.
Solusi selain kurikulum
Kurikulum hanyalah salah satu cara yang bisa digunakan untuk memulihkan pendidikan. Kurikulum bukan satu-satunya obat mujarab ataupun jalan pintas dalam menyelesaikan persoalan pendidikan. Justru selama ini perubahan kurikulum cenderung menimbulkan polemik di masyarakat dan sarat dengan hegemoni politik.
Di antara solusi yang bisa ditawarkan selain perubahan kurikulum adalah dengan menyentuh dan memenuhi kebutuhan mendasar, yaitu, pertama, peningkatan kapasitas profesional guru. Guru merupakan subyek utama dalam melaksanakan perencanaan, pembelajaran, penilaian, dan tugas tambahan lain. Guru adalah kurikulum berjalan, guru adalah kurikulum itu sendiri (living curriculum).
Pengalaman selama ini fokus dan efektivitas guru dalam mendidik seolah terdistorsi akibat perubahan kurikulum yang sering terjadi, beban mengajar yang berlebihan di atas 24 jam ataupun beban mengajar yang sedikit di bawah 24 jam sehingga berimbas kepada pembayaran tunjangan profesi, ditambah beban-beban administrasi lainnya. Karena itu guru perlu ditingkatkan kapasitasnya melalui jaminan atas pengembangan kompetensi, karier, kesejahteraan, perlindungan, penghargaan, dan pengurangan beban administrasi.
Guru adalah kurikulum berjalan, guru adalah kurikulum itu sendiri ( living curriculum).
Kedua, memperkuat kultur sekolah secara positif. Kultur sekolah sebagai sebuah kurikulum tersembunyi (hidden curriculum) dibangun dari nilai-nilai dasar hubungan warga sekolah dengan Tuhannya (religius), warga sekolah dengan sesama (humanis), warga sekolah dengan negaranya (nasionalis), dan warga sekolah dengan lingkungan hidup (alam). Nilai-nilai dasar tersebut akan mengarahkan kepada pembiasaan lingkungan sekolah yang aman, tenang, menyenangkan, serta bermakna sehingga penumbuhkembangan kompetensi dan karakter anak didik dapat berlangsung secara optimal.
Ketiga, menciptakan otonomi sekolah. Selama ini pengembangan kurikulum dilakukan secara sentralistis sehingga sekolah hampir tidak pernah diberikan kewenangan untuk menerjemahkan kurikulum sesuai karakteristik di sekolah masing-masing. Sekolah hanya bertindak sebagai pelaksana kurikulum dan sering kali ditemukan apa yang dilaksanakan tidak sesuai dengan kondisi dan kebutuhan sekolah.
Kini sudah seharusnya pemerintah melakukan desentralisasi kurikulum dengan menyerahkan otoritas pengembangan kurikulum, pembelajaran, dan penilaian kepada sekolah. Pemerintah hanya menetapkan standar nasional atau kerangka dasar yang pengembangannya diserahkan secara penuh ke sekolah. Otonomi sekolah dibangun dari kepala sekolah, guru, dan tenaga kependidikan yang mampu mengembangkan serta melaksanakan kurikulum sesuai visi, misi, dan tujuan sekolah.
Keempat, membangun infrastruktur di sekolah. Pembangunan infrastruktur dapat dilakukan melalui optimalisasi dana bantuan operasional sekolah (BOS) ataupun pemberian block grant dari pemerintah. Pemerintah juga bisa menggagas kemitraan dengan swasta agar bisa menggunakan dana corporate social responsibility untuk membangun infrastruktur digital terutama di daerah-daerah yang belum terjangkau listrik dan internet. Bahkan, infrastruktur fisik lain, seperti model ruang kelas, perpustakaan, lapangan olahraga, dan kantin sekolah yang kebanyakan masih tradisional, perlu dibangun agar menjadi lebih modern.
Kelima, revitalisasi Kelompok Kerja Guru (KKG), Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), Musyawarah Guru Bimbingan Konseling (MGBK), Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS), Musyawarah Kerja Pengawas Sekolah (MKPS), dan organisasi profesi guru. Pemajuan dunia pendidikan perlu dilakukan secara kolektif melalui wadah yang tepat.
Selama ini pemerintah kurang memperhatikan keberadaan KKG, MGMP, MGBK, MKKS, MKPS, organisasi profesi guru sebagai mitra strategis dalam meningkatkan kapasitas guru dari sisi pengembangan kompetensi, karier, kesejahteraan, perlindungan, dan penghargaan. KKG, MGMP, MGBK, MKKS, dan MKPS diharapkan mampu menyasar guru-guru dalam satu sekolah ataupun antar sekolah dalam lingkup zonasi.
Begitu juga keberadaan organisasi profesi guru yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Organisasi profesi guru memiliki kewenangan menetapkan kode etik, memberikan bantuan hukum, melindungi profesi, membina dan mengembangkan profesi, serta memajukan pendidikan nasional. Setiap guru wajib menjadi anggota organisasi profesi.
Akhirnya, perhatian yang berlebihan terhadap kurikulum membuat kita abai terhadap realitas bahwa pemulihan pendidikan bisa dilakukan tanpa harus mengubah kurikulum, tetapi dengan mencoba lima solusi alternatif yang bisa dijalankan secara gotong royong tanpa menuai polemik.
Sumardiansyah Perdana Kusuma, Ketua Departemen Penelitian dan Pengabdian Masyarakat PB PGRI; Ketua Asosiasi Profesi dan Keahlian Sejenis PGRI Provinsi DKI Jakarta