Membangun Elektabilitas dan Preferensi Memilih Figur
Dalam membangun kesan, peran komunikasi politik sangat penting. Pengusung calon atau partai yang akan diikutkan pemilihan bisa membangun citra melalui komunikasi ini.
Oleh
SURYANTO
·5 menit baca
Pemilu 2024 masih 2 tahun lagi. Namun, geliat sejumlah lembaga survei dengan hasil sejumlah nama dan partai politik bermunculan seiring dengan hasil survei yang dilakukan oleh Lembaga-lembaga survei. Kompas.com pada 8/1/2022 memunculkan nama Gibran. Kompas.com pada 10/1/2022 memunculkan nama-nama seperti Prabowo dan Ganjar, Puan dan Airlangga. Sementara itu, Kompas.com pada 11/1/2022 juga memunculkan nama Walikota Salatiga.
Survei tidak hanya menyangkut nama orang yang layak menduduki jabatan presiden, melainkan juga calon kandidat gubernur yang wilayahnya juga akan ada pemilihan gubernur seperti DKI Jakarta dan juga Jawa Tengah. Hampir semua survei membahas elektabilitas kandidat. Topik elektabilitas tentu menjadi topik yang trending untuk ditulis pada kesempatan ini. Selain untuk pembaca, elektabilitas juga dapat digunakan untuk mengukur kekuatan kandidat ataupun partai politik yang mengusungnya.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Elektabilitas yang merupakan kata serapan dari electability, secara singkat dapat dimaknai keterpilihan. Lebih jauh keterpilihan terjadi karena ketertarikan publik dalam memilih sesuatu, baik itu seorang figur, lembaga atau partai, maupun barang dan jasa dimana informasi tersebut didapatkan dari hasil berbagai survei. Terkait dengan maraknya nama di media tersebut, elektabilitas berhubungan dengan peluang keterpilihan figur untuk dipilih apabila mencalonkan menjadi presiden ataupun gubernur.
Ketertarikan mengandung makna adanya evaluasi positif dari responden terhadap figur yang ditampilkan dalam pertanyaan survei. Kandungan psikologis dalam ketertarikan ini sangat kompleks. Dalam elektatibilas terkandung tiga domain penting, yaitu: proses kognisi, tumbuhnya afeksi, dan konasi (perilaku).
Kognisi terbangun dari input informasi yang akan menghasilkan persepsi di kalangan khalayak. Proses evaluasi terhadap informasi yang diproses dalam diri responden akan menghasilan sikap positif atau negatif terhadap figur kandidat. Dari sikap positif atau negatif ini akan melandasi preferensi atau tidak untuk memilih kandidat.
Dalam membentuk elektabilitas, peran informasi ini memagang peran penting. Selain kualitas informasi yang diberikan, kredibilitas sumber informasi juga penting untuk diperhatikan.
Input informasi yang disajikan memegang peran penting dalam proses interpretasi (persepsi) atas informasi yang berupa atribut (sifat) dari figur. Informasi yang positif akan menghasilkan efek positif, sebaliknya informasi negatif akan mengurangi kredibilitas penilaian terhadap figur yang nantinya akan dipilih. Dalam membentuk elektabilitas, peran informasi ini memagang peran penting. Selain kualitas informasi yang diberikan, kredibilitas sumber informasi juga penting untuk diperhatikan. Hal ini akan menyangkut pembentukan sikap dari khalayak yang akan memilih. Oleh karena itu, porses ini lebih dipandang sebagai manajemen kesan (management impression).
Manajemen kesan dapat mengubah elektabilitas ini. Perubahan elektabilitas sangat ditentukan oleh persepsi pemilihnya, dalam hal ini respondennya. Responden yang sangat mengenal figur, lembaga atau barang yang dipilih secara positif akan mendapatkan preferensi yang lebih untuk dipilih. Sebaliknya, apabila informasi tentang figur banyak negatifnya maka preferensi keterpilihannya akan rendah. Hal ini terjadi karena banyak informasi-informasi ini terakumulasi dalam pikiran responden. Hal yang sangat menentukan keterpilihan adalah informasi positif inilah.
