Bermain adalah cara kita menjumpai dunia. Melalui medium permainan, kita berkhayal tentang langit, juga mempelajari serbaneka lingkungan sekitar beserta orang-orang di dalamnya.
Oleh
Saras Dewi
·5 menit baca
Penyair masyhur, Rabindranath Tagore, melalui puisi-puisinya berbicara tentang makna permainan dalam kehidupan manusia. Gagasan tentang permainan dapat saja kandas terlupakan di hadapan kepelikan menjalani hidup. Orang-orang terjungkal dari ketentraman dan kenyamanan pada masa pandemi ini, segala tenaga dan pikiran tercurahkan untuk tetap hidup.
Tebersit dalam pikiran saya puisi-puisi Tagore, betapa lirih puisi itu bercerita tentang percintaan dengan kekasih yang menjumpai permainan kematian. Kata permainan sering digunakan oleh Tagore untuk mengekspresikan kelekatannya dengan Tuhan. Dalam puisi yang berjudul, “Kala Permainanku Bersama Engkau” ia mengatakan:
“Kala permainanku bersama engkau, aku tidak pernah mempertanyakan siapakah Engkau. Aku tidak mengenal perasaan malu atau takut, hidupku adalah suka cita.”
Permainan dalam makna puitis ini mengungkapkan kesentosaan seseorang saat terhubung dengan Tuhan. Hubungan ini diumpamakan seperti halnya bermain yang dicirikan rasa riang dan gembira. Keseluruhan tubuh karya dari Gitanjali (1910) karya terbesar Tagore, sarat akan renungan spiritual penyatuan diri dengan Tuhan. Ia sangat terpengaruh oleh substansi filosofis dalam teks-teks Upanisad.
Pemikiran Tagore bernafaskan salah satu aliran filsafat India yang disebut sebagai Vedanta. Filsuf yang tergolong dalam Advaita Vedanta, seperti Adi Shankara menegaskan, bahwa realitas sesungguhnya adalah tunggal, dan segalanya diliputi oleh Tuhan.
Ilustrasi permainan amat mendasar dalam memahami kosmologi menurut Vedanta. Alam semesta ini diyakini sebagai kehendak (samkalpa) dari Tuhan. Kehendak itu digambarkan terwujud sebagai Lila, suatu kata dalam bahasa sanskerta yang dapat diterjemahkan sebagai permainan atau pertunjukan ilahiah (divine play).
Meski demikian pemaknaan Lila, tidak sesederhana ibarat permainan yang semaunya tanpa mengindahkan kebaikan maupun keburukan. Lebih mendalam daripada distingsi etis, pengertian Lila diartikan juga sebagai daya kreatif Tuhan, atau disebut juga sebagai energi kreatif Isvara.
Terbentuknya kosmos melalui energi kreatif ilahiah ini puncaknya terletak pada munculnya keadilan (dharma). Brhadaranyaka Upanisad I. 4. 14 mengatakan, ”Lebih lanjut Ia menciptakan bentuk yang amat mengagumkan, yaitu keadilan… karena tidak ada yang lebih tinggi dari keadilan.” Angan tentang keadilan, kebenaran juga keindahan, tidak lepas dari imaji permainan ilahiah itu.
Menurut saya, ide tentang Lila menjadi sangat penting sebab menggambarkan keunikan dunia kultural penghayatnya yang sarat dengan lapisan-lapisan, penuh paradoks yang terkadang melampaui komprehensi. Dengan mengandaikan sebagai permainan, manusia dapat secara lentur memasuki ruang yang sakral ataupun profan, tanpa terkurung pada kategorisasi itu secara kaku. Itulah yang ditampilkan oleh Tagore dalam syairnya, bermain bersama Tuhan adalah luapan kedambaan kepada Tuhan.
