Mempercakapkan Gus Dur hari ini dan di masa yang datang mau tidak mau kita menautkankannya dengan semangat seorang konduktor yang tidak hidup dengan gitar belaka; itu pun gitar satu senar.
Oleh
ANAS SYAHRUL ALIMI
·6 menit baca
Setiap akhir tahun, kita selalu ”berjumpa” dengan manusia besar bernama Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Di akhir tahun inilah banyak kalangan, terutama mereka yang meneguhkan kemanusiaan dan religiositas sebagai modal penting melayari zaman, menjadikan Gus Dur sebagai bandul pengingat. Terutama, konsepsinya tentang pluralitas, hal-ihwal keragaman yang tidak tumbuh dari diktat akademik.
Gus Dur kerap dinisbatkan dengan sebutan manusia kontroversial. Menurut saya, tidak. Yang dilakukan Gus Dur adalah mendudukkan sesuatu di tempatnya yang proporsional. Karena itu, kerap yang kita anggap gampang dan remeh temeh, justru bagi Gus Dur itu adalah fundamental.
Mengelola keragaman itu sesuatu yang bagi sebagian orang dianggap remeh. Namun, justru itu yang fundamental bagi bangsa yang luar biasa beragamnya ini. Karena menganggap remeh, penyelesaian keragaman pun diserahkan kepada prosedur obat generik, yakni pendekatan keamanan dengan prosedur tunggal: kekerasan.
Sukma keragaman adalah kemampuan menerima perbedaan dan sabar meniti penyelesaiannya. Kekerasan adalah jalan pintas menyelesaikan, tetapi meninggalkan luka yang memilukan. Di sana, yang kuasa menekan yang lemah, kekuatan ”mayoritas” menggencet yang minoritas.
Dengan seluruh privilese yang dimilikinya sebagai manusia berdarah biru dari pesantren, Gus Dur memilih untuk mengayomi yang tergencet. Di sisi ini, ia memeluk, bukan menggebuk. Gus Dur selalu memilih jalan tengah. Metode atau laku dari jalan tengah itu adalah laku silaturahmi.
Belajarlah kepada Gus Dur tentang soal ini. Silaturahmi itu mencairkan komunikasi yang beku, melumerkan perasaan saling curiga, mengakrabkan hubungan yang kram karena kerasnya sentimen politik.
Gus Dur adalah manusia safari. Safar adalah aktivitas berjalan yang terlibat dan menghikmati pengalaman dan perjumpaan dengan manusia lain yang memang berbeda-beda pengalaman dan latar budaya serta ilmu pengetahuannya. Dalam safari itulah Gus Dur berjumpa dengan aneka rupa kehidupan yang mestinya kita sikapi dengan riang gembira.
Dalam safari itulah Gus Dur berjumpa dengan aneka rupa kehidupan yang mestinya kita sikapi dengan riang gembira.
Bertemu kiai sepuh kharismatik di sebuah desa terpencil, Gus Dur membungkuk dan mencium telapak tangan. Berjumpa dengan kuburan keramat, Gus Dur berhikmat. Bertemu pemimpin negara-negara adikuasa, Gus Dur tidak kemudian menjadi inlander. Bersalaman dengan para rabi atau pastur di gereja maupun sinagog atau di podium seminar, Gus Dur tidak lalu melepas keimanan asalnya.
Kepada petani dan orang-orang fakir di desa, Gus Dur berusaha memangku. Sementara kepada penguasa yang menguasai senjata-senjata pembunuh, Gus Dur mengajar tentang kemanusiaan. Bahkan, kerap semua dilakukan dengan bercanda.
Saat semua orang menjauh dari politik pingit Orde Baru yang menimpa Megawati Soekarnoputri di tahun 1980-an, Gus Dur justru merangkulnya. Kala orang-orang takut berdekatan manusia-manusia yang beroposisi dengan kekuasaan, justru Gus Dur mau memimpin mereka dalam sebuah kelompok bernama Forum Demokrasi (Fordem).
Gitar satu senar
Dalam bahasa yang lebih sederhana, sosok Gus Dur adalah prototipe dari Aneka Ria Safari; sebuah nama program musik televisi yang sangat terkenal yang datang dari tahun 1980-an. Dalam Aneka Ria Safari, hampir semua jenis musik boleh tampil asal gembira.
Jika kita sering melihat foto-foto klasik Gus Dur mendengarkan musik di sebuah toko atau membaca biografinya bagaimana ia menyukai musik klasik, sejatinya itu adalah kaca besar bagaimana laku hidupnya serupa falsafah dalam musik.