Elektabilitas bukan popularitas
Lalu bagaimana dengan popularitas? Antara elektabilitas dan popularitas adalah dua konstruk yang berbeda. Apabila elektabilitas berhubungan tingkat keterpilihan akibat informasi yang positif, maka popularitas mengandung pemahaman bahwa figur yang akan dipilih terkenal atau tidak.
Terkenal tidaknya sesuatu figur, tidak serta merta memberikan dampak pada elektabilitas ini. Hal itu dikarenakan informasi yang dipersepsi responden belum terevaluasi secara selektif, apakah positif atau negatif. Oleh karena itu, sesuatu yang terkenal belum tentu memiliki preferensi untuk dipilih. Satu hal yang menjadi penyebabnya adalah terkenal belum tentu dapat diterima atau acceptable sehingga hal ini menjadikan sikap tidak konsisten dengan perilaku.
Kasus pemilihan Presiden di Amerika Serikat tahun 2016 membuktikan itu. Kala itu Donald Trump termasuk calon yang electable dibandingkan Hilary Clinton. Namun pada saat pemilihan umum, Trump yang memenagi pemilihan Presiden Amerika Serikat. Kemenangan Donald Trump benar-benar mengejutkan Amerika Serikat dan dunia. Pasalnya, dari berbagai survei independen yang dihelat oleh media-media dan badan survei, kemenangan menjadi milik Hillary Clinton. Memang, ada survei yang memenangkan Trump, namun, kemenangan itu tidak banyak. Ada dugaan, bahwa dalam proses survei ini ada error dalam proses sampling-nya.
Komunikasi politik
Dalam membangun kesan, peran komunikasi politik sangat penting. Pengusung calon atau partai yang akan diikutkan pemilihan bisa membangun citra melalui komunikasi ini. Dengan demikian, sangatlah penting bagi pengusung dan pendukung calon untuk membuat pencitraan secara positif agar mendapatkan evaluasi positif terhadap calonnya. Komunikasi politik yang tidak menata pesan komunikasi secara baik malah akan menghancurkan calon yang akan didukung.
Saat ini, media pencitraan sebagai sarana komunikasi sudah sangat luas. Media cetak, televisi, dan yang terakhir media sosial menjadi senjata yang sangat jitu untuk membangun pencitraan ini. Bahkan pemanfaatan buzzer dan influencer menjadi kekuatan baru yang mendongkrak pencitraan ini.
Media cetak, televisi, dan yang terakhir media sosial menjadi senjata yang sangat jitu untuk membangun pencitraan ini.
Buzzer akan menjadi pendengung suara para kandidat dan juga mempertahankan apabila figur mendapatkan serangan dari pihak lain. Buzzer mampu mengamplifikasi isu-isu yang dibangun untuk mempositifkan informasi kepada khalayak. Bahkan peran buzzer ini dalam era digitalisasi menjadi salah satu sarana untuk memenangkan kandidat dan membangun opini publik terkait kandidat yang diusung. Pentingnya buzzer ini, saat ini sangat disadari bagi para calon. Hampir sama juga peran buzzer, pembentukan sikap khalayak juga bisa dibentuk oleh para influencer.
Influencer merupakan orang yang berpengaruh. Biasanya public figure yang dikenal luar di masyarakat. Influencer punya banyak pengikut (follower). Apa yang disampaikannya di akun medsos bisa memengaruhi follower-nya. Pihak yang punya misi menggulirkan isunya via medsos bakal merekrut si influencer lantaran si influencer punya pengaruh yang besar. Twitter, facebook, Instagram.
Baik buzzer maupun influencer, keduanya memiliki peran penting dalam menghasilkan trending topic, isu viral, algoritma mesin pencari. Dengan demikian, di era digitalisasi ini, peran komunikasi politik yang memanfaatkan media menjadi hal yang sangat penting.
Membangun elektabilitas perlu langkah bijak apabila tidak ingin malah terjerembab diindeks terbawah. Komunikasi politik penting dan bisa menggunakan berbagai media seperti buzzer dan influencer serta media lain yang beragam. Namun yang perlu diperhatikan adalah kita harus tetap bijak memilih dan isu yang dikembangkan. Hanya isu dan informasi positif sajalah mengenai figur yang akan menyebabkan perilaku memilih.
Suryanto, Guru Besar Psikologi Sosial dan Dekan Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Surabaya