Sebagai pejabat dengan tingkat keistimewaan paling tinggi, Presiden Jokowi dapat saja menjauhkan diri dari massa dengan pertimbangan keamanan. Namun, dia memilih jadi bagian dari publik. Sebagai pejabat publik.
Oleh
MAX REGUS
·4 menit baca
Perayaan Hari Lahir Pancasila, 1 Juni 2022, belum lama berlalu. Presiden Joko Widodo, pada hari itu, hadir di Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur. Sebuah tempat di mana Bapak Bangsa Soekarno menimba inspirasi dalam melahirkan fondasi abadi bagi keindonesiaan.
Ini bukan kali pertama Jokowi mengunjungi pulau ini. Sudah berulang kali. Namun, kehadirannya kali ini begitu istimewa. Sekurang-kurangnya, dua dimensi berikut memperkuat pandangan ini.
Pertama, secara filosofis, Jokowi hendak menyegarkan kembali fondasi bersama (shared foundational) kebangsaan kita. Kedua, secara sosiologis, Jokowi berikhtiar membangun hubungan langsung dengan rakyat sebagai muasal kekuasaan. Jokowi, pada hari-hari yang singkat itu, menikmati perjumpaan sosial mendalam. Pemandangan itu adalah sebuah abstraksi sikap politik Jokowi selama ini.
Sebagai pejabat publik (kelas elite), dengan tingkat keistimewaan paling tinggi, Presiden Jokowi dapat saja menjauhkan diri dari massa dengan pertimbangan keamanan. Namun, dia memilih posisi radikal. Dia jadi bagian dari publik. Dengan ini, sebagai seorang pejabat publik, Jokowi secara lugas memperlihatkan sisi lain ”privilese politik”. Sikap politik yang melampaui kenikmatan kekuasaan.
Dia jadi bagian dari publik. Dengan ini, sebagai seorang pejabat publik, Jokowi secara lugas memperlihatkan sisi lain ’privilese politik’.
Retorika
Diskursus seputar kelas elite politik (kekuasaan) niscaya beririsan dengan segudang privilese (keistimewaan). Sumber dari kondisi ini terungkap dalam pemikiran Crispin Thurlow dan Adam Jaworski (2017) dengan mendedahkan bahwa figurasi kelas elite senantiasa bersinggungan dengan dua retorika penting, yang pada akhirnya berujung pada pemakluman privilese.
Pertama, kelas elite hanya bersentuhan dengan produksi atau reproduksi status, posisi, kedudukan dengan imbas tak terbantahkan pada privilese. Kedua, kelas elite berdiri di atas godaan menjaga kekuasaan. Dua sisi retorika ini memastikan sebuah konsep jaminan (garansi) keistimewaan. Privilese sebagai sebuah garansi sekaligus jaringan.
Padanya ada kepastian. Kepastian itu juga terkait dalam justifikasi legal. Aturan atau UU membingkai pemenuhan privilese elite. Privilese terbingkai dalam proteksi hukum. Hal itu dilakukan agar pemenuhan privilese selalu pada tingkatan tidak terbantahkan.
Kondisi itu kemudian mengendap dalam kesadaran elite sekaligus publik. Pada dimensi politik, kelas elite akan menerima rentetan keistimewaan. Sementara pada dimensi sosial, rakyat seolah memiliki ”kerelaan” mengutamakan kelas elite. Mengamini semua kehendak mereka.
Dengan cara semacam ini, kekuasaan (politik) berpeluang berlepotan hasrat tanpa batas atas pengakuan dan ketundukan publik. Di titik ini, politik dilumuri prasangka pamrih. Aspek ini selalu berimpitan dengan ”akuisme” para elite. Sebuah sikap politik ingin didahulukan.
Kapitalisasi privilese menjadi cikal bakal perusakan keadaan politik dan kekuasaan. Kelas elite memanfaatkan jaminan politik, hukum, dan sosial di luar urusan-urusan ”kerakyatan” (publik). Jabatan yang bersifat publik mengalami deviasi. Penyempitan ikhtiar politik para elite hanya merujuk pada kepentingan para kroni dan konco mereka.
Di titik ini, privilese serentak menjadi kutukan kelas elite politik. Patronalisasi dan klientisasi hubungan politik antara elite dan publik menjadi kedok yang menyembunyikan niat buruk mereka di balik jaringan privilese kelas elite. Pada aras ini, kita membincangkan ruang keadaban politik. Dan, bukan perkara sulit untuk melacak tingkat keadaban pejabat publik. Cara mereka mengelola privilese posisi dan status politik akan mengindikasikan bobot keadaban politik kaum elite.
Kondisi semacam ini yang memudahkan kita berpapasan dengan sikap-sikap arogan dan anti-sosial di ruang publik. Kita menyaksikan perilaku di luar ukuran-ukuran kepatutan sosial dari sikap seorang pejabat politik publik. Kelas pejabat merancang multiplikasi privilese dalam beragam pengungkapan. Semua bermuara pada membesarnya kemungkinan-kemungkinan tanpa batas meraup keuntungan, kemudahan, dan keistimewaan.
Koreksi
Pemenuhan karakter esensial seorang pejabat publik akan menentukan pengungkapan privilese politik. Jokowi sedang mereformulasi deretan keistimewaan sebagai seorang pejabat negara. Sebuah ekspresi ”merakyat” tanpa mendahulukan kepentingan diri.
Dia berusaha berdiri di titik seberang dari sebuah imajinasi elitis, yang membekap kesadaran publik, bahwa seorang pejabat niscaya harus diutamakan. Jokowi adalah seorang pejabat publik yang sedang menggagas ”privilese negatif”, sebuah sikap yang menjauhkan disposisi politik dari hasrat kemaruk kekuasaan.
Sebuah proses penjungkirbalikan ilusi. Sebuah koreksi serentak rekonstruksi kesilapan sikap-sikap tengik kelas elite ketika memperlakukan kemudahan-kemudahan sosial-politik demi mendorong akumulasi keuntungan yang kian menumpuk. Dalam perilaku kekuasaan semacam ini, kita bisa menangkap pesan yang tidak lagi samar tentang sebuah pembongkaran mentalitas elitis yang sekian lama seolah menjadi hukum alam.
Sesuatu yang tak terbantahkan. Di sini tercetak nilai etis kekuasaan bahwa privilese tak terarahkan pada keuntungan diri, tapi melapangkan pemenuhan kebutuhan warga.
Max Regus, Dekan FKIP Unika Santu Paulus Ruteng, Flores