Kekerasan seksual di lembaga pendidikan umumnya merupakan fenomena relasi kuasa jender. Untuk itu mendasar memahami sistem ideologi jender dengan menjadikannya subject matter retrospeksi kebijakan pada sistem pendidikan.
Oleh
WURI HANDAYANI
·4 menit baca
Peristiwa kekerasan seksual terhadap perempuan bukan semata permasalahan individual. Kekerasan seksual merupakan masalah sosio-struktural, menjadi tugas dan kewajiban bersama warga negara, masyarakat, dan pemerintah.
Tindak kejahatan ini menista dan merendahkan hak asasi perempuan. Ironis, pelakunya justru orang yang dikenali korban, yang mereka hormati, atau diposisikan sebagai pelindung. Akankah kita tetap menganggap kekerasan seksual sebagai kejahatan biasa?
Relasi kuasa
Aksi buka suara mahasiswi di Riau dan terungkapnya kekerasan seksual di beberapa lembaga pendidikan pesantren semoga menggugah kesadaran kita bahwa kekerasan seksual suatu tindakan dehumanisasi. Perempuan-perempuan yang sedang berjuang menempuh pendidikan harus mengalami trauma yang menghantui masa depannya.
Kekerasan seksual dalam pembimbingan skripsi adalah fenomena relasi kuasa jender dosen-mahasiswi. Jender merupakan salah satu pengatur terpenting kehidupan sosial (Endendijk, Groeneveld, & Mesman, 2018). Relasi kuasa jender menempatkan laki-laki sebagai dominan dan perempuan sebagai subordinat. Persektif dimensional menjelaskan relasi kuasa dosen-mahasiswi ”berfungsi efektif” menghasilkan tindakan kekerasan seksual.
Pada posisi relasi kuasa dosen, dosen menduduki posisi dominan. Secara normatif dan kognitif relasi kuasa jender dilegitimasi oleh sistem kepercayaan kultural antara lain hak istimewa laki-laki untuk dominan dan status subordinat perempuan. Secara sadar atau pun tidak persepsi privilese itu menjadi sumber kekuatan sang dosen memunculkan sikap dan perilaku yang ”tidak sempat” lagi mengevaluasinya, menjadi pendorong melakukan tindak kekerasan seksual.
Perspektif sosio-psikologis menegaskan bahwa dalam relasi jender memuat dimensi kekuatan (force) (Eagly, Beall, & Sternberg, 2004). Faktor kekuatan dalam bawah sadar berpotensi muncul sewaktu-waktu. Kita tidak begitu saja menganggap faktor ini dominan membentuk perilaku seseorang, apalagi pada sosok pendidik yang dianggap terbiasa berpikir rasional dan bijak. Namun, pada relasi kuasa dosen-mahasiswi ini persepsi kekuatan dan privilese menguat, dan muncul menjadi tindak kekerasan bersama faktor lainnya.
Sang oknum dosen menguasai sumber daya sebagai ”sumber kebenaran” substansi skripsi. Otoritas sah ini merupakan energi besar menyumbang kekuatan posisi dominan dalam relasi kuasanya. Posisi dominan dosen bagi mahasiswi wajar karena dianggap sebagai ”penentu nasib hidupnya”. Sejumlah komponen tersebut ditambah jabatan struktural sang dosen—manifestasi dari kewenangan institusi—menjadi modal sosial relasi kuasa jender sang dosen.
Pada dimensi relasi kuasa mahasiswi, mahasiswi bersikap submisif (patuh) terhadap posisi dosen yang dominan. Submisifitas, sikap tidak melawan, berposisi subordinat, merupakan konformitas karakter feminin atas keyakinan status jendernya. Mahasiswi berada dalam skema berpikir sistem nilai jender— nilai sosial yang dianggap pantas menjadi karakter seorang perempuan.
Jadi, sebagian legitimasi kepatuhan seorang perempuan bersumber pada nilai-nilai sosial hasil opresi ideologi jender. Kepatuhan sebagai konformitas berdasarkan keinginan seseorang untuk memenuhi harapan dan agar selaras dengan orang lain (Myers, 2014).
Rasa hormat
Mahasiswi juga menjalani fungsi sistem nilai sosial rasa hormat. Dalam berbicara dan membawa diri, seseorang selalu menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain sesuai derajat dan kedudukannya (Faturrochman & Nurjaman, 2018). Mahasiswi menghormati sang dosen sebagai ”orangtua” sebagaimana prosedur pembimbingan, memosisikan diri pada derajat subordinat terhadap dosennya. Sementara sang dosen mendapatkan penghormatan karena posisi ”orangtua” di kampus, memegang kuasa (formal dan susbtansial) dan bertanggung jawab akan kualitas skripsi bimbingannya.
Situasional juga berperan, kondisi dan timing yang tepat—misalkan ruang yang tertutup, jauh dari keramain menjadi kekuatan yang muncul tiba-tiba. Faktor situasional dianggap sebagai memungkinkan terjadinya tindak kejahatan yang mana banyak orang tidak percaya bahwa orang itu dapat melakukannya atas dasar perilakunya selama ini (Myers, 2014).
Relasi kuasa di mana sang dosen pada posisi dominan, memanfaatkan posisi subordinat dan situasi ketidakberdayaan sistemik-sosiostruktural mahasiswi.
Tinjauan dimensi tersebut membawa fungsi interseksional, faktor-faktor menemukan ”titik kumpulnya” memperkokoh relasi kuasa. Relasi kuasa di mana sang dosen pada posisi dominan, memanfaatkan posisi subordinat dan situasi ketidakberdayaan sistemik-sosiostruktural mahasiswi. ”Koherensi” ini menjadikan relasi kuasa ”berfungsi efektif” menghasilkan penindasan oleh sang dosen terhadap mahasiswi.
Dengan demikian kekerasan seksual merupakan tindakan kejahatan luar biasa. Kejahatan dilakukan oleh pelaku dalam posisi normatif dan tanggung jawabnya sebagai pelayan proses pendidikan sekaligus ”orangtua” yang seharusnya melindungi korban. Kejahatan dilakukan terhadap pihak yang bersikap patuh dan hormat. Kejahatan terjadi pada relasi dalam ”ruang hidup” yang mulia— proses pendidikan.
Analisis yang sama untuk memahami kekerasan seksual oknum guru terhadap santriwati. Korbannya perempuan-perempuan belia yang amat tidak berdaya dalam relasi kuasa. Alih-alih mendapatkan hasil pendidikan yang diharapkan, mereka menjadi sasaran perilaku amoral sang guru, hanya karena menjadi perempuan.
Mendasar untuk memahami sistem ideologi jender dengan menjadikannya ”subject matter” retrospeksi kebijakan pemerintah pada sistem pendidikan dalam konteks kultural. Pendidikan jender memungkinkan individu membangun subyekivitas, konsep diri dengan merespons opresi ideologi jender secara cerdas—bekal mendasar dalam interaksi sosial.
(Wuri Handayani, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Negeri Yogyakarta)