Orang-orang yang sepanjang hidupnya berjuang untuk kebenaran pada hakikatnya tak pernah pergi. Begitupun Buya Syafii, jiwa, semangat, keteladanan, dan pesan-pesannya akan tetap ada menembus batas ruang dan waktu.
Oleh
ABD ROHIM GHAZALI
·5 menit baca
Dalam acara Rosi, ”Buya Syafii dalam Kenangan, Membumikan Pancasila”, yang ditayangkan Kompas TV, Kamis (2/6/2022), tersirat kekhawatiran tidak akan ada lagi guru bangsa yang bisa menggantikan Ahmad Syafii Maarif yang wafat pada 27 Mei 2022. Atas kekhawatian ini, Menko Polhukam Mahfud MD menjawab dengan mengutip ayat Al Quran Surah Al-Baqarah Ayat 154: ”Jangan mengira orang-orang yang berjuang di jalan Allah itu wafat, mereka itu hidup tapi engkau tidak menyadarinya”.
Pada saat Abdurrahman Wahid (Gus Dur) meninggal, kata Mahfud, kita juga bertanya, siapa yang akan menggantikan Gus Dur? Ternyata masih ada Buya Syafii. Sekarang setelah Buya pergi, pasti ada penggantinya. Apalagi kata Allah SWT, orang-orang yang sepanjang hidupnya berjuang untuk kebenaran pada hakikatnya tidak pernah pergi.
Banyak kalangan menyebut Buya sebagai guru bangsa. Semasa hidupnya Buya menolak sebutan ini karena terlampau tinggi dan berat. Begitupun dengan sebutan Buya. ”Ditambahkan satu ’a’ saja jadi buaya!” Begitulah beliau selalu mengingatkan.
Orang-orang yang sepanjang hidupnya berjuang untuk kebenaran pada hakikatnya tidak pernah pergi.
Siapakah guru bangsa?
Syarat menjadi guru bangsa, selain memiliki peran besar dalam memajukan bangsa, radius pergaulannya harus melintas batas suku, agama, dan kepentingan partai/golongan. Selain itu, harus berkepribadian luhur, egaliter, hidup sederhana, dan demokrat sejati (memiliki pemikiran dan sikap yang demokratis). Berat bukan?
Melintas batas tidak harus diterima oleh semua kalangan karena di dunia ini tidak mungkin ada tokoh yang bisa disukai semua orang. Bahkan, para Nabi pun memiliki banyak musuh. Padahal, Nabi sudah pasti berakhlak terpuji yang patut diteladani.
Guru bangsa juga tidak harus hidup miskin, tetapi merasa cukup dengan apa yang dibutuhkan, bukan apa yang diinginkan. Muhammad Natsir pernah menolak pemberian mobil Chevrolet Impala—yang tergolong mewah pada tahun 1956—dari seorang tamu. Karena Natsir sudah merasa cukup dengan mobil pribadi bermerek DeSoto yang sudah kusam (Natsir, Politik Santun di Antara Dua Rezim, 2017: 45-47).
Muhammad Hatta, Wakil Presiden pertama Republik Indonesia, tak jadi membeli sepatu Bally yang diinginkan karena uangnya tidak cukup. Sampai akhir hayat, Hatta menjadi cermin berjalan tingginya integritas moral dan kesederhanaan.
Agus Salim merupakan tokoh besar yang disegani. Ia tinggal di rumah yang sederhana dan berpindah-pindah. ”Jalan pemimpin bukan jalan yang mudah. Memimpin adalah jalan yang menderita,” kata Salim kepada sahabat yang lebih muda dan sering mengunjunginya, Kasman Singodimedjo, (Mohamad Roem dalam buku: Manusia dalam Kemelut Sejarah, 1978: 104).
Buya sebagai guru bangsa?
Tidak bermaksud menyamakannya dengan tokoh-tokoh bangsa di atas, Ahmad Syafii Maarif, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah (1998-2005) yang menerima banyak penghargaan antara lain Ramon Magsaysay (2008), merupakan salah satu tokoh yang hidup dalam balutan kesederhanaan dan komitmen tinggi terhadap keutuhan bangsanya yang selalu dalam ancaman perpecahan.
Kesederhanaan tidak identik dengan kemiskinan. ”Kalau kita miskin, akan menjadi beban orang lain. Hidup kita tidak merdeka,” kata Buya yang sampai menjelang akhir hayatnya tetap produktif berkarya. Dalam pergaulan, meskipun tidak diterima di semua kalangan, Buya mampu menghilangkan sekat-sekat suku, ras, golongan, dan agama.
