Strategi Literasi Pascapandemi
Terdapat tiga strategi untuk memperkuat literasi pascapandemi. Pertama, memperkuat pemahaman masyarakat mengenai sains. Kedua, mendorong kemampuan literasi digital. Ketiga, meningkatkan fasilitas literasi untuk publik.

Serangan pandemi Covid-19 telah menyadarkan kita bahwa pekerjaan-pekerjaan yang berkaitan dengan literasi harus mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman. Pascapandemi, para pegiat literasi pun harus bersiap untuk menghadapi dunia yang telah berubah. Perpustakaan, pustakawan, serta seluruh masyarakat yang membutuhkan informasi dan pengetahuan harus beradaptasi dengan situasi normal baru.
Saya berpendapat setidaknya terdapat tiga strategi untuk memperkuat literasi pascapandemi. Pertama, memperkuat pemahaman masyarakat mengenai sains. Kedua, mendorong kemampuan literasi digital. Ketiga, meningkatkan fasilitas literasi untuk publik.
Baca juga: Mengawal Literasi Digital Nasional
Memahami sains
Strategi yang pertama adalah memperkuat literasi sains. Pandemi merupakan tes yang sesungguhnya mengenai pelajaran sains. Selama ini kita hanya belajar sains di bangku sekolah dan kuliah, tetapi ketika pandemi melanda, kegugupan dan kebingungan masih terlihat di kalangan masyarakat. Ketika Pemerintah Indonesia mengumumkan kebijakan jaga jarak dan pakai masker, banyak yang tidak memahami mengapa harus melakukan hal demikian.
Pada dasarnya sains bukanlah kebenaran abadi. Selama ini masyarakat awam memahami bahwa sains adalah benar dan benar adalah sains. Mereka tidak membuka ruang untuk sebuah kesalahan. Bahkan, di sekolah kita sering menyebutnya dengan ”ilmu eksak”, yang mana ”eksak” diambil dari bahasa Inggris, exact, yang kurang lebih berarti ’tepat’ atau ’benar’.

Tingkat kepercayaan publik di berbagai wilayah terhadap sains. Sumber: https://wellcome.org/reports/wellcome-global-monitor-COVID-19/2020
Padahal, sesungguhnya, inti dari sains adalah eksperimen dan tes tanpa henti untuk membuktikan kebenaran suatu teori atau bahkan membantahnya. Dalam bukunya yang berjudul The Logic of Scientific Discovery, filsuf Karl Popper menyatakan bahwa apa yang disebut sains harus berisi hipotesis yang dapat dipersalahkan (falsification). Untuk itu, sains adalah proses pengumpulan data, verifikasi—termasuk di dalamnya salah dan eror—serta adu gagasan, konsep, dan teori tanpa henti.
Kenyataannya, di kalangan masyarakat awam, ketika seseorang yang beratribut sebagai peneliti atau saintis melakukan kesalahan dalam berpendapat, maka mereka langsung tidak dipercaya lagi. Padahal, kesalahan adalah hal yang normal dalam sains dan di antara saintis, apalagi menyangkut pandemi Covid-19 yang benar-benar baru terjadi, para saintis pun masih meraba-raba bagaimana memecahkan masalah ini. Maka dari itu, selama masa pandemi kita melihat fenomena banyaknya masyarakat awam yang lebih percaya pada informasi-informasi hoaks ketimbang pendapat para saintis. Hal ini tentu harus menjadi perhatian bersama.
Selama masa pandemi kita melihat fenomena banyaknya masyarakat awam yang lebih percaya pada informasi-informasi hoaks ketimbang pendapat para saintis.
Pascapandemi, para saintis, pemerintah, dan masyarakat harus bersama-sama memperkuat pengetahuan sains. Pada 2022, Perpustakaan Nasional RI juga mendorong para pustakawan Indonesia untuk menjadi penulis dan pencipta konten. Diharapkan, tulisan dan konten-konten tersebut setidaknya berisi mengenai pendidikan sains dasar agar dapat dipahami dengan baik oleh masyarakat.
Di luar negeri, popularisasi sains dalam kehidupan masyarakat sudah lama dilakukan. Sebelum terjadi ledakan digital, sains sudah masuk di beberapa acara televisi. Para saintis ternama, seperti Carl Sagan, Stephen Hawking, hingga Michio Kaku, memiliki peran besar dalam mengajarkan sains kepada masyarakat umum. Bahkan, buku A Brief History of Time karya Stephen Hawking dan Cosmos karya Carl Sagan merupakan karya-karya sains yang dapat dipopulerkan dan dibaca oleh masyarakat luas. Hari ini usaha untuk mendorong literasi sains seharusnya dapat lebih mudah dengan adanya fasilitas teknologi, seperti Youtube, Instagram, dan Tiktok.

