RCEP yang ditandatangani pada 15 November 2020 merupakan pakta perdagangan terbesar di dunia. RCEP yang beranggotakan 15 negara merangkul 30,2 persen produk domestik bruto dunia serta 27,4 persen perdagangan global.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Keterlambatan ratifikasi Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP) berakibat pada mundurnya implementasi dan peluang benefit yang bisa dipetik Indonesia.
Proses di DPR menyebabkan implementasi mundur dari yang seharusnya 1 Januari 2022.
RCEP yang ditandatangani pada 15 November 2020 merupakan pakta perdagangan terbesar di dunia saat ini. RCEP yang beranggotakan 15 negara—10 negara ASEAN plus China, Jepang, Korea Selatan, Australia dan Selandia Baru—merangkul sekitar 30,2 persen produk domestik bruto (PDB) dunia, sekitar 2,2 miliar atau 29,6 persen penduduk dunia, 27,4 persen perdagangan global, serta 29,8 persen PMA global.
Untuk Indonesia, 14 negara anggota RCEP lainnya merupakan pasar bagi sekitar 60 persen ekspor dan 65 persen impor Indonesia, dengan nilai ekspor 85 miliar dollar AS-100 miliar dollar AS. Hampir 72 persen arus investasi asing ke Indonesia juga dari negara di kawasan RCEP, yakni Singapura, Malaysia, Jepang, Korsel, dan China.
Kendati berbagai kajian menyebut manfaat yang bisa dipetik dari keberadaan RCEP tak terlalu signifikan bagi Indonesia serta negara ASEAN lain, Kemendag RI memprediksi potensi kenaikan ekspor Indonesia 8-11 persen dan kenaikan arus investasi asing (FDI) 22 persen dalam lima tahun sejak RCEP diberlakukan. Selain penurunan tarif, kemudahan investasi, RCEP juga membuka peluang peningkatan keterlibatan Indonesia dalam rantai nilai global.
Sebelumnya, kajian Kemenkeu tahun 2019 memperkirakan, keberadaan RCEP hanya akan menyumbang peningkatan PDB 0,05 persen pada kurun 2021-2032, jauh lebih kecil dari yang dinikmati Vietnam (0,66 persen), Korsel (0,51 persen), Malaysia (0,35 persen) dan Thailand (0,21 persen). Namun, jika memilih tak bergabung, efeknya minus 0,07 persen.
Manfaat pembukaan pasar barang RCEP tak terlalu signifikan karena RCEP hanya perluasan dari perjanjian-perjanjian perdagangan bebas (FTA) yang sudah ada antara ASEAN dan setiap mitra dagang tersebut.
Bahkan, pada tahun-tahun awal implementasi RCEP, neraca dagang kita diprediksi defisit. Manfaat terbesar justru dinikmati para mitra dagang ASEAN sehingga di dalam negeri memunculkan kekhawatiran Indonesia akan kian dibanjiri produk China dan mematikan UMKM yang selama ini menyumbang 96 persen lapangan kerja di Indonesia.
Kemendag RI meyakinkan, RCEP bukan cuma menyangkut komitmen perdagangan bebas, melainkan juga kesepakatan pengurangan hambatan perdagangan jasa, menciptakan ekosistem e-commerce, serta mempersempit kesenjangan pembangunan di antara negara anggota.
Menyikapi berbagai kekhawatiran mengenai dampak negatif RCEP, selayaknya kita menyiapkan diri untuk bisa lebih bersaing, memetik manfaat terbesar dari pakta ini, dan menyiapkan proteksi bagi sektor terdampak. Semakin cepat persetujuan ratifikasi dicapai, semakin cepat kita melangkah ke proses selanjutnya, termasuk dalam pembuatan UU RCEP.