Reforma Subsidi Pupuk
Kelangkaan pupuk subsidi masih terjadi, terutama pada musim tanam sampai umur tanaman dua bulan. Pemerintah perlu membentuk Kelompok Kerja Pupuk Bersubsidi di bawah Menko Perekonomian untuk merumuskan reforma kebijakan.
Satu tahun lalu, saat Rapat Kerja Kementerian Pertanian, Presiden Joko Widodo menyampaikan kegeramannya terkait persoalan subsidi pupuk yang tak kunjung selesai.
Presiden mempertanyakan nilai subsidi Rp 30 triliun yang tak banyak menghasilkan return yang signifikan. Apalagi, kasus kelangkaan pupuk subsidi masih sering dijumpai di lapangan. Presiden memerintahkan evaluasi menyeluruh kebijakan subsidi pupuk dan menemukan strategi kebijakan subsidi yang lebih efisien dan tepat sasaran.
Peran pupuk pada peningkatan produksi pertanian telah diketahui secara luas. Indonesia menggunakan strategi subsidi pupuk untuk meningkatkan produksi dan produktivitas pertanian. Subsidi pupuk diberikan kepada industri pupuk, melalui subsidi harga gas, dan lain-lain, karena komponen harga gas cukup besar, terutama dalam produksi urea dan ZA.
Petani menikmati subsidi pupuk itu secara tak langsung, melalui harga beli pupuk lebih murah, dibandingkan harga pasar. Akan tetapi, kelangkaan pupuk masih terjadi di beberapa sentra produksi pangan, termasuk saat musim tanam, ketika petani membutuhkan kepastian pasokan pupuk. Kelangkaan pupuk, ketidakakuratan waktu dan dosis aplikasi pupuk telah menyebabkan penurunan produksi dan produktivitas.
Petani Indonesia telah cukup paham bahwa pupuk dan pemupukan sangat penting bagi keberhasilan peningkatan produktivitas pertanian. Kondisi ini berbeda dengan periode awal Revolusi Hijau era 1980- an, ketika petani perlu diberikan bimbingan dan penyuluhan dalam penggunaan pupuk. Bahkan, petani saat ini cenderung menggunakan pupuk secara berlebih karena harga pupuk subsidi cukup murah.
Artikel ini menganalisis kinerja perjalanan pupuk subsidi beberapa tahun terakhir dan merumuskan strategi perubahan atau reforma subsidi pupuk ke depan.
Kelangkaan pupuk, ketidakakuratan waktu dan dosis aplikasi pupuk telah menyebabkan penurunan produksi dan produktivitas.
Kebutuhan vs ketersediaan
Kelangkaan pupuk subsidi terjadi karena terdapat perbedaan (gap) yang sangat mencolok antara kebutuhan pupuk petani yang diajukan secara elektronik melalui Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (e-RDKK) dan ketersediaan pupuk bersubsidi sesuai kemampuan APBN. Pada 2021, kebutuhan pupuk subsidi mencapai 24,3 juta ton, sedangkan anggaran subsidi hanya Rp 25,3 triliun, atau hanya cukup untuk pupuk bersubsidi 9 juta ton. Artinya, ada gap 15,3 juta ton.
Pada 2021, alokasi pupuk subsidi 9 juta ton itu diperoleh setelah pemerintah menaikkan harga eceran tertinggi (HET) pupuk subsidi melalui Permentan No 45/2020 tentang Alokasi dan Harga Eceran Tertinggi Pupuk Bersubsidi Sektor Pertanian Tahun Anggaran 2021.
Masyarakat tentu bertanya, mengapa fenomena gap yang berlangsung cukup lama ini dibiarkan berlarut-larut. Gap kebutuhan vs alokasi pupuk subsidi pada 2016 tercatat 12,4 juta ton atau 56,6 persen, dan meningkat terus sampai 17,3 juta ton (66 persen) pada 2020, sebelum turun menjadi 15,3 juta ton (63) persen pada 2021.
Baca juga : Mengurai Kusut Subsidi Pupuk
Akibatnya, kelangkaan pupuk subsidi masih terjadi, terutama pada musim tanam sampai umur tanaman dua bulan. Kelangkaan pupuk secara berulang merupakan refleksi dari perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi kebijakan publik yang tak baik.
Pada 2022, pemerintah tak menaikkan HET dan anggaran subsidi, yaitu tetap Rp 25,3 triliun. Permentan No 41/2021 tentang Penetapan Alokasi dan HET Pupuk Subsidi Sektor Pertanian menjadi pedoman penting bagi pelaksanaan kebijakan subsidi pupuk pada 2022.
Alokasi volume pupuk bersubsidi ditetapkan 9,11 juta ton, terdiri dari urea 4,23 juta ton, NPK 2,47 juta ton, pupuk organik 1,04 juta ton, ZA 0,82 juta ton, SP-36 0,54 juta ton, NPK khusus 0,01 juta ton, plus pupuk organik cair 1,87 juta liter.
