Para penyelenggara negara seyogyanya memahami realitas sosial di masyarakat. Bangsa ini sedang hidup dalam masyarakat yang tidak tulus. Kondisi masyarakat seperti terbelah secara virtual yang dipertajam oleh algoritma.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Presiden Joko Widodo telah memerintahkan seluruh warga dan pejabat untuk tidak bepergian ke luar negeri. Badan Musyawarah DPR pun demikian.
Perintah kepada pejabat negara itu disampaikan Presiden Jokowi pada 16 Desember 2021. Badan Musyawarah (Bamus) DPR pada 6 Desember 2021 memutuskan menunda seluruh perjalanan dinas anggota DPR ke luar negeri. Perintah Presiden dan putusan Bamus DPR sebagai bentuk kewaspadaan terhadap Covid-19 varian Omicron yang masuk Indonesia.
Perintah Presiden Jokowi itu seharusnya diamankan pembantunya. Kunjungan ke luar negeri oleh pejabat negara, anggota DPR yang tidak terlalu urgen sebaiknya ditunda saja. Namun, sangat disayangkan ketika Ketua Panitia Khusus RUU Ibu Kota Negara Ahmad Doli Kurnia dan Sekretaris Kementerian PPN/Bappenas Himawan Hariyoga diketahui berangkat ke Nur Sultan, Ibu Kota Kazakhstan.
Mereka terbang ke Kazakhstan untuk studi banding pemindahan ibu kota. Seperti dikutip Kompas, 3 Januari 2021, Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar menyebut, Ahmad Doli Kunia bersama dua anggota Pansus Yanuar Prihatin dari F-KB dan Achmad Baedowi dari F-PP serta pejabat Bappenas berangkat pada Sabtu 1 Januari 2022. Namun, Doli mengatakan, belum jadi berangkat. Ada krisis komunikasi di sana.
Situasi ini membingungkan. Kunjungan ke Nur Sultan bukanlah prioritas. Bangsa ini tampaknya sedang mengalami krisis keteladanan dari elite politiknya atau dari wakil rakyatnya. Kondisi ini diketahui publik. Apa yang dikatakan, kadang berbeda dengan apa yang dilakukan. Jika pola komunikasi seperti ini terus dibiarkan, kita khawatir bisa terjadi krisis kepercayaan. Semoga saja tidak terjadi.
Kebijakan karantina sehabis kunjungan ke luar negeri juga terus berubah dan membedakan perlakuan karantina dalam berbagai macam kasta. Ada kasta penyelenggara negara, kasta anggota DPR dan keluarganya yang dalam praktik bisa dikecualikan. Terhadap penyelenggara negara, karantina pernah dibolehkan di rumah pribadi.
Bagi warga negara biasa, harus menjalani karantika terpusat. Lamanya karantina pun berubah-ubah. Kadang 14 hari, kadang sepuluh hari. Boleh jadi kebijakan pemerintah punya dasar dan disesuaikan dengan dinamika lapangan. Namun, karena tidak disertai dengan komunikasi yang komprehensif, itu hanya akan membingungkan masyarakat dan menciptakan kecurigaan. Padahal “serangan” virus Covid-19 tidak mengenal “kasta” antara elite dan massa.
Para penyelenggara negara seyogyanya memahami realitas sosial di masyarakat. Bangsa ini sedang hidup dalam masyarakat yang tidak tulus. Kondisi masyarakat seperti sudah terbelah secara virtual yang dipertajam oleh algoritma. Pendukung mati-matian dan pembenci hati-hatian. Semua isu pasti akan dieksploitasi habis-habisan untuk kepentingan politik. Realitas itu seharusnya direspons dengan keteladanan elite bangsa yang menjiwai makna satunya kata dan perbuatan dan menyelami rasa perasaan warganya.