Jajak pendapat ”Kompas” menunjukkan, sosok akademisi, negarawan, figur yang tak memiliki ambisi politik, dan agamawan empat kata kunci utama dari responden ketika ditanya soal sosok guru bangsa.
Oleh
YOHAN WAHYU
·5 menit baca
Seseorang yang lebih menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas segalanya menjadi kriteria yang dilekatkan pada imaji publik tentang sosok guru bangsa. Mereka adalah para negarawan yang sepi terhadap kepentingan politik praktis. Kepada mereka, rindu publik ini disematkan.
Di tengah panggung politik yang banyak mempertontonkan tarik-menarik kepentingan elite, publik merindukan sosok yang mengedepankan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya. Hasil jajak pendapat Kompas merekam bagaimana publik memahami sosok guru bangsa sebagai ekspresi dari kerinduan tersebut.
Sosok akademisi, negarawan, tidak memiliki ambisi politik, dan tokoh agamawan menjadi empat kata kunci utama dari responden ketika ditanya apa yang terlintas dalam benak mereka tentang guru bangsa. Keempat kata kunci itu merepresentasikan nilai-nilai ideal yang harus dimiliki seseorang ketika disebut sebagai guru bangsa.
Kata kunci akademisi disebutkan responden sebagai representasi bahwa guru bangsa dekat dengan dunia akademik, dunia intelektual, dan tentu tidak lepas dari pemikiran rasional dan ilmiah. Kata kunci negarawan yang disebutkan lebih kurang sama dengan kata kunci yang pertama. Hal ini memberi sinyal sosok guru bangsa lebih mengedepankan kepentingan negara dibandingkan kepentingan lainnya.
Kata kunci ketiga, tidak berambisi politik. Hal ini memperkuat poin pertama dan kedua bahwa ketika seseorang pemikirannya dilandasi obyektivitas yang rasional dan lebih mengedepankan kepentingan negara, makin lengkap jika kemudian ia tidak memiliki ambisi dalam jabatan politik praktis karena lebih mengutamakan kepentingan bangsa. Kata kunci keempat, agamawan makin ”menyempurnakan” sosok guru bangsa yang dibayangkan publik. Sosok guru bangsa tidak pernah lepas dari nilai-nilai moralitas keagamaan.
Dilihat dari latar belakang responden, keempat kata kunci utama itu disebutkan oleh hampir semua generasi meskipun dengan gradasi sedikit berbeda antarkelompok responden. Generasi Y yang berusia 24-39 tahun, misalnya, lebih banyak porsinya (25 persen) menyebutkan kata kunci negarawan dibandingkan generasi lainnya. Kata negarawan lebih dekat dengan imaji mereka tentang konsep guru bangsa itu sendiri. Sementara dari kelompok generasi lainnya relatif berimbang, antara konsep negarawan dan akademisi.
Sementara itu, dilihat dari latar belakang pendidikan responden, wacana soal guru bangsa lebih banyak dipahami mereka yang berpendidikan menengah ke atas. Kelompok responden berpendidikan dasar lebih banyak yang kurang memahami konsep guru bangsa. Porsi responden yang cenderung tak tahu soal guru bangsa lebih banyak daripada kelompok berpendidikan dasar.
Gus Dur
Hal yang menarik dari kelompok responden berpendidikan dasar ini adalah disebutkannya nama Gus Dur, panggilan akrab Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid, ketika ditanyakan soal imaji mereka tentang guru bangsa.
Hal ini tentu memberikan sinyal nama Gus Dur begitu melekat dengan guru bangsa meskipun pertanyaan yang diajukan dalam jajak pendapat lebih pada soal konsepsi soal guru bangsa. Sebagai seorang tokoh, di mata mereka, Gus Dur bagian dari konsepsi tersebut.