Pemerintah membentuk Kelompok Kerja Pupuk Bersubsidi di bawah Menko Perekonomian untuk merumuskan langkah reforma kebijakan pupuk subsidi. Konsep reforma itu terdiri dari, pertama, mengurangi atau realokasi subsidi pupuk untuk program prioritas pembangunan pertanian dan ketahanan pangan lain. Kedua, secara bertahap mengubah format subsidi produksi pupuk, dari subsidi kepada industri pupuk menjadi subsidi langsung ke petani.
Kartu Tani
Reforma subsidi pupuk dilaksanakan melalui sistem Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok secara elektronik (e-RDKK) dan penggunaan Kartu Tani, yang berbasis nomor induk kependudukan (NIK). Petani penerima subsidi pupuk menebus pupuk di kios pengecer pupuk menggunakan Kartu Tani.
Jika ada masalah teknis di lapangan, petani masih bisa menggunakan KTP untuk menebus pupuk secara manual walau makan waktu lebih lama. Sistem e-RDKK telah dikembangkan sejak 2019 dan Kartu Tani dilaksanakan sejak 2020. KPK dan BPK juga merekomendasikan penerapan e-RDKK dan Kartu Tani dalam implementasi pupuk bersubsidi guna meningkatkan efektivitas dan mengurangi penyimpangan.
Namun, tingkat kompleksitas implementasi e-RDKK dan Kartu Tani di lapangan masih cukup tinggi. Misalnya, hanya 17,05 juta petani atau 61,37 persen dari total 27,78 juta rumah tangga usaha pertanian (RTUP) yang terdapat dalam e-RDKK.
Permasalahan di lapangan adalah tak semua petani Indonesia bergabung atau jadi anggota kelompok tani dan/atau gabungan kelompok tani (gapoktan). Verifikasi kebutuhan dan subsidi pupuk oleh setiap individu atau rumah tangga petani amat bergantung pada kepiawaian atau kinerja petugas lapangan, umumnya penyuluh pertanian lapangan (PPL).
Jika jumlah kebutuhan pupuk subsidi dalam e-RDKK ternyata sangat besar, melebihi kemampuan anggaran negara, maka proses verifikasi dan validasi data lapangan tak berjalan mulus. Dinas pertanian di seluruh Indonesia seharusnya jadi salah satu verifikator lapangan sebelum usulan kebutuhan diunggah ke dalam sistem e-RDKK.
Permasalahan di lapangan adalah tak semua petani Indonesia bergabung atau jadi anggota kelompok tani dan/atau gabungan kelompok tani (gapoktan).
Di tingkat normatif, Kementerian Pertanian seharusnya melakukan pembinaan petani, termasuk penyusunan kebutuhan pupuk bersubsidi dalam e-RDKK. Permentan No 67/ 2016 tentang Pembinaan Kelembagaan Tani secara jelas mengatur ini. Secara substansi, setiap kelompok tani harus didaftarkan dalam satuan kerja yang melaksanakan tugas penyuluhan di kecamatan.
Aktivitas itu kemudian dicatatkan dalam Sistem Informasi Manajemen Penyuluhan Pertanian (Simluhtan). Integrasi data atau inter-operabilitas data Sistem e-RDKK dengan Simluhtan seharusnya meningkatkan akurasi penyusunan kebutuhan pupuk subsidi
Kartu Tani adalah kartu yang dikeluarkan perbankan kepada petani untuk digunakan dalam transaksi penebusan pupuk bersubsidi melalui mesin electronic data capture (EDC). Petani menebus pupuk bersubsidi dengan menggesek Kartu Tani di mesin EDC di pengecer pupuk resmi. Tiga bank milik negara yang tergabung dalam Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) terlibat dalam pelaksanaan Kartu Tani, yaitu BRI, Mandiri, dan BNI.
Pada 2021, sosialisasi penggunaan Kartu Tani telah dilakukan di semua provinsi di Jawa dan beberapa di luar Jawa, yaitu NTB (khususnya di Kabupaten Sumbawa Barat), Sulawesi Tengah (Kabupaten Parigi Moutong), Sumatera Utara (Kabupaten Dairi), dan Sulawesi Selatan (Kabupaten Pinrang).
Baca juga : Tak Cuma Tata Kelola, Pupuk Subsidi Butuh Evaluasi Menyeluruh
Lokasi proyek percontohan Kartu Tani 2021 adalah BRI fokus di empat kabupaten (Batang, Berebes, Temanggung, Sumbawa Barat); BNI fokus di lima kabupaten (Batu, Jember, Pasuruan, Probolinggo, Sumenep); dan Mandiri fokus di empat kabupaten (Ciamis, Sumedang, Bogor, Tasikmalaya).
Realisasi penggunaan Kartu Tani cukup rendah, hanya 2,56 juta unit (29 persen) dari 15,5 juta kartu tani yang tercetak atau masih jauh dari target yang dicanangkan. Kecuali BRI yang cukup tinggi, persentase Kartu Tani yang dibagikan oleh sektor perbankan kepada petani hanya 8,98 juta unit (57,9 persen).
