Invisibilitas dan Titik Buta Program HIV di Indonesia
Proporsi 3 persen dari total orang dengan HIV menjadikan anak dengan HIV tidak terlihat dan tertinggal dalam program penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia. Mereka juga sulit memperoleh hak sebagai manusia dan anak.
Oleh
NATASYA SITORUS
·4 menit baca
Seharusnya jumlah 12.000 jiwa sudah cukup banyak untuk dianggap penting. Namun nyatanya tidak bagi anak yang hidup dengan HIV di Indonesia.
Proporsi 3 persen dari total orang dengan HIV (Kemenkes, 2021) menjadikan anak dengan HIV tidak terlihat dan tertinggal dalam program penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia. Bahkan anak dengan HIV tidak termasuk dalam populasi prioritas yang disasar dalam perencanaan konsep Strategi Rencana Aksi Nasional (SRAN) Penanggulangan HIV dan AIDS tahun 2021-2025.
Situasi ini sering dijadikan alasan tidak tersedia anggaran untuk dukungan bagi anak dengan HIV di Indonesia. Berdasarkan laporan National AIDS Spending Assessment (NASA-2018), dana untuk anak yatim dan rentan HIV adalah 0,16 persen dari total pengeluaran pada tahun 2018 berdasarkan kategori. Semua dana berasal dari dana publik, seperti APBN dan APBD, dan 0 persen dari dana internasional.
Selain itu, alasan yang sama juga dipakai untuk menjelaskan terbatasnya jenis dan sediaan obat antiretroviral (ARV) yang ramah anak. Kebutuhan yang kecil menghasilkan permintaan yang sedikit pula, dan permintaan yang sedikit tidak menarik bagi para industri farmasi untuk bersaing mendatangkan obat yang ramah bagi anak dengan HIV di Indonesia.
Jumlah yang kecil ini juga dilihat tidak memiliki nilai ekonomi. Padahal, investasi kecil ini akan menyelamatkan ribuan anak dengan HIV karena memiliki harapan hidup yang lebih tinggi dan kualitas hidup yang baik. Hal ini perlu diprioritaskan daripada perhitungan ekonomi dan administrasi saja.
Tidak prioritas
Persoalan lainnya adalah dalam merancang berbagai program terkait penanggulangan HIV dan AIDS, banyak pihak masih mengotak-ngotakkan program berdasarkan faktor risiko. Beberapa kelompok atau populasi dengan risiko penularan tinggi HIV dianggap lebih urgen untuk ditangani dibandingkan populasi dengan risiko lebih rendah, termasuk anak.
Tidak menjadi prioritas mengakibatkan terbatasnya perhatian negara: pembuat kebijakan, pengambil keputusan, penyelenggara layanan, bahkan masyarakat pada anak dengan HIV. Ketika anak-anak dengan HIV tidak dianggarkan dalam pembiayaan dukungan penanggulangan HIV, maka tidak tersedia pendanaan yang tersedia untuk mendukung mereka.
Hal ini berakibat pada sangat terbatasnya jumlah lembaga atau program yang berfokus pada pemberian dukungan bagi anak dengan HIV di Indonesia. Kalaupun ada, jumlahnya bisa dihitung dengan sebelah tangan, dan cakupannya lokal, bukan setingkat nasional.
Cakupan lokal dari sebuah organisasi atau lembaga sering kali dianggap tidak cukup merepresentasi situasi anak dengan HIV di Indonesia. Terang saja, setiap wilayah memiliki tantangan masing-masing terkait persoalan anak dengan HIV.
Cakupan lokal dari sebuah organisasi atau lembaga seringkali dianggap tidak cukup merepresentasi situasi anak dengan HIV di Indonesia.
Namun, jika karena persoalan cakupan lantas organisasi atau lembaga yang lebih dari sepuluh tahun telah mendampingi dan berjuang untuk pemenuhan hak anak HIV dianggap tidak ada, mungkin ada yang salah dengan cara berpikir para pemangku kepentingan. Jika syarat untuk didengarkan, dilibatkan, atau berpartisipasi dalam pemberian masukan terkait pemenuhan hak anak dengan HIV adalah harus merupakan lembaga atau jaringan nasional, entah kapan anak dengan HIV menjadi sama pentingnya dengan kelompok atau populasi lainnya.
Sementara itu, mereka yang sudah tidak terlihat karena jumlahnya yang kecil makin tertutupi oleh ketakutan keluarga ataupun anak akibat penolakan yang masih terus terjadi pada anak dengan HIV. Sebagian beranggapan bahwa jika anak dengan HIV ingin didengarkan dan diakui keberadaannya, sudah waktunya anak ataupun keluarga membuka diri kepada masyarakat.
Namun ada sederet alasan mengapa hal tersebut bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan. Ketidaksiapan keluarga membuka status HIV kepada anak, anak yang belum mengetahui status HIV-nya, ketidaksiapan masyarakat menerima anak dengan HIV, dan tidak adanya perlindungan yang menjamin kebebasan anak dengan HIV dari stigma dan diskriminasi adalah beberapa hal yang membuat anak dengan HIV semakin tidak terlihat.
Walau Indonesia telah lebih dari 30 tahun meratifikasi Konvensi Hak Anak serta memiliki sederet undang-undang, mulai dari UU Perlindungan Anak, UU Sistem Pendidikan Nasional, hingga UU Kesehatan Nasional, anak dengan HIV masih kesulitan memperoleh haknya sebagai manusia dan anak Indonesia. Meskipun secara global ada kemajuan dalam memerangi HIV dan AIDS dan di tengah riuhnya berbagai pihak menyuarakan no one left behind, Unicef Global Snapshot 2021 melaporkan bahwa anak-anak dan remaja terus tertinggal di semua wilayah selama dekade terakhir.
Sudah waktunya Indonesia melihat persoalan anak dengan HIV sebagai persoalan yang sama pentingnya dengan kelompok atau populasi lainnya. Jika anak dengan HIV tak kunjung menjadi prioritas, atau paling tidak sama penting dengan kelompok lainnya, maka anak dengan HIV selamanya akan tak terlihat dan tertinggal dalam segala upaya pencapaian Ending AIDS Epidemic 2030.
Natasya Sitorus, Pegiat Isu Anak dengan HIV di Lentera Anak Pelangi