Teknologi Digital dan Ekosistem Inovasi
Indonesia berada dalam situasi yang sama sekali berbeda dengan China, India, dan Amerika Serikat. Dengan begitu, yang paling mungkin dapat diupayakan adalah merancang ekosistem inovasi sendiri.
Mountain View, California 1956. Fisikawan William Shockley (1910-1989) mendirikan laboratorium semikonduktor. Fasilitasnya jauh dari memadai, hanya gudang kecil yang tak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan fasilitas di Bell Labs, New Jersey, AS, lembaga riset yang telah ia tinggalkan.
Di akhir 1940-an, Shockley bersama eksperimentalis Walter Brattain (1902-1987) dan ahli teori kuantum John Bardeen (1908-1991) berkontribusi dalam pengembangan teknologi transistor di Bell Labs yang terkenal itu.
Baca juga : Peraih Nobel Fisika dan Langkah Penting Menyingkap Lubang Hitam
Pengembangan itu kemudian mengarah pada transistor yang menjadi blok pembangun (building blocks) untuk perangkat elektronik yang kemudian tersebar dalam sistem elektronik modern.
Di gudang kecil dengan papan nama ”Shockley Semiconductor Laboratory” itu, Shockley merekrut sejumlah insinyur jenius, lalu memulai eksperimen demi eksperimen. Semula tampak berjalan sesuai rencana, bahkan tak lama setelah Shockley Semiconductor Laboratory mulai beroperasi, Shockley dan mantan rekannya di Bell Labs, Walter Brattain dan John Bardeen, menerima pemberitahuan bahwa ketiganya memenangi Nobel fisika.
Setelah perayaan Nobel, segalanya tampak menurun dengan cepat di Shockley Semiconductor Laboratory.
Setelah perayaan Nobel, segalanya tampak menurun dengan cepat di Shockley Semiconductor Laboratory. Shockley yang meraih bachelor of science dari Caltech pada 1932 dan PhD dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) pada 1936 itu tak hanya dikenal sebagai insinyur brilian, tetapi juga manajer yang mengerikan.
Ia merekrut karyawan melalui serangkaian tes psikologis, tes kecerdasan, termasuk penggunaan detektor kebohongan. Shockley juga mengumumkan gaji karyawan secara terbuka dan merekam setiap panggilan telepon. Ia individu paranoid yang memercayai bahwa pekerjanya dapat mencuri rahasia dagang dan menyabot proyek sehingga ia tak akan berbagi temuan dengan orang-orang bayaran.
Baca juga : ”Start Up” Teknologi Tawarkan Solusi untuk Permasalahan Indonesia
Satu tahun sejak Shockley Semiconductor Laboratory berdiri, oleh karena berada di bawah tekanan manajer yang otoriter, delapan insinyur terbaik di laboratorium itu meninggalkan Shockley. Di kemudian hari, sejarah mencatat mereka sebagai ”8 Pengkhianat” (The Traitorous 8) dengan nama-nama sebagai berikut: Julius Blank, Victor Grinich, Jean Hoerni, Eugene Kleiner, Jay Last, Gordon Moore, Robert Noyce, dan Sheldon Roberts.
Para pembelot itu menghubungi seorang lulusan MBA Harvard berusia 30 tahun, Arthur Rock, yang kelak dicatat sebagai pencipta istilah ”modal ventura” (venture capitalist). Rock adalah bankir New York yang bekerja di Hayden Stone & Co. Ia percaya, 8 Pengkhianat (enam di antaranya bergelar PhD) layak mendapat perhatian mengingat pengalaman mereka bekerja dengan peraih Nobel.
Lahirnya Silicon Valley
Semula, The Traitorous 8 hanya ingin mencari majikan yang akan mempekerjakan mereka sebagai tim, tetapi Rock menyarankan, mereka sebaiknya memulai perusahaan sendiri. Setelah menelepon sekitar 40 perusahaan blue chip dari Wall Street Journal guna mendapatkan pendanaan, Rock hampir menyerah, hingga ia menerima petunjuk untuk menghubungi Sherman Fairchild, pengusaha kaya dan playboy yang kerap nongkrong di El Morocco, New York, bersama Howard Hughes.
Rock meyakinkan Fairchild, CEO Fairchild Camera & Instrument itu, untuk menginvestasikan 1,5 juta dollar AS ke dalam perusahaan yang akan dijalankan oleh 8 Pengkhianat dari Shockley Semiconductor Laboratory. Lalu, berdirilah Fairchild Semiconductor (FCS) di Mountain View, sekitar 12 blok dari Shockley Semiconductor Laboratory.
