Ancaman ”Lost Generation” pada Anak Tunarungu
”Lost generation” yang telah ada selama ini pada anak-anak tunarungu hingga kini belum mendapatkan perhatian yang signifikan dari pemerintah. Mereka membutuhkan alat bantu dengar dan terapi.
Seorang bayi terlahir memiliki 100 miliar sel saraf di otaknya (Suskind, 2015). Setiap informasi yang diperoleh bayi dari lingkungannya melalui kelima inderanya membuat sel-sel saraf tersebut terkoneksi satu sama lain. Semakin banyak koneksi antarsel saraf di otak, sang bayi makin cerdas.
Dari kelima indera manusia, pendengaran merupakan media utama yang sangat berperan bagi perkembangan kecerdasan seseorang. Pasalnya, manusia menyerap informasi melalui pendengaran 1.000 kali lebih cepat daripada melalui penglihatan (Flexer, 2017). Ia mendengar lebih cepat daripada melihat, mengecap, membaui, atau menyentuh.
Namun, tanpa ada pengajaran dari lingkungan untuk sang bayi, koneksi antarsel-sel saraf di otaknya tidak akan terbangun. Dengan kata lain, ada pendengaran saja tidak cukup untuk membuat seorang bayi menjadi cerdas. Bayi perlu diberi pembelajaran melalui pendengarannya dengan diajak berinteraksi, berbicara, bermain, bernyanyi, dan dibacakan buku oleh orangtuanya (Suskind, 2015).
Baca juga: Memantau Tumbuh Kembang Anak secara Mandiri
Dua puluh minggu sebelum lahir, telinga bagian dalam janin yang disebut rumah siput telah berkembang dengan sempurna (Gordon dan Harrison, 2005). Oleh karena itu, otak auditori si janin dalam kandungan bisa mulai diberi stimulasi dengan diajak berbicara, dibacakan buku, dibacakan kitab suci, diperdengarkan lagu, diperdengarkan musik, dan seterusnya. Stimulasi-stimulasi dini ini sudah mulai mengembangkan kecerdasan si janin.
Fondasi keseluruhan arsitektur otak bayi pada dasarnya dibangun pada tahun pertama kehidupan mereka. Pada tiga tahun pertama kehidupan, 80-85 persen otak fisik mereka berkembang (Suskind, 2015). Otak memiliki plastisitas yang paling baik untuk membuat koneksi antarsel saraf hingga usia 3,5 tahun (Ching dkk, 2018).
Oleh karena itu, stimulasi dini pada tahun-tahun pertama ini sangat menentukan kecerdasan seorang anak. Stimulasi-stimulasi yang diberikan setelah ”masa emas” alias tahun-tahun pertama ini, pengaruhnya terhadap kecerdasan tidak lagi sesignifikan stimulasi yang diberikan pada tahun-tahun awal kehidupan.
Dana Suskind MD yang hasil penelitiannya banyak dikutip di atas adalah Profesor Operasi dan Pediatrik. Suskind juga menjabat Direktur Program Implan Rumah Siput Pediatrik, dan Pendiri serta Co-Director Pusat TMW untuk Pendidikan Dini dan Kesehatan Masyarakat di Universitas Chicago, Amerika Serikat. Ia adalah penulis buku Thirty Million Words: Building a Child’s Brain (2015) dan buku Parent Nation: Unlocking Every Child’s Potential, Fulfilling Society’s Promise (2022).
Suskind banyak merujuk kepada penelitian Hart dan Risley (1999) yang menemukan hal mencengangkan terkait kebiasaan orangtua dari berbagai kalangan berbicara kepada anak mereka. Hart dan Risley menemukan bahwa orangtua dari kalangan profesional, seperti profesor dan para ahli, berbicara dengan intensitas sekitar 2.100 kata per jam kepada anaknya. Adapun orangtua dari kelas pekerja berbicara sekitar 1.200 kata per jam kepada anaknya.
Sementara orangtua dari kalangan kurang mampu dan sering memerlukan bantuan finansial dari pemerintah berbicara hanya 600 kata per jam kepada anaknya. Orangtua dari kalangan ini sering kali isi pembicaraan kepada anaknya hanya berupa perintah atau larangan. Jangan ini, jangan itu. Tidak boleh melakukan ini, tidak boleh melakukan itu.
Kebiasaan orangtua berbicara dengan anaknya akan sangat memengaruhi IQ si anak.