Ekspo Sains IndonesiaSiswa sekolah menyimak presentasi mengenai kinerja robot hidrolis dalam Indonesia Science Expo 2018 di Indonesia Convention Exhibition (ICE) BSD, Tangerang, Banten, Sabtu (3/11/2018).
Kehidupan digital
Strategi yang kedua adalah memperkuat literasi digital. Dalam buku terbarunya yang berjudul Ten Lessons for a Post-Pandemic World, jurnalis Fareed Zakaria menjelaskan bahwa setelah pandemi flu Spanyol 1918-1919 mereda, banyak masyarakat ”kembali ke normal” dengan bekerja seperti biasa. Hal itu terjadi karena saat itu masyarakat tidak memiliki pilihan lain.
Saat itu tidak ada teknologi seperti Zoom atau Google Meeting. Mahasiswa di Harvard, Princeton, dan Yale ketika itu tetap harus kembali hadir di kelas secara fisik untuk belajar. Mereka tidak memiliki pilihan lain selain kembali ke kehidupan semula seperti sebelum pandemi. Namun, hari ini berbeda dengan masa lalu.
Sekarang kita menyaksikan teknologi yang memungkinkan kehidupan berlanjut di ranah virtual. ”Hari ini, kehidupan dapat dihidupkan secara digital,” tulis Fareed Zakaria dalam bukunya.
Pendapat Fareed Zakaria tidak salah. Sebelum pandemi, masyarakat sudah hidup berdampingan dengan teknologi digital. Kita melihat bagaimana kehidupan manusia terus beradaptasi dengan teknologi digital. Dengan masifnya digitalisasi, misalnya, banyak surat kabar yang mengakhiri edisi cetaknya dan beralih ke digital. Kemudian, menjamurnya e-commmerce mendorong masyarakat untuk menutup kiosnya dan membuka toko secara virtual.
Baca juga: Teknologi Digital dan Ekosistem Inovasi
Perpustakaan Nasional RI juga sudah membuat aplikasi I-Pusnas agar masyarakat dapat mengakses buku digital secara resmi tanpa harus datang ke perpustakaan. Ketika pandemi melanda, aplikasi ini sudah dapat digunakan. Dengan demikian, setelah pandemi, keterikatan kehidupan nyata dengan kehidupan virtual akan semakin dekat dan tidak dapat dihindarkan. Pada 2022, Perpustakaan RI juga memiliki komitmen kuat untuk mendukung terciptanya Ekosistem Digital Nasional sehingga perpustakaan dapat memberikan manfaat yang lebih besar lagi dalam meningkatkan literasi digital masyarakat.
Kita membayangkan begitu cepatnya digitalisasi dalam kehidupan manusia. Kesalahan dalam memahami teknologi digital dapat mengakibatkan kerugian untuk masyarakat. Untuk itu, kemampuan memahami—bukan hanya menggunakan—teknologi digital merupakan hal yang tidak dapat dihindarkan. Pendidikan literasi mengenai teknologi digital pun harus terus ditingkatkan. Kerja sama antara pemerintah, swasta, dan masyarakat diperlukan untuk memberikan pemahaman mengenai perkembangan teknologi.

