Interaksi sains dan politik pada situasi pandemi Covid-19 tak berjalan. Akademisi/ilmuwan di Indonesia berada pada ‘menara gading’ pengetahuan dan kesulitan dalam membumikan bahasa.
Oleh
ARGA PRIBADI IMAWAN
·4 menit baca
Ilustrasi sangat baik tentang ‘kerumitan’ hubungan sains dan politik tercurahkan dalam film Netflix, Don’t Look Up. Alur cerita film ini memperlihatkan tentang penemuan asteroid oleh mahasiswa PhD dan diprediksi jatuh di Bumi dalam waktu kurang lebih enam bulan.
Buruknya, perhitungan sains menunjukkan asteroid yang jatuh berpotensi membumihanguskan Bumi. Rasa takut mulai hadir. Para akademisi/ilmuwan ini mencoba mengkomunikasikan kepada para pemangku kebijakan, termasuk presiden. Sesuai prediksi, presiden dan jajarannya menanggapi dengan skeptis.
Mengetahui bahwa jalur ini tertutup, para akademisi mencoba jalur media massa untuk memperingatkan publik tentang bencana besar ini. Tindakan yang diharapkan dapat berbuah kebaikan justru berbalik kepada rasa putus asa.
Publik tak mempercayai temuan para akademisi. Hal ini tak terlepas dari penggunaan bahasa ‘langit’ yang diungkapkan pada saat tampil di hadapan media massa. Publik menganggap sebagai lelucon karena istilah-istilah asing yang disampaikan oleh akademisi tak dipahami publik. Penghinaan dari publik pun muncul setelah kejadian itu.
Mengapa interaksi sains dan politik menemui kegagalan?
Situasi mulai berbanding terbalik ketika asteroid mulai mendekat ke Bumi dan seluruh orang dapat melihatnya dengan mata telanjang. Kontroversi hadir di sini tatkala sebagian orang mulai memihak ke kalangan akademisi/ilmuwan yang diolok-olok sebelumnya oleh publik. Para akademisi/ilmuwan ini mendorong untuk menghadirkan proyek penghancuran asteroid yang mendekat ke Bumi.
Di sisi lain, sebagian orang memihak ke kalangan politisi, termasuk presiden. Mereka percaya politisi memiliki rencana yang 100 persen berhasil. Kenyataannya, rencana dari kalangan politisi gagal total. Rencana dari kalangan akademisi pun dihancurkan oleh kubu politisi sehingga tak ada rencana cadangan. Pada akhirnya, bencana besar tidak terelakkan dan berujung kepada kehancuran Bumi.
Review atas film ini bermunculan dengan menekankan pada kegagalan sains dalam membangun interaksi dengan politik. Namun, kegagalan interaksi sains dan politik belum terjelaskan pada review film. Mengapa interaksi sains dan politik menemui kegagalan?
Batas sains dan politik
Batasan antara sains dan politik coba dipahami oleh Thomas F Gieryn pada 1983. Ia mencoba menjelaskan latar belakang mengapa akademisi/ilmuwan sering kali tak mendapat kepercayaan sehingga berujung pada terbentuknya batasan antara sains dan politik. Hasilnya menunjukkan bahwa ideologi adalah faktor utama yang melahirkan batas bagi akademisi/ilmuwan untuk berinteraksi dengan pemangku kebijakan. Ia memberikan istilah ini sebagai batas kerja (boundary work).
Selama beberapa dekade, kepercayaan adanya batas antara sains dan politik ini menjadi sesuatu hal yang diterima begitu saja. Halffman (2003) mencoba meruntuhkan itu dengan menegaskan bahwa sains dan politik tak sepenuhnya terpisah. Mereka bisa berinteraksi melalui tiga medium yaitu teks, obyek dan orang. Gagasan ini dikenal sebagai TOP Model.
Halffman (2003) menjelaskan, teks adalah medium berupa bahasa, retorik yang digunakan untuk membangun interaksi sains dan politik. Membumikan bahasa untuk jadi mudah dipahami menjadi poin penting untuk mengkomunikasikan sains. Pada film Don’t Look Up, kita mendapatkan refleksi penting tentang penggunaan bahasa ‘langit’ oleh akademisi justru berujung pada ketidakpercayaan publik serta pemangku kebijakan.
Medium selanjutnya adalah obyek. Obyek dijelaskan sebagai komponen yang dipahami berbeda oleh kelompok sosial, namun mereka masih mengacu pada obyek itu sebagai interaksi di antara keduanya.
Potret pemahaman tentang ‘obyek’ dapat kita lihat pada film, ketika akademisi berusaha memperingatkan publik dan pemangku kebijakan melalui tangkapan foto teleskop yang didapatnya. Foto tersebut menunjukkan asteroid mulai mendekat. Dalam film, upaya ini gagal tatkala obyek ini dipandang skeptis oleh publik dan pemangku kebijakan.
Medium terakhir yaitu orang. Halffman (2003) menjelaskan, sosok ‘orang’ yang bekerja dalam dua dunia antara sains dan politik bisa berkontribusi dalam penghilangan batas antara keduanya. Medium ‘orang’ yang bekerja dalam batas ini yang tak ada di film. Alhasil, bencana besar tak terhindarkan. Kita bisa melihat ketiga medium itu tak berjalan. Interaksi antara sains dan politik tak terjalin.
Sama halnya dengan kondisi nyata saat ini, kita bisa melihat interaksi sains dan politik pada situasi pandemi Covid-19 tak berjalan.
Covid-19
Sama halnya dengan kondisi nyata saat ini, kita bisa melihat interaksi sains dan politik pada situasi pandemi Covid-19 tak berjalan. Situasinya sama dengan yang terjadi di film Don’t Look Up. Akademisi/ilmuwan di Indonesia berada pada ‘menara gading’ pengetahuan dan kesulitan dalam membumikan bahasa.
Semisal, kita melihat istilah-istilah varian Covid-19 baru seperti Omicron, yang tak dapat terkomunikasikan dengan baik ke publik dan pemangku kebijakan tentang langkah antisipasi yang tepat.
Begitupun dengan absennya kehadiran medium obyek sebagai komunikasi sains. Kita perlu menyadari bahwa publik tak pernah mendapatkan pengetahuan yang mendetail berupa laporan hasil penelitian (tentunya dengan bahasa membumi) dari ilmuwan Indonesia tentang kajian Covid-19 di Indonesia.
Kita juga melihat absennya kehadiran sosok yang kredibilitasnya tak diragukan dalam pengetahuan tentang Covid-19. Selama ini pemerintah memberikan amanah kepada sosok orang yang bisa dikatakan tak ahli di bidangnya untuk menyelesaikan pandemi di Indonesia. Inkonsistensi kebijakan yang terjadi saat ini buah dari tak terjalinnya interaksi sains dan politik.
Arga Pribadi ImawanDosen Departemen Politik dan Pemerintahan, Fisipol UGM.