Dua dari delapan pengkhianat itu telah ternobat sebagai tokoh sejarah, yakni Robert Noyce dan Gordon Moore.
Sepuluh tahun berikutnya, Fairchild Semiconductor tumbuh dari 12 karyawan menjadi 12.000 karyawan dan meraup pendapatan tahunan sekitar 130 juta dollar AS. Dua dari delapan pengkhianat itu telah ternobat sebagai tokoh sejarah, yakni Robert Noyce dan Gordon Moore.
Semua hal baik juga berakhir di Fairchild Semiconductor, Noyce dan Moore semakin frustrasi dengan salah urus Fairchild, terutama divisi semikonduktor. Setelah Fairchild melewati Noyce untuk mendapatkan promosi CEO pada 1968, Noyce memberi tahu Moore, ”Saya akan pergi, apakah Anda tertarik?” Moore setuju, ia dan Noyce menghubungi Arthur Rock kembali untuk sekali lagi meminta bantuan.
Baca juga : Semikonduktor di Tengah ”Pertarungan” Antarnegara
Secara cepat Rock membantu mereka mengumpulkan 2,5 juta dollar AS, dan Intel Corporation yang terkenal itu lahir. Tiga tahun kemudian, tepatnya 1971, Intel melakukan penawaran saham perdana (initial public offering/IPO) dengan harga 23,50 dollar AS per saham. Investasi sebesar 10.000 dollar AS di masa itu bernilai sekitar 12 juta dollar AS hari ini.
Robert Noyce dikenal khalayak dunia karena temuan integrated circuit (IC). Selama akhir 1950-an, insinyur lain juga mengerjakan IC, termasuk Jack Kilby di Texas Instruments, tetapi Noyce menerima paten pertama pada 1961. Tak seperti Kilby yang membuat IC dari germanium, Noyce menciptakan IC dari silikon, teknologi semikonduktor yang masih jadi pilihan sampai kini.
Material silikon yang digunakan Noyce inilah yang kemudian dipilih sebagai penamaan bagi Silicon Valley, ibu kota teknologi digital yang telah mengubah jalan hidup umat manusia di seluruh belahan dunia. Itu sebabnya, Noyce, pemegang gelar PhD jebolan MIT itu, dielu-elukan sebagai ”Thomas Edison dari Silicon Valley”.
Demikianlah, revolusi teknologi itu bermula dari perangkat mini seukuran kuku jari. Material itu memiliki beberapa nama berbeda dan bisa saja membingungkan. Nama resminya integrated circuit atau sirkuit terintegrasi, tetapi biasanya disebut juga dengan cip, mikrocip, atau semikonduktor.
Demikianlah, revolusi teknologi itu bermula dari perangkat mini seukuran kuku jari.
Mikrocip semacam sakelar yang seiring waktu telah menyusut menjadi seukuran virus, yang dapat mengalihkan dan memperkuat aliran sinyal elektronik guna membuat bit digital 1 dan 0 yang menginstruksikan aplikasi elektronik. Teknologi ini menggantikan tabung vakum (vacuum tube) di masa sebelumnya karena lebih kecil, lebih efisien, lebih andal, lebih tahan lama, dan lebih murah.
Baca juga : Agar Tak Bergantung kepada AS, China Bangun Industri Semikonduktor
Mikrocip itu kini ada di mana-mana, tersebar tanpa terlihat di sepanjang hidup keseharian kita: komputer, TV, telepon pintar, mobil, dan aneka perkakas elektronik. Rata-rata rumah tangga abad ini adalah rumah bagi sekitar 1.000 semikonduktor yang bekerja dalam mikrocip itu.
Meskipun sebagian besar orang menganggap remeh mikrocip, bagian kecil silikon itu telah menyumbang banyak dalam ledakan penciptaan kekayaan terbesar dalam sejarah manusia. Sementara pencapaian-pencapaian tak terbayangkan dari teknologi komputasi terus berlangsung selepas temuan IC, kolega Noyce (yang sama-sama hengkang dari barisan 8 Pengkhianat), Gordon Moore, muncul dengan kontribusi yang dikenal sebagai Hukum Moore (Moore’s Law).