Penguasaan teknologi digital jadi kebutuhan di era revolusi ke-4. Yayasan Cinta Anak Bangsa memberikan program digital skills bagi siswa di berbagai daerah, termasuk di Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Fasilitas publik untuk literasi
Strategi ketiga adalah memperkuat fasilitas publik untuk literasi. Pandemi telah memberikan pelajaran bahwa masyarakat tidak dapat hidup sendiri. Peran negara begitu besar ketika pandemi melanda dan mengancam lapangan pekerjaan masyarakat. Pemerintah Indonesia pun telah meluncurkan berbagai bentuk bantuan kepada masyarakat, baik itu bantuan berupa uang tunai maupun bantuan lainnya. Untuk itu kita memahami bahwa peran negara sangat penting bagi masyarakat.
Pada masa pandemi kita menyaksikan banyak orang yang tidak dapat mengakses pengetahuan. Bagi masyarakat kelas menengah atas dan berpendidikan tinggi mungkin tidak banyak menjadi permasalahan. Mereka dapat mengakses pengetahuan dengan berselancar di dunia maya. Mereka dapat membaca koran Financial Times atau Kompas dengan berlangganan versi digital dan e-paper. Atau mereka juga dapat membeli buku dari situs-situs e-commerce tanpa harus pergi keluar rumah. Namun, bagaimana dengan masyarakat lain yang tidak memiliki fasilitas dan kemewahan tersebut?
Perpustakaan-perpustakaan di daerah dapat membantu masyarakat untuk mendapatkan fasilitas internet untuk belajar. Sementara itu, digitalisasi perpustakaan pun harus terus diusahakan.
Solusinya tentu saja adalah menghadirkan fasilitas literasi publik secara gratis yang dapat diakses oleh semua masyarakat. Tentu saja ini tidak mudah untuk Indonesia yang merupakan negara kepulauan. Untuk itu, kehadiran perpustakaan sangat penting. Perpustakaan-perpustakaan di daerah dapat membantu masyarakat untuk mendapatkan fasilitas internet untuk belajar. Sementara itu, digitalisasi perpustakaan pun harus terus diusahakan.
Perpustakaan digital merupakan salah satu fasilitas publik yang dapat dinikmati seluruh kalangan. Perpustakaan Nasional RI sudah melangkah untuk mendorong digitalisasi perpustakaan dengan menghadirkan koleksi-koleksi digital. Layanan E-Resources Perpustakaan RI, misalnya, dapat dimanfaatkan oleh masyarakat yang ingin mengakses jurnal ilmiah secara gratis. Selain itu, tentu saja I-Pusnas telah menjadi andalan untuk dapat membaca buku gratis secara online. Khastara (Khazanah Nusantara) juga merupakan laman perpustakaan digital yang berisi koleksi-koleksi langka sehingga memudahkan para peneliti ilmu-ilmu sosial humaniora yang ingin membaca koleksi langka tanpa harus datang ke Jakarta. Tentu saja hal tersebut masih terus memerlukan penyempurnaan.
Baca juga: Pustakawan dan Tantangan di Era Antroposen
Di beberapa negara lain, perpustakaan digital sudah memberikan manfaat yang besar. Sebagai contoh, saya sering mendapatkan manfaat dari beberapa perpustakaan digital di luar negeri. Salah satunya adalah memanfaatkan Ensiklopedia Islam online yang diterbitkan oleh Kementerian Agama Turki. Ensikpoledia Islam (Diyanet Islam Ansiklopedisi) dari Kemenag Turki tersebut dapat diakses secara gratis melalui laman islamansiklopedisi.org.tr. Di sana kita dapat menemukan berbagai informasi mengenai apa pun yang berkaitan dengan tema-tema keislaman.
Prediksi mengenai kehidupan manusia pascapandemi bisa bermacam-macam. Namun, apa pun gelombang perubahan yang akan datang, manusia harus siap menghadapinya. Gelombang perubahan dalam bidang literasi sudah ada di depan mata kita. Kesiapan strategi untuk menghadapinya harus direncanakan dengan baik sejak hari ini. Salam literasi.

Frial Ramadhan Supratman, Pustakawan Perpustakaan Nasional RI