Pengisian posisi wakil menteri menjadi sumber perdebatan klasik yang tidak pernah mencapai kata resolusi dan konklusi selama satu dekade ini. Posisi ini harusnya opsional sesuai dengan beban kebutuhan, bukan politis.
Oleh
WASISTO RAHARJO JATI
·5 menit baca
Kompas
Supriyanto
Polemik pengisian posisi wakil menteri bukanlah hal yang baru terjadi dalam konstelasi politik terkini. Hal tersebut telah menjadi sumber perdebatan klasik yang tidak pernah mencapai kata resolusi dan konklusi selama satu dekade ini. Pengisian posisi wakil menteri paska reformasi sudah dimulai semenjak Presiden SBY berkuasa hingga periode Presiden Jokowi sekarang ini.
Adapun dasar hukum atas penunjukkan wakil menteri adalah mengacu pada Pasal 9 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara dimana poin utamanya adalah pengangkatan wakil menteri karena adanya “kebutuhan khusus” dalam tugas pokok dan fungsi kementerian yang bersangkutan. Maka, pemaknaan frasa “kebutuhan khusus” inilah kemudian menjadi sumber debat utama tentang kebutuhan wakil menteri tersebut. Ketiadaan penjelasan detail mengenai makna “kebutuhan khusus” itulah yang pada akhirnya membuat pengangkatan posisi wakil menteri ini lebih kental nuansa akomodasi kekuasaan daripada beban kebutuhan kementerian bersangkutan.
Hal pertama yang perlu digarisbawahi ketika menjabarkan secara teknis amanat Pasal 9 UU Kementerian Negara dalam peraturan pemerintah selalu berubah-ubah dan terkesan artifisial. Setidaknya bunyi pasal yang membahas posisi wakil menteri ada dalam Peraturan Presiden (Perpres) Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara sejak dari Perpres Nomor 47/2009, Pepres Nomor 91/2011, Perpres Nomor 60/2012, Perpres Nomor 68/2019, dan yang terbaru Perpres Nomor 77/2021.
Hal menarik ketika membaca secara komparatif mengenai berbagai perpres tentang wakil menteri tidak semua mampu menjelaskan posisi wakil menteri ini dalam susunan hierarki maupun rantai pembuatan kebijakan publik pada kementerian bersangkutan. Terlebih lagi frasa “kebutuhan khusus” itu pula tidak dijelaskan secara mendetail dalam berbagai macam perpres tersebut.
Hal menarik lainnya adalah ada semacam sinyalemen bahwa pengangkatan jabatan wakil menteri di suatu kementerian tertentu itu terkesan dipaksakan secara politis untuk ada. Namun pemaksaan tersebut malah justru membuat disrupsi kewenanangan dalam tubuh internal birokrasi setempat.
Ada semacam sinyalemen bahwa pengangkatan jabatan wakil menteri di suatu kementerian tertentu itu terkesan dipaksakan secara politis untuk ada.
Sebagai contoh, pada Perpres Nomor 47/2009 disebutkan bahwa wakil menteri itu setara dengan eselon 1A, yakni sekretaris kementerian, inspektorat, dan lain sebagainya. Namun kemudian posisi setara itu diubah dalam Perpres Nomor 91/2011 yang salah satu pasalnya berbunyi kalau kewenangan wakil menteri di atas jabatan eselon 1A.
Melihat dari perubahan dramatis tersebut, posisi dan kewenangan wakil menteri itu saja sudah menabrak Peraturan Pemerintah Nomor 100/2000 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian PNS dimana eselon 1A atau setara IVE itu adalah jabatan karier/struktural tertinggi di bawah menteri. Oleh karena itulah dengan adanya tiba-tiba posisi wakil menteri itu sudah di atas 1A secara posisi dan kewenangan tentu menimbulkan disrupsi dalam pembuatan kebijakan dan friksi kewenangan antara wakil Menteri itu sendiri dengan posisi sekretaris kementerian/sekretaris jenderal. Pada akhirnya membuat jabatan karir PNS maupun alur usulan progam menjadi bercabang dua yang sudah tentu bedampak pada inefisiensi birokrasi.
Potensi rivalitas
Secara hierarkis, posisi sekretaris kementerian/sekretaris jenderal secara birokratis adalah posisi kedua tertinggi setelah menteri bersangkutan. Posisi sekretaris sebagai pembantu menteri tentu sangat vital dan strategis dalam monitoring kinerja pelaksana yang dilakukan oleh deputi/dirjen dan pengawasan yang dilakukan oleh inspektorat.
