Teknologi untuk memproses biomas tanaman menjadi pupuk organik bermutu tinggi sudah dihasilkan oleh banyak periset kita. Karena iitu, tidak perlu panik jika pupuk kimia langka.
Oleh
DIDIEK HADJAR GOENADI
·5 menit baca
Hampir tiap tahun petani, besar maupun kecil, di negara ini selalu dihebohkan oleh situasi langkanya dan/atau mahalnya harga pupuk kimia, khususnya urea (N) dan NPK. Bagi petani kecil, tersedia subsidi untuk meringankan bebannya, sedangkan petani besar mulai melirik regulasi agar bisa impor sendiri. Entah mengapa, pihak-pihak yang bertanggung jawab untuk mengatasi hal ini tidak kunjung menemukan solusi yang efektif.
Jawabannya bisa panjang karena kemungkinan penyebabnya bisa bermacam-macam, apalagi makin mendekati agenda nasional tahun 2024. Di sisi lain, para periset telah lama memikirkan dan menghasilkan pilihan teknologi yang mampu mengatasi masalah ini.
Sering masih dipertanyakan mengapa tanaman begitu tergantung kepada input produksi berupa pupuk yang kecenderungannya semakin lama dosis yang dibutuhkan semakin meningkat. Pangkal muasalnya tentu tidak lepas dari kondisi kesuburan tanah-tanah pertanian kita, khususnya yang di dataran rendah, yang sudah tergolong tua renta atau tanah-tanah bermasalah (problem soils) seperti gambut dan pasang surut sehingga kesuburannya rendah.
Di pihak lain, invensi di bidang pemuliaan tanaman di masa lalu umumnya berorientasi pada produktivitas yang tinggi di mana kebutuhan nutrisinya juga otomatis tinggi. Pupuk menjadi solusi praktis untuk menutup gapantara kebutuhan nutrisi yang dibutuhkan tanaman agar mampu berproduksi secara maksimal dan kemampuan tanah dalam memenuhi kebutuhan nutrisi tersebut.
Dengan kata lain, pupuk sangat vital agar produktivitas tanaman dapat dicapai secara maksimal. Tentu saja jumlah dan/atau jenis pupuknya sangat bergantung pada beberapa faktor, seperti jenis tanah dan jenis dan umur tanaman. Rata-rata perbedaan produktivitas tanaman di berbagai jenis tanah dan jenis tanaman antara yang dipupuk (kimia) dan tidak dipupuk di kisaran 10-40 persen.
Faktor-faktor penentu efisiensi pupuk
Untuk mencapai tingkat efisiensi pemupukan yang maksimal sudah lama dikenal yang namanya empat tepat, yaitu tepat jenis, jumlah, cara aplikasi, dan waktu. Faktanya di lapangan masih dominan tidak menerapkan secara konsisten pedoman tersebut karena berbagai alasan.
Untuk petani kecil, masalah harga dan akses ketersediaannya menjadi penyebab utama, selain masalah pengetahuan mereka terhadap teknologi pemupukan yang terbatas. Untuk petani besar, masalah efisiensi biaya menjadi pertimbangan utama untuk bisa menawar pedoman tersebut, dengan alasan terbatasnya tenaga kerja dan/atau hambatan logistik serta harga komoditasnya.
Dari jumlah pupuk yang diberikan, hanya sekitar 12 persen nutrisi asal pupuk yang tersedia bagi tanaman. Betapa besarnya pemborosan yang terjadi tanpa disadari.
Penulis sejak tahun 1997 menyuarakan agar pemupukan tidak dianggap remeh dan mudah ditawar-tawar karena akibatnya akan sangat fatal terhadap tujuan usaha pertanian yang menguntungkan. Faktor-faktor efisiensi pupuk, antara lain, adalah hilangnya pupuk akibat aliran permukaan (21 persen) dan volatilisasi (19 persen-N) akibat aplikasi tidak dibenam, diikat oleh partikel halus tanah (30 persen-P), dimanfaatkan oleh mikroorganisme tanah (5 persen), dan pencucian oleh air hujan (13 persen). Alhasil, dari jumlah pupuk yang diberikan, hanya sekitar 12 persen nutrisi asal pupuk yang tersedia bagi tanaman. Betapa besarnya pemborosan yang terjadi tanpa disadari.