Alasan yang mengganggu kinerja Kartu Tani adalah keterbatasan personel tenaga lapangan sektor perbankan, kualitas kerja sama dan komunikasi antara sektor perbankan dan instansi pertanian tingkat kabupaten/kota, dan sebagainya. Kendala teknis dan fisik, seperti EDC rusak atau tidak aktif, gangguan sinyal jaringan, pemahaman operasional EDC oleh kios pupuk, dan implementasi alokasi pupuk subsidi di tingkat lapangan.
Potensi distorsi, inefisiensi, dan moral hazard dari pupuk subsidi masih cukup besar, apalagi ketergantungan petani terhadap harga pupuk murah juga telanjur besar. Menurut hasil survei Panel Data Nasional (Patanas), pada 2010 lebih dari 50 persen sampel petani padi di Indonesia telah menggunakan pupuk kimia secara berlebih.
Potensi distorsi, inefisiensi, dan moral hazard dari pupuk subsidi masih cukup besar, apalagi ketergantungan petani terhadap harga pupuk murah juga telanjur besar.
Tingkat overuse pupuk kimia pada petani padi berkurang menjadi 47,1 persen pada 2016. Konsekuensi logis dari penggunaan pupuk berlebih dalam jangka panjang adalah penurunan bahan organik dalam tanah, yang bermakna berkurangnya kesuburan tanah. Pada musim kemarau, rendahnya bahan organik akan membuat tanah pertanian menjadi kering kerontang dan mudah pecah dan merekah, yang membawa konsekuensi pada menurunnya produktivitas pertanian.
Sebagian petani sebenarnya telah paham bahwa aplikasi pupuk kimia berlebihan akan berdampak buruk bagi tanah, apalagi kandungan bahan organik di dalam tanah semakin menurun. Pendidikan dan penyuluhan ke petani seharusnya mulai berubah, bahwa aplikasi pupuk kimia berlebihan tidak hanya buruk bagi kesehatan tanah, tetapi juga buruk bagi relasi sosial kemasyarakatan. Sebagian petani memperoleh alokasi pupuk subsidi cukup besar, tetapi sebagian lain justru tak memperolehnya karena beberapa faktor di lapangan.
Opsi perubahan kebijakan
Reforma subsidi pupuk dapat dipercepat dengan beberapa opsi kebijakan berikut. Pertama, kejelasan tujuan subsidi pupuk. Perubahan kebijakan amat diperlukan, misalnya tujuan subsidi pupuk secara langsung adalah untuk membantu petani kecil memperoleh akses pupuk dengan harga murah. Subsidi pupuk ke depan tak dapat lagi dinyatakan untuk meningkatkan produktivitas tanaman pangan semata, tetapi untuk subsidi langsung pada petani.
Kedua, ketajaman sasaran petani kecil. Sasaran prioritas utama subsidi pupuk adalah petani kecil, khususnya di subsektor pangan. Selama ini sasaran subsidi adalah petani kecil yang memiliki lahan dua hektar atau kurang sehingga jumlah rumah tangga petani (RTP) yang memperoleh subsidi sangat besar.
Dari total 27,68 juta RTP, sebanyak 24,66 juta RTP menguasai lahan dua hektar atau kurang. Jika ambang batas subsidi diturunkan menjadi satu hektar atau kurang, maka hanya 20,76 juta RTP yang akan disubsidi. Penurunan ini mengurangi jumlah kebutuhan pupuk e-RDKK sampai 3,9 juta ton.
Ketiga, verifikasi data petani pada sistem e-RDKK. Verifikasi dapat dilakukan dengan cara integrasi dengan nomor induk kependudukan (NIK) setiap petani. Pada tingkat lebih lanjut, integrasi ini dapat dilakukan dengan data luas penguasaan lahan pada Simluhtan.
Sebagian petani sebenarnya telah paham bahwa aplikasi pupuk kimia berlebihan akan berdampak buruk bagi tanah, apalagi kandungan bahan organik di dalam tanah semakin menurun.
Keempat, validasi sistem e-RDKK secara otomatis. Filter validasi ini dapat menggunakan status petani (pemilik atau penguasa lahan), bukti kepemilikan atau penguasaan lahan sesuai dengan ketentuan terbaru. Validasi sistem e-RDKK ini dapat dilakukan setiap tahun, sesuai dengan perubahan status dan kepemilikan lahan pada seluruh daerah di Indonesia.
Kelima, alokasi pupuk subsidi per petani di-input ke dalam Kartu Tani. Selama ini data yang di-input ke dalam Kartu Tani adalah data usulan kebutuhan pupuk sesuai informasi pada e-RDKK. Artinya, petani pemegang Kartu Tani tidak memiliki informasi yang benar dan lengkap tentang berapa jumlah alokasi pupuk bersubsidi yang akan diterimanya.
Jika Kartu Tani tak diisi dengan jumlah atau volume subsidi pupuk yang akan diterima petani, potensi permasalahan sosial masih akan terbuka dan dapat menyebabkan kerawanan yang serius.
Bustanul Arifin Guru Besar Universitas Lampung; Ekonom Indef; Ketua Umum Perhepi