Edukasi Tengkes melalui Lagu dan Tarian, Pelajaran dari Nias
Persoalan tengkes sehurusnya dapat diatasi dengan edukasi yang lebih kreatif untuk memberikan pemahaman soal gizi anak kepada masyarakat. Edukasi ini bisa menggunakan saluran-saluran sosial di setiap budaya.
Oleh
FOTARISMAN ZALUCHU
·5 menit baca
Tengkes atau stunting menjadi sasaran penting pemerintahan ini. Presiden Joko Widodo sampai mengeluarkan Perpres Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting. Di sana, pemerintah menargetkan angka tengkes hanya tinggal menjadi 14 persen pada tahun 2024, dari angka 27 persen lebih saat ini.
Memang kita perlu bekerja keras karena Indonesia berada pada posisi lima besar negara dengan beban tengkes terbesar. Sumbangan terbesar tengkes di dunia memang berasal dari kawasan regional WHO Afrika dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Kita tahu akibat permanen dari tengkes. Mereka yang mengalami tengkes, akan mudah sakit, lalu tidak dapat menyelesaikan sekolah tepat waktu, selain karena kegagalan pertumbuhan kapasitas otak. Mereka kemudian menjadi dewasa dengan keadaan yang pas-pasan, dalam hal produktivitas dan kesehatan. Pada gilirannya luaran dari tengkes ini menjadi sumber daya manusia yang memiliki kapasitas yang rendah.
Proses ini menciptakan tingkat kesejahteraan sebuah negara terancam. Perkiraan kasarnya, jika setiap tahun terdapat 2,5 juta kelahiran saja sebagaimana data dari Sensus Penduduk terakhir, terdapat 675.000 anak balita saat ini tengkes. Dalam 10 tahun terakhir, terdapat 6 juta anak balita mengalami tengkes, jika diakumulasikan, dan diasumsikan tidak ada perbaikan dalam 10 tahun terakhir. Jumlah ini bukan angka yang tidak sedikit.
Belum lagi perkiraaan biaya penanganan tengkes yang mencapai Rp 10 triliun setiap tahun. Ini hanya biaya yang harus dikeluarkan oleh pemerintah menanggulangi tengkes yang telah diketahui. Tidak termasuk biaya berobat yang harus dikeluarkan oleh keluarga serta biaya lain sebagai konsekuensi tengkes sebagaimana disebutkan di atas.
Edukasi yang kreatif
Tengkes erat kaitannya dengan pengetahuan masyarakat yang masih sangat rendah mengenai gizi selama hamil, pengelolaan kehamilan, bahkan pola pengasuhan dan makanan pada anak usia 2 tahun. Masih banyak warga masyarakat yang belum paham mengenai betapa sangat pentingnya hal ini.
Di perdesaan, kerap kita jumpai ibu hamil yang tidak mau makan dengan alasan sederhana, yaitu malas makan. Demikian juga dengan hanya makan nasi, dengan lauk seadanya saja. Bayi yang baru lahir pun tidak jarang telah diberikan makan pisang karena dipersepsikan bayi yang menangis tanda lapar. Dan sebelum waktunya banyak anak usia 6 bulan telah diberikan makanan keras, bukan makanan lunak.
Semua itu berawal dari rendahnya upaya mengedukasi masyarakat akibat berbagai macam faktor.
Semua itu berawal dari rendahnya upaya mengedukasi masyarakat akibat berbagai macam faktor, baik dari petugas kesehatan maupun hambatan dari pengetahuan masyarakat yang masih sangat tradisional.
Dahulu, untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat, petugas kesehatan lazim menyampaikan melalui penyuluhan. Itu di kota besar di mana ibu-ibu hamil dan ibu anak balita mudah memahaminya. Namun, bagaimana jika pesan mengenai gizi dan tengkes ini kita sampaikan pada ibu-ibu dengan pendidikan rendah dan pengalaman yang sangat terbatas mengenai gizi?
Dalam empat bulan yang lalu (September sampai Desember 2021), penulis dan rekan penulis, Syarifah dari Universitas Sumatera Utara, dengan dukungan dana dari skema Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), memberikan edukasi mengenai gizi dan upaya mencegah tengkes melalui cara yang lebih mudah dipahami oleh masyarakat di perdesaan Kepulauan Nias.