Padahal kebiasaan orangtua berbicara dengan anaknya akan sangat memengaruhi IQ si anak. Semakin banyak kata per jam yang didengar sang anak, semakin tinggi IQ-nya. Seperti yang disampaikan Dana Suskind, lingkungan bahasa di rumah merupakan dasar perkembangan otak bayi dan prediktor terbaik kemampuan bahasa, membaca, dan IQ sang bayi kelak (2017).
Semakin banyak dan berkualitas isi pembicaraan orangtua dengan bayinya, bakal semakin cerdas sang bayi. Dampaknya, kelak sang bayi yang terpapar bahasa secara lebih intens dan cerdas itu berpotensi mengeluarkan prestasinya di sekolah. Di kemudian hari, bayi yang tumbuh dengan terpapar bahasa lebih intens itu, peluangnya untuk menggeluti profesi yang sesuai minat dan bakatnya jauh lebih besar.
Pada penelitian Hart dan Risley di atas, ketika diukur IQ-nya, anak-anak dari orangtua kalangan profesional memiliki IQ paling tinggi dan anak-anak dari orangtua kalangan kurang mampu memiliki IQ paling rendah. Dan setelah dianalisis penyebabnya bukan karena kondisi finansial orangtua mereka, melainkan karena mereka sejak bayi paling banyak diajak berbicara oleh orangtuanya.
Namun jangan berkecil hati—dan deterministik—sebagian persoalan dalam tumbuh kembang otak anak dapat diatasi dengan mengubah mindset. Dengan panduan yang tepat, orangtua dari kalangan mana pun dapat meningkatkan kuantitas dan kualitas isi pembicaraan (bahasa) yang diterima bayi mereka. Kata kuncinya, meningkatkan kuantitas dan kualitas isi pembicaraan dengan sang bayi.
Anak dengan gangguan pendengaran
Namun, otak seorang anak hanya dapat menerima dan merespons isi pembicaraan, bahasa, dan input suara yang masuk hanya jika telinganya berfungsi dengan baik. Pada anak tunarungu, karena ada gangguan di telinganya, segala suara yang diperdengarkan orangtuanya tidak bisa sampai ke otaknya dengan sempurna. Semakin berat tingkat gangguan pendengaran, semakin kecil kemungkinan suara bisa diterima otak. Dan semakin otak tidak terstimulasi, semakin terhambat pula perkembangan kecerdasan sang anak.
Enam dari 1.000 bayi di negara berkembang, seperti Indonesia, terlahir memiliki gangguan pendengaran (WHO, 2014). Angka prevalensi ketulian di Indonesia saat ini tidak diketahui dengan pasti. Namun, hasil Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran 1994-1996 menunjukkan prevalensi ketulian mencapai 0,4 persen, dan morbiditas telinga 18,5 persen. Survei ini digelar di tujuh provinsi di Tanah Air.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengelompokkan derajat gangguan pendengaran ke dalam empat tingkat (2008). Gangguan pendengaran ringan 26-40 dB (baca: desibel), sedang 41-60 dB, berat 61-80 dB, dan berat sekali >80 dB. Untuk dapat mendengar suara ucapan manusia dengan baik, anak dengan gangguan pendengaran ringan hingga sedang memerlukan alat bantu dengar. Sementara anak dengan gangguan pendengaran berat hingga berat sekali memerlukan implan rumah siput.
Baca juga: Optimalkan Indera, Perangkat Ini Bisa Bantu Penyandang Gangguan Pendengaran
Menurut berbagai penelitian yang dirangkum Hearing First (2019), hasil optimal mendengar, berbicara, dan berbahasa bagi anak yang memiliki gangguan pendengaran dengan derajat ringan hingga sedang akan diperoleh jika anak mulai menggunakan alat bantu dengar pada usia 3-6 bulan. Dan hasil optimal bagi anak yang memiliki gangguan pendengaran dengan derajat berat hingga berat sekali akan diperoleh jika anak mulai menggunakan implan rumah siput pada usia 6-9 bulan.
Namun, hasil optimal yang dimaksud hanya akan diperoleh jika selain menggunakan teknologi pendengaran berupa alat bantu dengar dan/atau implan rumah siput, anak dan keluarganya juga mengikuti habilitasi pendengaran berupa auditory-verbal therapy (AVT) dan si anak banyak diajak berbicara oleh orangtuanya (Hearing First, 2019).
