MBKM dan MOOC, Peluang Kuliah di Universitas Ternama
Angka partisipasi kasar perguruan tinggi masih rendah. Integrasi MOOCs dan MBKM menjadi solusi jitu untuk menyiapkan anak-anak muda Indonesia agar dapat memperoleh kesempatan belajar di perguruan tinggi.
Oleh
ABDUL HARIS
·5 menit baca
Calon mahasiswa yang belum beruntung mengamankan bangku kuliahnya di universitas negeri melalui jalur undangan Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) masih memiliki kesempatan untuk berjuang melalui jalur Ujian Tertulis Berbasis Komputer Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UTBK SBMPTN) yang diselenggarakan pada 17 Mei-3 Juni 2022, juga melalui Seleksi Penerimaan Jalur Mandiri yang diselenggarakan oleh setiap universitas. Peluang besar masih terbuka untuk berkuliah di universitas favorit. Sebagaimana pepatah, ”banyak jalan menuju Roma”.
Meskipun peluang tersebut melimpah, masih sedikit siswa yang pada akhirnya benar-benar sampai ke tujuan menjadi mahasiswa. Putra-putri bangsa yang belum memperoleh kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi ternyata masih besar jumlahnya.
Berdasarkan data terbaru tahun 2021 yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik, angka partisipasi kasar (APK) perguruan tinggi di Indonesia berada di angka 31,19. APK perguruan tinggi merupakan rasio antara jumlah penduduk yang berkuliah di jenjang perguruan tinggi dan jumlah penduduk yang memenuhi syarat untuk menempuh pendidikan di jenjang perguruan tinggi.
Ringkasnya, hingga tahun 2021, dari setiap 100 penduduk usia sekolah yang dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang universitas, hanya ada 31 orang yang benar-benar memperoleh kesempatan itu. Fakta ini perlu menjadi perhatian kita bersama, terutama para pembuat kebijakan di perguruan tinggi dan kementerian terkait.
SDM unggul menuju negara maju
Inklusi perguruan tinggi adalah salah satu langkah konkret mendukung target pemerintah menjadikan Indonesia negara maju tahun 2045. Sebab, prasyarat yang harus dipenuhi sebagai fondasi Indonesia menjadi negara maju adalah penyiapan sumber daya manusia (SDM) unggul yang antara lain diperoleh melalui pendidikan dan penelitian. Keduanya merupakan aktivitas bisnis utama perguruan tinggi sebagaimana tercantum dalam tridharma perguruan tinggi. Semakin banyak anak Indonesia yang mengenyam pendidikan tinggi, maka akan semakin baik kualitas SDM Indonesia.
Inklusi perguruan tinggi adalah salah satu langkah konkret mendukung target pemerintah menjadikan Indonesia negara maju tahun 2045.
Pendidikan tinggi secara langsung berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional. Melalui berbagai inovasi dan peningkatan keterampilan peserta didik, pendidikan tinggi memegang peranan kunci untuk eskalasi kualitas hidup dan kelayakan hidup masyarakat. Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) mengamini bahwa investasi pada pengembangan pengetahuan dan diseminasinya adalah faktor utama menciptakan tenaga kerja berupah tinggi sekaligus meningkatkan produktivitas kerja.
Tanggung jawab universitas adalah menyediakan dan melaksanakan rangkaian proses pengembangan kemampuan melalui transfer pengetahuan, pengalaman, dan nilai untuk menyiapkan mahasiswa menjadi SDM andal. Sayangnya, potensi besar ini bisa jadi tidak tergarap sama sekali, apabila sejak awal anak-anak tidak memiliki kesempatan untuk merasakan pendidikan tinggi itu sendiri. Boleh jadi karena keterbatasan finansial dan keterbatasan infrastruktur akademik beserta penunjangnya atau bisa juga karena tingkat kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan tinggi yang masih rendah.
Belajar tiga semester di luar prodi
Kebijakan Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) dapat menjadi jalan keluar atas masih rendahnya APK perguruan tinggi di Indonesia. Salah satu terobosan dalam kebijakan itu adalah adanya hak belajar tiga semester di luar program studi (prodi). Satuan kredit semester (SKS) tidak lagi diartikan sebagai jam belajar, tetapi jam berkegiatan.