Keragaman bunyi dan gaya itu bukankah menjadikan musik bisa diterima oleh telinga universal walau berbeda (bahasa) lirik? Gus Dur adalah konduktor yang tahu betul bagaimana menata bunyi agar tidak saling bertabrakan di atas panggung.
Gus Dur adalah konduktor yang tahu betul bagaimana menata bunyi agar tidak saling bertabrakan di atas panggung.
Musik dihidupkan oleh ragam instrumen. Kemampuan menyelaraskannya melahirkan harmoni, yang satu tidak boleh lebih dominan dengan yang lain. Instrumen raksasa seperti kontrabas tidak mesti jemawa di hadapan sebatang seruling. Mentang-mentang menjadi primadona di panggung klasik, biola tak pernah angkuh di hadapan alat musik gesek tradisional seperti arbab dan kecapi.
Polifonik adalah falsafah musik Gus Dur. Oposisi dari polifonik adalah musik dengan ”gitar satu senar”.
Istilah ”gitar satu senar” ini diperkenalkan pertama kali oleh musisi dan penulis Harry Roesli lewat lagu bertitel ”Gitar Satu Senar”. Ia mengkritik pemerintah yang lebih memilih mengeramatkan gitar satu senar ketimbang yang enam dawai.
Ini sepotong lirik lagu itu: Hanya dengan gitar satu senar aku coba untuk berkarya; jadi orang harus kreatif; gitar satu senar bukan halangan; aku buat lagu dengan gitar satu senar ... yeah; gitar satu senar bukan halangan; anggap saja dengan gitar satu senar seperti hidup dengan asas tunggal; jadi enggak boleh ada perbedaan.
Tentu saja menjengkelkan hidup dalam bingkai gitar satu senar itu. Padahal, kita diberi enam dawai. Bukan hanya gitar, tetapi ada instrumen-instrumen yang lain yang sangat kaya, baik diproduksi oleh industri mapan maupun tumbuh dari upacara-upacara tradisi di pelosok Nusantara.
Gus Dur selalu saja punya akal ketika berhadapan dengan kehidupan ”gitar satu senar” itu. Saat ia mengganti ucapan salam ”assalamualaikum” dengan ”selamat pagi” pada 1987, hal itu saya baca bagian dari upayanya keluar dari dominasi gitar satu senar. Saat ia membubarkan Departemen Sosial dan Departemen Penerangan sebulan setelah menjadi presiden, itu bagian dari taktikalnya menyelamatkan rakyat dari hidup satu senar.
Dengan demikian, mempercakapkan Gus Dur hari ini dan di masa yang datang mau tidak mau kita menautkankannya dengan semangat seorang konduktor yang tidak hidup dengan gitar belaka; itu pun gitar satu senar.
Gus Dur selalu saja punya akal ketika berhadapan dengan kehidupan ”gitar satu senar” itu.
Namun, Gus Dur memiliki prototipe yang tidak menyukai formalitas. Ia seorang konduktor kasual. Eksperimental. Namun, ia bukanlah pemula yang meraba. Ia bereksperimen justru wawasan dan pengalamannya yang melimpah. Kemampuan adaptasi dan formula yang ditawarkannya mengatasi suatu masalah terkadang tidak mudah diterima pada masa itu.
Misal, saat Papua membara dan pemimpin militer tegang dengan pengibaran bendera ”Bintang Kejora”, Gus Dur dengan enteng berkata biarlah bendera itu berkibar asal tidak lebih tinggi daripada bendera Merah Putih. Sekilas, Gus Dur seperti meremehkan ”es o pe” militer yang membiarkan ”Bintang Kejora” berkibar berarti memberi angin kepada ”pengkhianat” negara.
Lihat, Gus Dur tidak melihat orang Papua sebagai liyan, melainkan salah satu instrumen musik Nusantara yang memang berbeda. Ketimbang dihancurkan, lebih baik dirangkul dalam satu orkestrasi dengan bunyi rampak yang unik. Gus Dur mendekati yang berbeda dengan cara berpikir yang bukan hitam putih, yang tidak memakai paradigma ”gitar satu senar”.
Papua itu, sekali lagi, soal yang ruwet. Gus Dur mencairkannya. Seperti biasa, semua yang ruwet umumnya Gus Dur punya jawaban dan tentu saja formula itu kerap sederhana, tak terprediksi, dan los stang. Dalam bahasa Gus Dur, hadapilah masalah dengan riang dan tulus untuk kemanusiaan dan kemaslahatan orang banyak.
”Gitu aja, kok, repot,” kata Gus Dur. Sesederhana itu.
(Anas Syahrul Alimi, Ketua Bidang Pengembangan dan Pendidikan Asosiasi Promotor Musik Indonesia (APMI); CEO Prambanan Jazz Festival)