Ketika masuk dalam pertanyaan terkait nama tokoh, puluhan nama disebutkan. Namun, hanya ada empat nama yang menonjol, yakni Presiden ke-1 RI Soekarno, Ki Hadjar Dewantara, Gus Dur, dan Presiden ke-3 RI BJ Habibie. Keempat nama itu kongruen dengan empat kata kunci sebelumnya yang jadi konsepsi publik tentang guru bangsa. Keempat nama ini memiliki peran dalam sejarah bangsa yang tak lepas dari empat konsepsi di atas. Soekarno lebih kuat sebagai seorang negarawan. Sebagai seorang pemimpin revolusi kemerdekaan, Soekarno menjadi sosok yang mengantarkan kelahiran negara Republik Indonesia.
Ki Hadjar Dewantara dikenal sebagai Bapak Pendidikan Indonesia karena jasanya di sektor pendidikan. Gus Dur dikenal sebagai tokoh agama, intelektual, dan negarawan dengan perannya yang mengedepankan nilai-nilai pluralisme dan toleransi. Sementara itu, BJ Habibie, selain Presiden, dikenal sebagai intelektual jenius dan negarawan yang mengantarkan Indonesia memasuki gerbang demokrasi di era kepemimpinannya yang singkat.
Tidak politik praktis
Jajak pendapat juga menangkap selain kata kunci terkait konsepsi soal guru bangsa, publik juga memberi sinyal seorang guru bangsa tak ikut berpolitik praktis, independen, dan mengayomi anak bangsa. Sebanyak 80,8 persen responden menyatakan hal itu. Sosok guru bangsa juga diyakini bisa berasal dari golongan/kelompok mana pun, tanpa memandang suku, agama, ras, dan golongan tertentu.
Terkait harapan tak berpolitik praktis, ketika dikaitkan dengan kontestasi pemilu, responden cenderung terbelah dalam menilai apakah guru bangsa perlu menjadi calon presiden di pemilu. Sikap yang terbelah ini bisa jadi merupakan potret bagaimana terjadi dilema. Di satu sisi seorang guru bangsa menjadi presiden diharapkan mampu membawa bangsa ini lebih baik, tetapi di sisi yang lain masih keruhnya dunia politik praktis, dikhawatirkan malah membuat sang tokoh larut dan hanyut.
Sejarah politik di negeri ini membuktikan sosok-sosok yang dikenal integritasnya cenderung ”kalah” oleh dinamika politik. Pengalaman cendekiawan Muslim Nurcholish Madjid saat berniat mengikuti konvensi calon presiden Partai Golkar menjelang Pemilu 2004 bisa jadi contoh. Cak Nur mengundurkan diri dari konvensi karena merasakan adanya kesenjangan nilai yang mencolok, khususnya terkait ”gizi politik” atau kebutuhan akan politik uang untuk mendapat dukungan bagi pencalonan Cak Nur.
Apa yang dialami Cak Nur masih menjadi pemandangan politik sampai hari ini. Tak heran jika konsepsi tidak terlibat politik praktis menjadi satu sinyal publik bahwa sosok guru bangsa sebaiknya menjauhi hiruk pikuk politik praktis.
Hal ini diperkuat dengan keyakinan responden dalam jajak pendapat yang melihat sosok guru bangsa lebih banyak diharapkan lahir dari kalangan non-partai politik meskipun tokoh parpol juga diyakini memiliki sosok-sosok yang berintegritas dan mendekati konsepsi ideal publik tentang guru bangsa tersebut.
Kini, kerinduan publik akan hadirnya sosok guru bangsa semestinya juga menjadi kerinduan parpol. Menjelang Pemilu 2024, parpol perlu menyiapkan sosok-sosok berintegritas untuk dicalonkan, baik dalam kontestasi pemilihan presiden maupun pemilihan kepala daerah dan legislatif. Bagaimanapun, sebagai institusi demokrasi, parpol mempunyai tugas moral menyuguhkan regenerasi politik yang ideal dan terbaik bagi negeri ini.