Anak dengan HIV/AIDS di Ruang Media
Media massa memiliki peran memberikan informasi kepada publik seputar HIV/AIDS. Dari ruang media pula, stigma dan diskriminasi terhadap anak dengan HIV/AIDS dapat dihilangkan.
Media massa memiliki peran memberikan informasi kepada publik seputar HIV/AIDS. Dari ruang media pula, stigma dan diskriminasi terhadap anak dengan HIV/AIDS dapat dihilangkan.
Pertama kali istilah HIV/AIDS dikenal masyarakat melalui media adalah berupa jurnal kesehatan. Awal mula munculnya AIDS dilaporkan jurnal kedokteran Morbidity and Mortality Weekly edisi Juni 1981.
Jurnal itu mencatat, antara Oktober 1980 dan Mei 1981 terdapat lima pemuda homoseksual yang dirawat di rumah sakit di kota Los Angeles, Amerika Serikat. Diagnosisnya, mereka menderita pneumonia yang disebabkan kuman Pneumocystis carinii.
Bagi manusia pada umumnya, sebenarnya kuman ini sama sekali tak membahayakan. Namun, dua dari lima pemuda di antaranya kemudian meninggal. Dari pemeriksaan mendalam ditemukan, mereka mengalami kerapuhan daya kekebalan untuk melawan infeksi. Penurunan kekebalan tubuh inilah yang kemudian dijuluki sindrom defisiensi imunitas alias AIDS.
Bukan hanya asal muasal penyakit HIV/AIDS, dari media pula penyebaran penyakit HIV/AIDS dapat diketahui. Saat ini, jika kita melakukan pencarian di mesin pencari Google menggunakan kata kunci ”AIDS”, muncul 366 juta informasi seputar penyakit AIDS, baik berupa berita, data, gambar, maupun video. Jumlah ini lebih besar jika dibandingkan dengan informasi tentang beberapa penyakit lain, seperti diabetes (335 juta informasi) dan jantung (54,6 juta informasi).
Nilai berita
Dua tahun berselang setelah munculnya AIDS, harian Kompas edisi 13 Agustus 1983 menurunkan laporan ilmu pengetahuan soal penyebaran AIDS dalam kaitannya dengan proses transfusi darah. Penyebaran masuknya AIDS di Indonesia juga tak luput dari liputan media.
Kasus AIDS di Indonesia pertama kali ditemukan tahun 1987 pada seorang turis asing di Bali. Kompas edisi 11 April 1987 menulis laporan berjudul ”Turis Belanda Penderita AIDS Tewas di Bali”.
Karena dimuat di halaman depan, artikel tersebut pasti memiliki nilai berita tinggi. Hal itu dapat dimengerti karena untuk pertama kalinya kasus AIDS terjadi di Indonesia. Dalam ulasan itu disebutkan, Indonesia akhirnya masuk dalam daftar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebagai negara ke-13 di Asia yang melaporkan kasus AIDS.
Kasus AIDS yang kembali mencuri perhatian media adalah penyebaran pertama kali HIV kepada anak-anak. Kasus ini pertama kali dilaporkan terjadi pada 9 Mei 1994. Seorang ibu pengidap HIV melahirkan bayi perempuan di Rumah Sakit Umum Daerah Sosodoro Djatikusumo, Bojonegoro, Jawa Timur.
Dua tahun kemudian, kasus serupa muncul. Seorang bayi perempuan lahir pada 20 Juli 1996 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, dari seorang perempuan asal Karawang, Jawa Barat. Setelah menjalani pemeriksaan di laboratorium Litbang Kementerian Kesehatan, diketahui bayi tersebut positif mengidap HIV.
Meskipun awalnya sulit dipercaya, infeksi HIV terbukti dapat dialami anak-anak dan bayi. Hal ini terjadi karena penularan HIV tak hanya terjadi di kalangan homoseksual dan pencandu narkotika, tetapi juga secara heteroseksual. Bayi yang dikandung ibu dengan HIV/AIDS pun memiliki potensi tertular. Infeksi HIV pada anak dan bayi sebagian besar ditularkan secara vertikal, sejak kehamilan, kelahiran, hingga menyusui.
Label
Dalam perkembangannya, berita mengenai penyakit HIV/AIDS cenderung didominasi oleh bertambahnya jumlah kasus. Pada 1991, Kementerian Kesehatan menyebutkan, ada 16 orang dengan AIDS dan 24 dengan HIV. Sesudah 28 tahun berlalu, kasus AIDS menunjukkan tren peningkatan.
Pada 2010, setidaknya 1.622 anak terinfeksi HIV. Rinciannya, 390 anak usia 0-4 tahun, 405 anak berusia 5-14 tahun, dan 827 anak berusia 15-19 tahun. Delapan tahun kemudian, yang terinfeksi HIV menjadi 2.881 anak. Rinciannya, usia 0-4 tahun berjumlah 988 anak, usia 5-14 tahun sebanyak 459 anak, dan usia 15-19 tahun sebanyak 1.434 anak.