Salah satu pertimbangan awal adalah kerumitan menyampaikan pesan tengkes ini sementara tengkes di Kepulauan Nias justru sedang menjadi sorotan. Sampai-sampai Menteri PMK perlu datang ke Kepulauan Nias menyaksikan sendiri persoalan tersebut. Namun, kami mulai mengidentifikasi ”saluran” lokal berupa tradisi masyarakat.
Sebagai putra daerah bersuku Nias, saya sangat memahami bahwa suku Nias memiliki tradisi bernyanyi di segala ritual. Salah satu yang sampai saat ini tetap dipertahankan adalah bernyanyi di saat pesta pernikahan sambil berjoget. Tradisi berjoget saat pesta pernikahan atau dalam bahasa lokal disebut maena itu, kami lihat sebagai peluang. Karena itu, kami mulai mendesain lagu-lagu maena dengan pesan-pesan syair mengenai gizi dan kesehatan.
Salah satu lagu misalnya seperti demikian. Pemimpin lagu menyanyikan syair ini secara solo, ”he ya’ita so tabina, he ya’ita siso ono/ da talau laria, da talau maena” (ayo ibu hamil dan ibu anak balita/ marilah kita bernyanyi, mari kita bergembira). Setelah syair itu dinyanyikan secara solo, beberapa bait kemudian disambut oleh ibu-ibu beramai-ramai, dengan contoh dua bait berikut: ”siŵa waŵa ndraono ba dabina/ da’ö ginötö soguna sibai; gi’a, adulo, sayu harita/ ba da'ö oya khönia protein (Sembilan bulan lamanya anak dalam kandungan/ itu adalah waktu yang sangat berguna; ikan, telur dan sayuran kacang/ di situ banyak mengandung protein).
Memperkenalkan lagu-lagu dalam bahasa lokal dengan saluran sosial yang telah terbiasa mereka lakukan memberikan efek yang sangat positif. Selain mudah dimengerti, tak disangka, para ibu tersebut justru dapat menciptakan lagi lagu-lagu maena yang isinya berasal dari pemahaman mereka mengenai materi yang kami disampaikan.
Meski lagu-lagu tersebut dinyanyikan dalam suasana edukasi, kami asumsikan jika lagu-lagu tersebut bukan tidak mungkin akan keluar, menjadi konsumsi publik dalam pesta pernikahan, yang biasanya dihadiri ratusan orang. Inilah target edukasi yang kami rencanakan akan terus bergulir jauh melewati saat ibu-ibu tersebut belajar bersama kami.
Melihat hasil yang begitu luar biasa seperti yang kami lakukan tersebut, persoalan tengkes pun seharusnya dapat kita atasi dengan edukasi yang lebih kreatif.
Melihat hasil yang begitu luar biasa seperti yang kami lakukan tersebut, persoalan tengkes pun seharusnya dapat kita atasi dengan edukasi yang lebih kreatif. Kita bisa memikirkan saluran-saluran sosial di setiap budaya untuk melakukan edukasi seperti ini di wilayah lain dengan kondisi serupa. Penulis percaya asal saja bisa memasukkan edukasi melalui saluran lokal, kita bisa meningkatkan pengetahuan para ibu hamil tersebut dengan cara yang lebih baik dan dengan efek yang lebih luas.
Memang kami perlu kerja keras. Kami harus pulang-pergi Medan-Nias Utara-Nias-Nias Selatan setiap minggu. Belum lagi perjalanan darat menuju lokasi edukasi yang begitu melelahkan. Namun, setiap kali bernyanyi bersama dengan kelompok sasaran yang begitu membutuhkan itu, serta melihat mereka belajar bersama sambil berjoget, ada harapan baru jika tengkes bisa dicegah.
Tidak ada hal yang sulit, asal kita mau belajar dari masyarakat itu sendiri. Sesudahnya mereka akan mereproduksi edukasi yang kita berikan. Ayo lawan tengkes.
(Fotarisman Zaluchu, Dosen di Prodi Antropologi Sosial, FISIP Universitas Sumatera Utara)