Bahan organik sebagai nyawa tanah
Fakta lain adalah bahwa banyaknya kehilangan nutrisi pupuk diakibatkan oleh rendah mutu atau kesehatan tanah. Kemampuan tanah dalam memberikan produktivitas yang optimal, baik secara alami maupun yang dengan pemupukan, sangat erat kaitannya dengan kandungan bahan organik tanah. Bahan ini sangat krusial, utamanya mampu meningkatkan kemampuan tanah menahan air, nutrisi, dan sumber energi bagi mikroorganisme yang ada di tanah.
Masalahnya, di wilayah tropika basah seperti Indonesia, proses oksidasi menguras kadar bahan organik tanah sehingga semakin lama kandungannya semakin rendah dan justru dalam prosesnya menjadi sumber emisi CO2 ke atmosfer. Terlebih lagi dalam praktik budidayanya tidak mengembalikan bahan organik sisa panen kembali ke tanah.
Bahan organik tanah juga berfungsi memperkuat struktur dan agregasi tanah sehingga lebih tahan terhadap daya rusak erosi oleh air hujan. Rendahnya bahan organik mengakibatkan tanah menjadi mampat sehingga sulit ditembus oleh perakaran tanaman serta sulit menyerap air dalam waktu relatif lama. Fungsi bahan organik yang terkait dengan unsur kehidupan, yaitu air, nutrisi, dan energi itulah yang dapat menggolongkannya seperti nyawa bagi tanah. Jika bahan organik tanah semakin rendah (kurang dari 1 persen), sudah dapat dipastikan tingkat efisiensi pemupukan akan rendah, yang artinya pemborosan biaya makin besar.
Solusi dari kekuatan sendiri
Banyak yang belum menyadari tentang besarnya nilai ekonomi dari bahan organik bagi tanah. Pemahaman masa lalu yang memandang bahan organik sebagai limbah yang menyulitkan dan memerlukan biaya untuk penanganannya perlu diubah total, khususnya dalam mengatasi kesulitan mendapatkan pupuk kimia seperti saat terakhir ini. Dan solusi yang tersedia ini ada di dalam kendali para pelaku budidaya pertanian itu sendiri.
Sebagai contoh, sebuah kebun kelapa sawit dengan pabrik berkapasitas 60 ton per jam mampu menghasilkan bahan organik, salah satunya berupa tandan kosong kelapa sawit (TKKS) sebanyak 90.000 ton setahun. Bahan ini dapat diolah dengan teknologi fermentasi cepat untuk menghasilkan pupuk organik sebanyak 54.000 ton dengan menggunakan pelapuk hayati (biodecomposer). Berdasarkan kesetaraan nilai ekonomi kandungan nutrisinya terhadap pupuk kimia total nilainya mencapai Rp 84 miliar per tahun. Hasil pengujian di lapang menunjukkan bahwa aplikasi pupuk ini mampu menghemat 50 persen pupuk kimia buatan.
Langkah ini secara jelas juga menunjukkan dukungan kuat terhadap sistem pembangunan berkelanjutan, paling tidak dari sisi ekonomi dan lingkungan. Skenario ini sebenarnya sudah diterapkan oleh beberapa perkebunan besar, dan secara konsep dapat diterapkan pula secara luas di petani kecil. Prinsipnya adalah kembalikan semua bahan organik bukan komponen panen yang dihasilkan oleh sebidang tanah ke tanah yang bersangkutan.
Teknologi untuk memproses biomas tanaman menjadi pupuk organik bermutu tinggi sudah dihasilkan oleh banyak periset kita. Dengan demikian, kita akan terbebas dari praktik menzalimi tanah karena kita berikan kehidupan kembali kepada tanah yang telah berjasa menghasilkan keuntungan. Dan yang jelas, tidak perlu terlalu panik ketika pupuk kimia tidak banyak lagi yang bisa diperoleh.
Didiek Hadjar Goenadi,Periset Profesional Puslit Bioteknologi dan Bioindustri Indonesia; Ketua Umum Asosiasi Inventor Indonesia (AII)