Karena itu kemudian, ketika mendadak ada pengisian posisi wakil menteri di kementerian tertentu akan berdampak pada potensi rivalitas dan friksi kewenangan antara wakil menteri dengan jabatan birokratis 1A yang diwakili oleh sekretaris. Tentu seorang sekretaris kementerian tidak akan mau sepenuhnya tunduk dan loyal kepada wakil menteri yang mayoritas itu berasal dari kalangan eksternal dan non karier.
Sekretaris kementerian merasa sudah tahu seluk beluk internal sehingga ketika ada wakil menteri masuk dan melakukan hal serupa. Dari situlah permasalahan perang ego muncul karena wakil menteri juga membawa misi untuk bisa “backup” dari kinerja menteri yang bersangkutan.
Adapun dalam Perpres Nomor 60/2012 terdapat beberapa pasal yang menyebutkan fungsi dan tugas pokok seorang wakil menteri yang secara garis besar berperan dalam membantu menteri dalam mengawasi jalannya implementasi kebijakan publik. Tentu kalau melihat tugas pokok fungsi tersebut, mengoptimalkan fungsi kesekretariatan, deputi, dan dirjen, serta inspektorat sebenarnya lebih dari cukup untuk bisa monitoring dan evaluasi kebijakan.
Namun sekali lagi, karena posisi wakil menteri ini adalah jabatan yang dipaksakan dan lebih kuat unsur politiknya, maka kondisi itu yang membuat struktur birokrasi menjadi tambun dan lamban dalam eksekusi kebijakan. Dikarenakan baik wakil menteri maupun jabatan eselon 1A berusaha saling kompetisi untuk bisa merumuskan kebijakan baik.
TANGKAPAN LAYAR KANAL YOUTUBE SEKRETARIAT PRESIDEN
Presiden Joko Widodo didampingi Wakil Presiden Ma'ruf Amin saat mengenalkan 12 figur yang diangkat mengisi jabatan wakil menteri di sejumlah kementerian Kabinet Indonesia Maju di veranda Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (25/10/2019).
Tidaklah mengherankan adanya matahari kembar dalam kementerian tertentu justru membuat kinerja dan output yang dihasilakan malah justru tidak maksimal karena baik wakil menteri maupun eselon 1A malah tidak mau bersinergi dan berkolaborasi. Mereka terlibat perang batin dan kepentingan mengenai posisi pemuncak karier di kementerian tersebut.
Alih-alih pemerintahan Presiden Jokowi mengoreksi posisi, fungsi, dan jabatan wakil menteri ini, malahan yang terjadi justru, posisi wakil menteri berkembang menjadi aktor otoritatif tanpa struktur yang jelas. Mengacu pada penjelasan Pasal 65 pada Perpres Nomor 68/2019 disebutkan bahwa menteri dan wakil menteri itu satu kesatuan pimpinan secara politis.
Asanya pernyataan simbolik tentang dwi tunggal itulah yang malah justru makin membuat posisi wakil menteri makin kompleks dan ambigu secara brokratis. Terlebih lagi dalam revisi perpres terbaru yakni Perpres Nomor 77/2021 malah menyebutkan adanya pemberian uang penghargaan bagi wakil menteri setelah selesai menjabat. Hal itu secara ironis merubah salah satu pasal pada Perpres Nomor 60/2012 dimana wakil Menteri tidak mendapat pesangon ketika sudah selesai menjabat.
Dengan kata lain, pengisian wakil menteri di Indonesia pasca reformasi lebih kental kebutuhan politiknya daripada kebutuhan teknisnya. Selain telah membuat rancu dan ambigu secara birokrasi dan kelembagaan, posisi wakil menteri juga makin menambah beban keuangan negara dengan pemberian uang penghargaan.
ARSIP PRIBADI
Wasisto Raharjo Jati
Pangkal awal masalah “kebutuhan khusus” tidak dijelaskan secara tuntas dan malah justru ditafsirkan secara generalisasi bahwa wakil Menteri itu harus “ada” sebagai pendamping menteri. Padahal kalau misalnya penafsirannya itu baik dan benar maka posisi wakil menteri harusnya opsional sesuai dengan beban kebutuhan. Maka pengabaian terhada penfasiran baik dan benar tersebut yang membuat pengangkatan posisi wakil menteri ini tidak lebih dari sekadar kebijakan politik balas budi tetapi minim substansi secara kebijakan dan minim apresiasi di mata publik karena memboroskan anggaran saja.
Wasisto Raharjo Jati, Peneliti Pusat Riset Politik BRIN