Problem stigma dan diskriminasi menjadi beban paling berat yang dirasakan penyandang HIV/AIDS. Temuan awal AIDS pada kaum homoseksual dan pekerja seks komersial tak jarang membuat masyarakat menilai pengidap HIV/AIDS adalah mereka yang berperilaku seks menyimpang dan ”bukan orang baik-baik”. Stigma menyebabkan pengidap HIV/AIDS sering dikucilkan dan mendapat perlakuan diskriminatif, termasuk anak-anak.
Fenomena tersebut juga tergambar dari hasil jajak pendapat Kompas, 1-2 Juli 2019. Masih ada 26 persen responden yang menyatakan akan menjauh atau menolak jika ada orang dengan HIV/AIDS yang berada di sekitarnya.
Perlakuan diskriminatif terhadap anak-anak ditulis media antara lain pada November 2014, yakni saat ditemukan kasus AIDS di kalangan pelajar di Banyuwangi, Jawa Timur. Salah satu pemberitaan menyebut virus HIV yang mulai menular di kalangan pelajar di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur.
Disebutkan, dari 2.000 pengidap di Banyuwangi, lima di antaranya berusia pelajar. Mereka tertular dari seks bebas dan jarum suntik di luar pelayanan medis. Berita anak dengan HIV/AIDS (ADHA) kembali muncul empat tahun kemudian. Pada Oktober 2018, tiga anak usia sekolah dasar dengan HIV di Desa Nainggolan, Samosir, Sumatera Utara, terancam tidak bisa bersekolah.
Para orangtua siswa menolak keberadaan mereka karena khawatir akan menularkan HIV. Tragisnya, warga meminta ketiganya meninggalkan desanya. Perlakuan diskriminatif dialami pula oleh 14 siswa di Kota Solo, Jawa Tengah, pada Februari 2019. Mereka terpaksa keluar dari sekolah karena desakan dari orangtua siswa lain.
Empati
Perlakuan diskriminatif bagi anak dengan HIV/AIDS, terutama di tempat pendidikan, merupakan tindakan yang mengusik nurani. Anak tidak dapat memilih lahir ke dunia dengan HIV/AIDS atau tidak.
Lalu, seperti apa media seharusnya bersikap ketika menghadapi problem stigma dan diskriminasi terhadap anak dengan HIV/AIDS? Pasal 8 Kode Etik Jurnalistik menyebutkan, ”Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani”.
Penafsiran pasal itu menjelaskan, diksi diskriminasi adalah pembedaan perlakuan. Kode etik ini mengusung spirit media untuk menghargai martabat manusia dan memperjuangkan penghapusan diskriminasi, termasuk kepada anak dengan HIV/AIDS, dengan mengedepankan kepekaan, berbelas kasih. Paradigma tersebut menempatkan media berpihak kepada pihak yang lemah.
Pendekatan lain yang bisa dipilih adalah pendekatan jurnalisme empati. Model liputan jurnalistik pada pendekatan ini menonjolkan perhatian terhadap mereka yang diliput sehingga tidak jatuh pada penghakiman atas korban.
Jurnalisme empati digambarkan oleh Ashadi Siregar (2002) sebagai memasuki kehidupan subyek dengan sikap etis agar tak melakukan penetrasi yang sampai mengganggu kehidupan subyek.
Untuk melawan stigma dan diskriminasi, media dapat berpihak untuk perubahan kehidupan lebih baik. Wujudnya dapat mengakselerasi pencegahan positif, memberi dukungan kelompok sebaya/keluarga, serta advokasi dan pendampingan agar ADHA bisa mengakses hak-haknya.
Fasilitas kesehatan
Sebagai penyakit, HIV/AIDS dapat menimpa siapa saja dan di mana saja. Maka, penting dilihat sejauh mana jangkauan pelayanan kesehatan di daerah terpencil.
Saat ini masih ada daerah yang belum memiliki fasilitas pendukung penanganan HIV/AIDS, antara lain penyediaan fasilitas puskesmas peduli HIV/AIDS. Hingga 2017, jumlah layanan pencegahan penularan HIV dari ibu kepada anak baru tersedia 175 unit di seluruh Indonesia.
Hal lain yang dapat disuarakan media adalah ketersediaan obat antiretroviral untuk anak dengan HIV/AIDS yang masih sulit diakses di daerah kepulauan dan terpencil, seperti di Nusa Tenggara Timur atau Papua.
Ada daerah yang telah memberi contoh yang baik dalam penanganan anak-anak dengan HIV/AIDS. Ini seperti dilakukan Pemerintah Kota Surakarta yang menyediakan tempat tinggal bagi anak-anak itu. Ada pula aktivitas kemanusiaan yang dilakukan kelompok sukarelawan, lembaga, LSM ,atau yayasan yang peduli pada kehidupan anak dengan HIV/AIDS.
Sebagai bagian dari pilar keempat demokrasi, tatanan masyarakat yang menjunjung tinggi kemanusiaan dan mengupayakan kesejahteraan serta keadilan rakyat terus menjadi concern media massa.
Bayangan stigma dan diskriminasi dapat dihapus dengan munculnya keterbukaan masyarakat menerima anak dengan HIV untuk mendapat akses pergaulan, pendidikan, dan kesehatan yang sama dengan anak-anak lain di seluruh Indonesia. (LITBANG KOMPAS)