Dalam artikelnya di majalah Electronics pada 1965, Moore memprediksi, jumlah transistor yang dapat dimasukkan ke dalam mikrocip (sekitar 60 pada saat itu) akan meningkat 1.000 kali lipat menjadi 60.000 transistor pada 1975.
Ekosistem inovasi
Dibutuhkan puluhan tahun agar proyeksi Moore menjadi kenyataan, tetapi ia sangat jitu memprediksi ledakan komputer rumah, telepon seluler (yang disebutnya ”peralatan komunikasi portabel”), jam tangan elektronik, mobil digital, dan perangkat elektronik lain. Setengah abad kemudian, Hukum Moore berlaku dan kita sedang berada di dalamnya.
Bukan saja pelipatgandaan pertumbuhan industri perangkat keras yang mengikuti Hukum Moore, tetapi juga perusahaan-perusahaan rintisan (start up) berbasis teknologi digital. Kita kemudian mengenal AOL (American Online), e-Bay, Amazon, Microsoft, Yahoo, Google, Cisco, Facebook, Youtube, AirBnb, Uber, sampai Baidu dan Alibaba.
Dari situlah lahirnya para inovator dengan nama-nama besar, mulai dari Steve Case, William Gates, Jeff Bozes, Sergei Brin, Brian Chesky, Mark Zuckerberg, Travis Kalanick, hingga Robin Li dan Jack Ma. Jalan panjang yang ditempuh para inventor dan inovator yang bermula dari temuan sirkuit terintegrasi bermaterial silikon dari lembah yang kini dikenal sebagai Silicon Valley itu ditelusuri secara rinci oleh Muhammad Rahmat Yananda dan Ummi Salamah (2020) dalam studi terkininya, ”Ekosistem Inovasi dan Kewirausahaan Rintisan” (2020).
Kedua peneliti memetakan pendorong utama terbentuknya ekosistem inovasi yang pada gilirannya telah mendisrupsi model bisnis di masa sebelumnya.
Kedua peneliti memetakan pendorong utama terbentuknya ekosistem inovasi yang pada gilirannya telah mendisrupsi model bisnis di masa sebelumnya. Peran penting perguruan tinggi, lembaga-lembaga riset, dukungan pemerintah, hingga keterlibatan modal ventura yang membentuk ekosistem inovasi di Silicon Valley, dan pengaruhnya terhadap distrik techno park Zhongguancun (China), Bangalore (India), hingga Indonesia, yang ditandai dengan lahirnya empat perusahaan rintisan berpredikat unicorn dan decacorn, terurai secara sistematis dalam laporan riset pustaka yang tak lama lagi akan dibukukan.
Baca juga : Puputan Pasifik 4.0
Menurut Rahmat dan Ummi, kepeloporan para wirausaha perusahaan rintisan Indonesia yang telah meraih predikat unicorn, bahkan decacorn, dari Ahmad Zaky (Bukalapak), Ferry Unardi (Traveloka), Nadiem Makarim (Gojek), hingga Victor Fungkong (Tokopedia), adalah pencapaian besar, tetapi kecil kemungkinan untuk dapat terulang kembali. Sebab, Indonesia tidak memiliki lintasan ekosistem inovasi yang memadai, baik dari riset perguruan tinggi, lembaga riset publik, maupun industri.
Teknologi digital tak dapat tumbuh jika industri pendahulunya tidak memiliki tapak (milestones) yang kuat. Selain itu, perusahaan rintisan Indonesia masih terkonsentrasi pada sektor e-dagang (e-commerce). Meskipun tekfin tampak tumbuh pesat, bakat-bakat pendukung, seperti pengembang perangkat lunak, masih minim. Oleh karena itu, para inovator membutuhkan suatu bentuk tata kelola untuk mengolaborasikan mereka.
Sepenuhnya meniru ekosistem inovasi Silicon Valley, Zhongguancun, dan Bangalore tentulah tidak mungkin karena Indonesia berada dalam situasi yang sama sekali berbeda. Dengan begitu, yang paling mungkin dapat diupayakan adalah merancang ekosistem inovasi sendiri, sesuai kebutuhan dan kompleksitas permasalahannya, agar para wirausaha muda perusahaan rintisan yang kini sedang berjuang di Tanah Air dapat mengikuti jejak para pendahulunya.
Damhuri Muhammad, Kolumnis; Pengajar Filsafat Fakultas Sastra Universitas Darma Persada, Jakarta