Bermain adalah cara kita menjumpai dunia. Melalui medium permainan, kita berkhayal tentang langit, juga mempelajari serbaneka lingkungan sekitar beserta orang-orang di dalamnya. Bermain pula adalah bagian dari aktivitas budaya, berpartisipasi dalam permainan sebenarnya adalah cara mengomunikasikan nilai-nilai yang dianggap penting dalam suatu masyarakat. Beragam permainan yang selintas tampak sebagai kegiatan waktu senggang semata memiliki fungsi sosial yang penting.
Bermain adalah cara-cara untuk mengeratkan interaksi sosial begitu juga menggugah kepekaan emosional. Permainan tradisonal seperti ”ular naga panjangnya” mengajarkan anak-anak tentang kebersamaan, kerja sama, dan ketangkasan. Saya membayangkan gelak tawa anak-anak seraya bernyanyi, ”Ular naga panjangnya bukan kepalang, menjalar-jalar selalu kian kemari, umpan yang lezat itulah yang dicari, ini dianya yang terbelakang!”
Dalam risetnya, Peter Gray, seorang peneliti bidang psikologi, mengatakan bahwa permainan sedemikian fundamental bagi kesehatan mental anak-anak. Lebih lanjut lagi, ia mengatakan bahwa secara seleksi alamiah, anak-anak memang terbentuk untuk bermain. Ia membedakan permainan bebas (free play), yakni saat anak-anak bertualang menjelajahi ruang hidupnya bersama teman-temannya, ia bandingkan dengan permainan kompetitif (game) yang memiliki orientasi kemenangan.
Permainan bebas mendorong rasa ingin tahu, kelincahan, dan ketanggapan untuk beradaptasi. Permainan bebas teramat krusial bagi pertumbuhan seseorang, ia menggarisbawahi adanya korelasi berkurangnya waktu permainan bebas semasa kanak-kanak yang dapat menyebabkan psikopatologi, seperti kecemasan hingga depresi, saat mendewasa dalam menghadapi tantangan-tantangan di lingkungan sosialnya.
Sejauh ini saya telah mengulas bagaimana imajinasi dan kecerdasan dalam permainan membantu kita membayangkan penciptaan kreatif dunia kultural. Pertanyaan kritis yang dapat diajukan di era teknologi modern ini adalah, apakah permainan bebas ataupun permainan yang membangkitkan daya kreasi masih dimungkinkan? Kehidupan modern identik dengan yang cepat, instan juga harus efisien.
Hal ini seturut dengan keberadaan teknologi untuk menopang hasrat tersebut. Sementara itu, permainan bebas membutuhkan jeda, waktu luang juga keterhubungan dengan orang lainnya. C Thi Nguyen, seorang filsuf yang mencermati permainan, berposisi optimistis bahwa permainan masa kini dapat memperkuat kesadaran subyek, termasuk dalam permainan video (video games).
Permainan video menurut Nguyen, selain menghadirkan kesenangan visual, membuat pengalaman estetis yang kaya akan aspek fiksional, naratif, dan sinema yang interaktif. Saya teringat permainan video: Super Mario Brothers dan Ico, karya dua perancang permainan yang saya kagumi yakni; Shigeru Miyamoto dan Fumito Ueda. Mereka mendesain permainan itu agar elegan, menyenangkan, dan memicu empati.
Walau demikian, saya menafsirkan munculnya permainan sandbox seperti Minecraft yang memberikan keleluasaan pemain untuk membangun di ruang metaverse mencerminkan kebutuhan masyarakat untuk menciptakan ruang-ruang kultural baru. Kepenatan, tekanan dan rasa terasing bisa saja membuat orang ingin mengungsi ke dalam metaverse permainan. Permainan dalam hal ini menampilkan ilusi yang meletakkan kontrol di tangan pemain. Ruang permainan ini melipur para pemainnya dari dunia yang tidak terduga dan lepas kendali.
Saras Dewi, Pengajar Filsafat di Universitas Indonesia