Menumpas Korona dari Pulau Dewata
Pada era pandemi Covid-19, pertunjukan ritual “tolak tumpas wabah penyakit” di Bali justru sangat jarang dipentaskan. Sangat disayangkan.
Sejak dahulu Bali berhasil menjual atmosfir tenget (senyap dengan aura mistis dan magis) ke jutaan orang. Antropolog Margaret Mead dari Columbia University merasakan itu sejak 1936. Maka ketika ia merinding atas malam-malam yang tenget di seluruh pelosok Bali, surat ketakjuban (dan kegentaran) pun ia tulis. Ketika surat itu dikutip dan disebarluaskan oleh Tessel Pollman dalam artikel Margaret Mead’s Balinese : The Fitting Symbols of the American Dream, ke-tenget-an Bali segera jadi pembicaraan.
“Bali mengajak warganya khusyuk merenung di tengah gulita dan kesunyian. Di Bali segenap bencana dan wabah penyakit seolah bisa dimusnahkan dalam kesenyapan dan kegelapan.” Begitu Mead bersirat tutur lewat penelitiannya.
Untuk membuktikan itu, ia dan peneliti Gregory Bateson minta kepada seniman tradisional Bali untuk menggambarkan segala sesuatu yang tidak kelihatan di benderang siang, namun bersliweran di tenget malam. Hasilnya membuat bulu kuduk berdiri. Lukisan tentang leak, memedi, gamang, dan tonya, makluk yang membawa celaka dan penyakit, berkelindan dalam wujud.
Apa yang terpresentasi itu lantas dipublikasikan dalam beberapa bukunya yang terbit pada 1940-1950. Aneh, dampaknya bukan menawarkan rasa takut, namun malah menarik orang untuk berduyun datang ke Bali.
Baca juga: Merawat Elan Seni Tradisi Bali Selama Pandemi Covid-19
Ke-tenget-an Bali dalam gambar lantas menyusup ke lapangan pentas. Dan Calon Arang (atau Calonarang) adalah lakon yang jadi favorit. Pentas Calon Arang ini memang mengguncang, sehingga sejak 1950 peminat budaya seluruh dunia menyelinap ke Bali untuk menyaksikan pentas tersebut.
Pada 1960-1970 turis Eropa (benua yang jutaan penduduknya pernah dibikin mati oleh flu spanyol pada 1918-1920) berbondong datang. Ini berketerusan sampai tahun 2000-an dengan menggeret para wisatawan dari mana saja. Calon Arang pun jadi tujuan perhatian.
Korona abad kesebelas
Calon Arang mengguncang dan jadi tujuan perhatian, adalah lantaran mengantar cerita kelam.
Syahdan pada abad ke-11 ada kejadian miris di kerajaan Kediri, Jawa Timur. Rakyat di kerajaan ini mendadak mati satu persatu karena terserang gerubug atau wabah, semacam korona. Selidik punya selidik, kejahatan itu dilakukan oleh Calon Arang, perempuan ahli ilmu hitam.
Cerita ini - setelah ratusan tahun populer sebagai “dongeng pagebluk” di Jawa Timur - pelan-pelan terboyong ke Bali. Di Pulau Dewata literasi Calon Arang digubah jadi dramatari, yang kemudian dipentaskan di berbagai Pura Dalem di semua desa. Pentas ini berhubungan dengan upacara besar seperti Galungan, Odalan atau Kuningan, dan berkonteks dengan ritual Napak Pertiwi (menjaga bumi dari ancaman berbagai wabah penyakit). Sementara dalam kosmologi Bali si Calon Arang diceritakan sebagai “walu nateng Dirah” (janda dari Dirah) yang menjelma jadi rangda nekat pengancam masyarakat.
Baca juga: Menilik ”Jejak” Calon Arang Si Penebar Wabah
Atmosfer mistis dan magis semakin mengental ketika ritual pementasan itu memerlukan watangan atau bangke-bangkean (“mayat”) sebagai simbol dari hasil kejahatan wabah yang ditebarkan Calon Arang. “Mayat manusia” yang tergeletak di suatu tempat itu lantas diusung menuju arena pertunjukan, dengan diiringi para setan seperti celuluk, gregek tunggek, kemangmang, brerong, dan rarung.
Begitu sampai di latar pentas, perang pun terjadi! Kelompok hitam pimpinan leak ingin agar manusia itu tetap mati. Sementara kelompok putih berusaha menghidupkan. Orang Bali percaya, apabila kelompok putih tidak mampu mengalahkan kelompok hitam, bangke-bangkean itu akan menjadi bangkai betulan!
Mistisisme dan magisme pentas gelap Calon Arang adalah pesona. Itu sebabnya, demi terus menghidupkan atmosfer kelam, pertunjukan selalu dihelat di Pura Dalem - satu dari tiga pura (tri kahyangan) di setiap desa - yang dikurung ladang rimbun. Dan dicekam oleh tenget lingkungan gelap malam.
Mistisisme dan magisme pentas gelap Calon Arang adalah pesona. Itu sebabnya, demi terus menghidupkan atmosfer kelam, pertunjukan selalu dihelat di Pura Dalem
Berkait dengan penengetan itu, warga dan wisatawan yang ingin menonton diharuskan jalan kaki melewati dataran tanah dengan lingkungan yang gulita. Deretan pelita dan beberapa obor menuntun langkah. Senter kecil yang dibawa pecalang (petugas keamanan Bali) sekali-sekali menerangi jalan. Pohon-pohon besar menyajikan suara risik gesekan daun.