Jika anak-anak tunarungu sudah menggunakan teknologi pendengaran sesuai kebutuhan, mengikuti AVT, dan banyak diajak berbicara oleh orangtuanya sejak dini, perkembangan otak dan kecerdasannya pun bisa seoptimal teman-teman sebayanya yang tidak memiliki masalah pendengaran.
Anak-anak tunarungu di negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, beruntung bisa mendapatkan teknologi pendengaran sesuai kebutuhan dan AVT secara gratis dari pemerintah mereka. Namun hal itu tidak diperoleh oleh anak-anak tunarungu di Indonesia. Alat bantu dengar berkualitas dengan harga beberapa juta hingga puluhan juta rupiah dan implan rumah siput dengan harga ratusan juta rupiah plus biaya untuk AVT masih sangat sulit dijangkau mayoritas keluarga anak tunarungu di Tanah Air.
Oleh karena itu, banyak sekali anak tunarungu di Indonesia yang tidak menggunakan teknologi pendengaran yang mereka butuhkan dan tidak dapat mengikuti AVT. Alhasil, serajin apa pun orangtua anak tunarungu mengajak anak mereka berbicara, apa yang dibicarakan tersebut tidak dapat didengar oleh telinga anak sehingga tidak bisa sampai ke otaknya. Akibatnya, otak anak-anak tunarungu ini tidak terstimulasi seoptimal teman-teman sebayanya yang tidak memiliki masalah pendengaran. Dengan demikian, kecerdasannya pun menjadi sangat sulit untuk dapat dikembangkan secara optimal.
Banyak sekali anak tunarungu di Indonesia yang tidak menggunakan teknologi pendengaran yang mereka butuhkan dan tidak dapat mengikuti AVT.
Pemerintah belum memfasilitasi kebutuhan anak-anak tunarungu atas teknologi pendengaran sesuai kebutuhan dan AVT. Dalam jangka pendek, menengah, dan panjang, ini mengakibatkan kecerdasan anak-anak tunarungu di Indonesia tidak berkembang secara optimal. Banyak anak tunarungu di Tanah Air tumbuh dengan tidak memiliki kecerdasan yang optimal, tertinggal di sekolah, dan tidak memiliki kesempatan yang sama di dunia kerja.
Membiarkan tetap begitu, tanpa bantuan, sama dengan mempertaruhkan masa depan anak-anak tunarungu. Ini lost generation yang diam, berada di bawah permukaan, tidak dihitung, tetapi efeknya mencekam. Jauh lebih mencekam dibandingkan lost generation yang diakibatkan pandemi Covid-19 yang meletus pada Maret 2020.
Pemerintah Indonesia perlu belajar dari negara tetangga kita, Malaysia. Sejak 2008 hingga 2017 saja, sudah lebih dari 200 implan rumah siput yang disubsidi pemerintah untuk anak-anak tunarungu di sana. Tengok pula tetangga kita di Asia Selatan yang tingkat kemiskinannya lebih dari dua kali lipat dari negara kita, tetapi kebijakannya terkait anak tunarungu patut diacungi jempol, yakni Bangladesh. Pada 2018, tingkat kemiskinan di Bangladesh mencapai 21,80 persen. Sementara tingkat kemiskinan di Indonesia pada tahun yang sama kurang dari dua digit, yaitu 9,66 persen.
Baca juga: Gerkatin Solo, Komunitas yang Mengajarkan Bahasa Isyarat untuk Semua Orang
Namun untuk urusan kepedulian kepada anak tunarungu atau anak dengan gangguan pendengaran, Pemerintah Bangladesh jauh di depan negeri kita. Saat ini, Pemerintah Bangladesh berhasil membagikan 600 implan rumah siput plus satu tahun terapi gratis kepada anak-anak tunarungu di sana.
Kalau Pemerintah Bangladesh saja dengan tantangan ekonomi yang jauh lebih berat dari negara kita menaruh perhatian yang begitu besar kepada anak-anak tunarungu di negara mereka, apa yang menghalangi kita untuk melakukan hal sama? Apa sulitnya Indonesia yang berusia 77 tahun melakukan hal yang sama? Ketidaktahuan penyebabnya, atau justru ketidakpedulian?
Eka Kurnia Hikmat, Direktur Eksekutif Rumah Siput Indonesia Hearing (Re)habilitation and Training Center; Listening and Spoken Language Specialist Certified Auditory-Verbal Therapist; Alumnus Master of Special Education (Deaf and Hard of Hearing Specialization) dari The University of Newcastle, Australia
Instagram: eka.k.hikmat; Facebppk: eka.k.hikmat