Dengan demikian, mahasiswa dapat memilih berbagai aktivitas di luar kelas yang nanti akan direkognisi menjadi satuan kredit. Ada delapan bentuk kegiatan pembelajaran yang dapat diambil mahasiswa, mulai dari pertukaran pelajar, magang, asistensi mengajar, penelitian, proyek kemanusiaan, wirausaha, proyek independen, dan membangun desa.
Permendikbud Nomor 3 Tahun 2020 yang menjadi payung kebijakan MBKM mewajibkan perguruan tinggi untuk memfasilitasi hak mahasiswa dalam mengambil SKS di luar prodi, baik di dalam maupun di luar perguruan tinggi sendiri. MBKM memungkinkan mahasiswa untuk belajar di luar prodinya paling banyak 60 SKS atau selama tiga semester.
Pembukaan akses pembelajaran melalui MBKM dapat memberikan peluang bagi para siswa sekolah untuk ikut belajar di kampus.
Sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 15 Ayat 4 aturan di atas, pelaksanaan pembelajaran selama tiga semester itu ditentukan oleh kementerian dan/atau pimpinan universitas. Ini mengindikasikan bahwa pemerintah memberikan fleksibilitas terkait implementasi MBKM kepada pimpinan perguruan tinggi masing-masing.
Pembukaan akses pembelajaran melalui MBKM dapat memberikan peluang bagi para siswa sekolah untuk ikut belajar di kampus. Dengan demikian, anak-anak Indonesia bisa mengikuti perkuliahan di sebuah universitas meskipun dia belum berstatus sebagai mahasiswa di universitas tersebut. Terlebih dalam kondisi pandemi seperti saat ini, di mana banyak perkuliahan dilaksanakan secara daring, masalah daya tampung ruang kelas dan fasilitas pendidikan yang turut berkontribusi pada rendahnya APK perguruan tinggi dapat sedikit teratasi.
Integrasi MBKM dan MOOCs
Di tengah tuntutan Revolusi Industri Keempat, perguruan tinggi harus beradaptasi dengan ekosistem digital. Saat ini sudah banyak tersedia massive open online courses (MOOCs) yang dapat diakses oleh siapa pun, kapan pun, dan dari mana pun. Integrasi MOOCs dan MBKM menjadi solusi jitu untuk menyiapkan anak-anak muda Indonesia agar dapat memperoleh kesempatan belajar di perguruan tinggi.
Misalnya, anak yang belum beruntung lolos seleksi SNMPTN maupun UTBK-SBMPTN atau karena keterbatasan finansial belum mampu mendaftar perguruan tinggi tetap dapat mengikuti perkuliahan daring dan kelas terbuka di sebuah kampus melalui MOOCs. Selama peserta didik mampu menyerap materi yang disampaikan dosen dan mencapai standar tertentu dalam mata kuliah tersebut, maka perolehan kreditnya dapat direkognisi, artinya peserta didik dapat menabung sejumlah SKS lulus yang terdokumentasi dalam sistem akademik perguruan tinggi.
Jika di kemudian hari anak tersebut mengikuti seleksi masuk kampus dan kemudian diterima, SKS yang telah diperoleh melalui MOOCs dapat menjadi faktor pengurang beban SKS yang harus diambil. Taruhlah syarat minimal lulus gelar sarjana adalah 144 SKS, maka dia tinggal mengambil 84 SKS atau sekitar empat semester ketika menjadi mahasiswa aktif di universitas nanti, karena 60 SKS lainnya dapat diperoleh lewat MOOCs MBKM.
Skema semacam ini memungkinkan efisiensi biaya pendidikan bagi peserta didik karena hanya membayar biaya pendidikan setelah aktif menjadi mahasiswa. Di saat yang sama, skema ini juga memungkinkan perguruan tinggi melebarkan proses pembelajarannya dan memperluas akses dan berkontribusi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Rendahnya APK perguruan tinggi adalah masalah yang harus menjadi tanggung jawab kita bersama, selaku kaum terdidik dan para pembuat kebijakan pendidikan tinggi di Indonesia. Perlu kerja keras, kerja cerdas, serta kerja sama untuk memberikan akses pembelajaran dan meningkatkan partisipasi kasar perguruan tinggi.
Kebijakan apa pun yang mungkin menjadi solusi, sebaiknya kita perjuangkan. Selama ada itikad dan mimpi bersama ke arah sana, semuanya hanya soal waktu. Dengan demikian, visi Indonesia Maju tahun 2045 dapat kita sambut dengan penuh rasa optimis.
Abdul Haris, Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Universitas Indonesia