Nah, di latar pentas Calon Arang itu kita bisa menyaksikan bagaimana manusia-manusia baik, yang ditolong oleh para dewa, berhasil menumpas hasrat mahluk jahat. Dalam pentas itu juga terungkap jelas bahwa setiap penyakit, dari flu spanyol sampai korona, bisa ditaklukkan!
Pada akhir tahun 2021 dan awal tahun 2022, di tengah suasana gamang akibat Covid-19, sangat banyak wisatawan yang berkunjung ke Bali. Dari semua itu tidak sedikit yang ingin menyaksikan pentas Calon Arang. Dalam tenget mereka agaknya ingin mendukung perjuangan para Empu Penyembuh dalam lakon. Mereka ingin merapalkan doa, agar Covid-19 dan anggotanya yang bernama Delta dan Omicron, ditendang jauh lewat ritual pertunjukan.
“Saya melihat, para wisatawan ke Bali bukan untuk tamasya saja, tapi juga untuk menumbuhkan harapan. Tapi sayang, sebagian besar pertunjukan itu tak terselenggara karena aturan prokes pandemi, ” kata Anak Agung Rai, pemilik Museum ARMA di Ubud beberapa waktu lalu.
Saya melihat, para wisatawan ke Bali bukan untuk tamasya saja, tapi juga untuk menumbuhkan harapan. (Anak Agung Rai)
Sanghyang Jaran
Selain Calon Arang, pentas tenget yang menarik dihayati adalah tarian Sanghyang, yang menyimpan subtari Sanghyang Dedari, Sanghyang Deling, Sanghyang Bojog, Sanghyang Celeng. Sedangkan yang paling poluler adalah Sanghyang Jaran.
Tarian Sanghyang Jaran juga pentas yang berkonten menolak wabah penyakit. Puncak dari pertunjukan yang diselenggarakan pada malam hari ini adalah saat para penari yang kerasukan menginjak dan menyepak-nyepak bara api dari arang batok kelapa. Karena para penari pengusir wabah itu sudah disucikan lewat ritual nusdus, dan dimasuki roh jaran (kuda) yang perkasa, sekujur tubuh para penari itu tidak mengalami luka bakar dan cedera. Tarian sakral ini diiringi tetabuhan khusus, dengan kidung-kidung mistis yang isinya mengusir wabah dari muka bumi.
Pentas Sanghyang sudah ada sejak pra Hindu, dan mulai diperkenalkan pada abad ke-8 di sekujur Pulau Bali. Apabila protokol kesehatan tidak terlampau ketat, para wisatawan era pandemi Covid-19 sesungguhnya mudah menemui pementasan ini di Klungkung, Gianyar, Bangli, dan Badung. Karena tarian Sanghyang memang dipentaskan pada masa-masa musim korona seperti sekarang.
Yang tak boleh dilupakan dalam konteks pembicaraan “tumpas wabah” adalah Nyepi. Satu upacara yang didahului “pentas ritual” yang berkehendak menyingkirkan pembuat bencana, dan meringkus penebar penyakit pembunuh manusia.
Nyepi - yang baru tiba pada 3 Maret 2022 - merupakan upacara pembersihan diri. Dalam upacara ini masyarakat Bali dan semua orang yang berada di Bali pada pukul 0.00 memasuki Tahun Saka, harus sudah berada di kediaman masing-masing, dan dilarang menyalakan lampu, dilarang berisik, apalagi menyetel televisi atau radio. Maka pada malam itu, hanya cengkerik, dan kelebat sayap kelelawar yang terdengar. Bali samadi di alam yang tenget!
"Pentas" Nyepi mengajak siapa pun untuk hidup baik, menyadari pentingnya harmoni Bhuana Agung (alam raya) dan Bhuana Alit (diri manusia). “Dalam kesenyapan, dalam kesendirian seperti Nyepi, kita bisa tahu musuh kita yang tidak kelihatan, dari rangda, leak, setan gentayangan sampai gerubug,” kata budayawan AAM Djelantik beberapa waktu lalu. Gerubug pada masa sekarang bisa diterjemahkan sebagai Covid-19.
Dalam kesenyapan, dalam kesendirian seperti Nyepi, kita bisa tahu musuh kita yang tidak kelihatan, dari rangda, leak, setan gentayangan sampai gerubug. (AAM Djelantik)
Pada senja beberapa jam sebelum Nyepi dimulai, dilakukanlah pangrupukan atau pengarakan boneka-boneka besar yang bernama ogoh-ogoh, simbol mahluk jahat. Setelah diogoh-ogoh (diguncang-guncang) di sepanjang jalan, boneka itu dibakar pada tengah malam di suatu tempat. Maknanya, segala yang buruk harus dijadikan abu. Semua wabah penyakit yang disemburkan Buthakala harus digerus jadi asap dan dibuang ke angkasa raya. Musik riuh bleganjur mengiringi, sebelum kehidupan menyelinap dalam keheningan.
Dalam senyap ala Bali, manusia (era pandemi korona) diajak berkelana ke dalam wilayah renungan dan pemikiran yang mendalam. Dalam konsep tenget, korona nyata tidak dapat ditaklukkan dalam keramaian, keriuh-rendahan, kegaduhan, dan kehiruk-pikukan. Korona akan tumpas oleh pikiran yang diolah dalam kesenyapan.
Agus Dermawan T, Penulis Buku “Bali Bravo : Leksikon Pelukis Tradisional Bali 200 Tahun”