Buya bukan penghamba kekuasaan. Kritik-kritiknya keras di atas bangunan logika yang kokoh dengan menggunakan metafora yang tepat seperti ”lumpuhnya Pancasila” untuk melukiskan lima dasar negara itu hanya indah di mulut, mentereng di tulisan, tetapi nihil dalam tindakan; ”preman berjubah” untuk para manipulator agama; ”politik rabun ayam” untuk para politisi yang tuna visi dan hanya mampu melihat kepentingan jangka pendek; ”politik ikan lele” untuk politikus yang licin dan pandai memanfaatkan keruhnya suasana; dan ”berada di tiang gantungan sejarah” untuk menggambarkan nasib komunisme.
Dalam pergaulan, meskipun tidak diterima di semua kalangan, Buya mampu menghilangkan sekat-sekat suku, ras, golongan, dan agama.
Di era pandemi Covid-19, Buya menunjukkan komitmen kebangsaan yang sangat kuat. Pada saat melihat ada sejumlah kalangan yang sibuk mewacanakan pemakzulan Presiden, Buya mengatakan bahwa dalam situasi sangat berat yang sedang dipikul oleh bangsa dan negara Indondesia, kita semua perlu bahu-membahu untuk mencari jalan keluar dan menenangkan publik sambil memberi masukan kepada pemerintah agar bekerja lebih kompak dan sinergis.
”Amatlah tidak bijak jika ada sekelompok orang berbicara tentang pemakzulan presiden yang dikaitkan dengan kebebasan berpendapat dan prinsip konstitusionalitas. Kita khawatir cara-cara semacam ini akan menambah beban rakyat yang sedang menderita dan bisa juga menimbulkan gesekan dan polarisasi dalam masyarakat,” kata Buya Syafii (IG @serambibuya, 2 Juni 2020).
Sebagai tokoh yang kerap disejajarkan dengan Cak Nur dan Gus Dur, Buya Syafii kerap seperti berada dalam ”show room” yang menjadi pusat perhatian. Tak selalu pujian yang datang. Banyak kritik, saran, cercaan, atau bahkan hujatan yang ditujukan kepadanya. Tak sedikit pula yang telah menuliskannya dalam satu karya utuh berupa skripsi, tesis, atau bahkan disertasi yang kemudian diterbitkan menjadi buku. Menulis tentang Buya Syafii adalah menulis tentang guru bangsa. Seorang guru yang memiliki komitmen kebangsaan yang utuh.
Prinsip-prinsip demokrasi yang menjadi landasan berbangsa dan bernegara, menurut Buya, berada dalam satu tarikan napas dengan nilai-nilai agama. Pada masa awal Islam, Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya menjalankan cara-cara hidup bermasyarakat yang demokratis. Sayang, cara hidup yang anggun itu terkikis setelah masyarakat Islam berada di bawah kekuasaan para khalifah yang menerapkan sistem pergantian kekuasaan secara turun-temurun.
Menulis tentang Buya Syafii adalah menulis tentang guru bangsa. Seorang guru yang memiliki komitmen kebangsaan yang utuh.
Salah satu implementasi demokrasi adalah penegakkan keadilan. Cita-cita demokrasi tidak akan terwujud tanpa keadilan yang menjadi bagian tak terpisahkan dari ajaran Islam. Indonesia sebagai negara besar dengan penduduk Muslim terbanyak di dunia punya potensi untuk tampil menjadi contoh bagi negara-negara Muslim lainnya dalam mempraktikkan demokrasi dan menegakkan prinsip-prinsip keadilan.
Dengan mengamalkan Pancasila dan menerapkan sistem demokrasi yang benar, Indonesia bisa menjadi negara yang adil dan beradab. Sayangnya, menurut Buya, masih banyak politikus yang membajak agama untuk kepentingan politik jangka pendek. Agama dijadikan alat untuk menyekat, padahal misi agama bersifat universal tanpa batas.
Dengan mengamalkan ajaran Islam secara ketat (puritan), tidak menghalangi Buya Syafii untuk bersahabat dengan semua pemeluk agama. Pluralisme bagi Buya adalah keniscayaan sejarah. Sunatullah yang tak bisa ditolak. Perbedaan bukan untuk saling menegasikan, melainkan untuk saling mengenal, memahami, dan menghormati satu sama lain.
Secara fisik, Buya Syafii telah pergi, tetapi jiwanya, semangatnya, keteladanan, dan pesan-pesannya akan tetap ada menembus batas ruang dan waktu.
Abd Rohim Ghazali, Direktur Eksekutif Maarif Institute