Secara empirik, tanda dasar dari suatu pelayanan publik bermutu itu terlihat pada kepatuhan birokrasi dan kepuasan masyarakat. Meski keduanya bak dua sisi dari keping koin yang sama, urutan kejadiannya jelas beda.
Oleh
ROBERT NA ENDI JAWENG
·5 menit baca
Secara empirik, tanda dasar dari suatu pelayanan publik bermutu itu terlihat pada kepatuhan birokrasi dan kepuasan masyarakat. Meski keduanya bak dua sisi dari keping koin yang sama, urutan kejadiannya jelas: tak pernah ada publik yang puas jika birokrasi tak patuh memenuhi sejumlah prasyarat fundamental.
Guna memotret capaian mutu dan sketsa masalah kepatuhan ini, Ombudsman RI melakukan survei lapangan di 39 kementerian/lembaga (K/L), 34 provinsi, dan 514 kabupaten/kota. Batu ujinya adalah standar layanan (UU No 25/ 2009) dan malaadministrasi (UU No 37/2008). Derajat kepatuhan birokrasi atas pemenuhan standar, serentak sebaliknya penghindaran malaadministrasi dan perilaku koruptif, bisa terbaca pada predikat kinerja: hijau, kuning, dan merah.
Serupa lampu lalu lintas, predikat terbaik (zona hijau) berarti unjuk kepatuhannya tinggi, kinerja biasa saja diberikan predikat sedang (zona kuning). Alarm bahaya jika suatu entitas birokrasi di zona merah: buruknya kinerja dan rendahnya kepatuhan atas standar layanan yang elementer.
Tipologi kepatuhan
Visi besar reformasi birokrasi berintikan hadirnya pelayanan publik berkelas dunia (Road Map 2020-2024). Presiden Joko Widodo menempatkan transformasi sektor publik sebagai prioritas nasional (RPJMN 2020-2024). Jika sebagian saja dari delapan area perubahan berhasil diintervensi, birokrasi (governansi) akan menjadi ekosistem pembangunan bagi terwujudnya imajinasi Indonesia hebat dalam jangka menengah dan panjang (2045).
Namun, selalu ada paradoks jarak (paradox of distance) dalam membaca kejadian. Jika yang dipakai adalah optik makro, reformasi itu serasa berjalan dalam trajektori gemilang. Apalagi kalau hanya berbekal persepsi impresif yang diperoleh dari ajang-ajang penjurian nasional. Sebaliknya, lipatkan posisi berjarak kita, lalu menelisik dari dalam (jarak dekat) praktik-praktik nyata di lapangan, maka niscaya hadir ragam gambaran yang sebagiannya buram.
Presiden Joko Widodo menempatkan transformasi sektor publik sebagai prioritas nasional (RPJMN 2020-2024)
Survei Ombudsman berupaya memeriksa sisi perilaku birokrasi, menakar kapasitas sistem dan dukungan ekosistem, serta membaca persepsi kepuasan hingga suasana kebatinan warga yang dilayani. Dari hasil pengukuran, sejumlah tipologi kepatuhan dapat dibuat.
Pertama, secara kuantitatif, ketimpangan mutu antara pusat dan daerah masih menjadi fakta keras reformasi sektor publik. Dalam segi capaian (achievement), dari 39 K/L, sejumlah 30 institusi meraih predikat baik atau berkepatuhan tinggi (zona hijau), sisanya masuk zona kuning (berkepatuhan sedang).
Sementara dalam delta perkembangan (progres), persentase kepatuhan tinggi (hijau) terus bertambah dan sudah tak ada lagi instansi yang berkepatuhan rendah (merah).
Sebaliknya dengan daerah: hanya 13 provinsi mengisi papan atas (zona hijau), 19 provinsi berkepatuhan sedang, bahkan dua provinsi masuk zona merah (berkepatuhan rendah). Di level kabupaten/kota, 137 daerah berpredikat baik (hijau), berjumlah cukup signifikan 287 daerah berkepatuhan sedang (kuning), dan 90 daerah terbilang buruk atau berkepatuhan rendah (merah).
Dalam segi kemajuan (progres), dibandingkan 2020, kabupaten mengalami pemburukan dalam jumlah daerah yang meraih kepatuhan tinggi. Segitiga masalah itu—ketimpangan pusat-daerah, pemburukan mutu di kabupaten, dan kinerja capaian yang biasa/sedang di mayoritas daerah—mesti disikapi serius. Kinerja aneka kantor pelayanan di daerah jauh ketinggalan dari kantor-kantor kebijakan di pusat, padahal lokus utama layanan yang langsung bersentuhan dengan keseharian rakyat berada di sana.
Tantangannya klasik: fitur kepemimpinan (leadership) dan tata kelola (governance) belum juga menemukan tuahnya setelah 21 tahun kita berdesentralisasi. Masa pandemi datang menguji ketangguhan atau kerapuhan sistem yang ada dan menghadirkan tekanan baru tersendiri atas kapabilitas pemerintahan. Padahal, dalam ikhtiar merespons dampak pandemi, kemangkusan pemda dalam layanan dasar dan layanan investasi jadi titik tumpu keberhasilan kita kembali ke jalur transformasi kesejahteraan.
Fakta rendah dan timpangnya capaian kinerja di sejumlah daerah menunjukkan lemahnya sistem perlindungan negara atas kerentanan yang dialami rakyat. Hal itu juga menjadi tanda rapuhnya kaki-kaki sektor publik di daerah dalam memenuhi hak-hak layanan dasar warga dan mendukung pengembangan potensi lokal yang amat krusial saat ini.
Kedua, secara kualitatif, banyak instansi memiliki kelemahan pada standar layanan, transparansi informasi, unit pengaduan, layanan inklusif, serta penilaian kinerja. Lemahnya kesadaran diri sebagai kantor layanan, misalnya, berimplikasi pada rendahnya kepatuhan untuk menyusun standar proses, biaya, dan waktu. Anggapan keliru bahwa pekerjaan mereka itu semata tugas-fungsi internal tak saja membentuk jebakan rutinitas, tetapi juga lalu bersikap abai akan standar kerja dan maklumat pelayanan.
Kecuali soal perizinan, instansi yang mengelola jasa publik (pendidikan dan kesehatan) ataupun layanan administratif (kependudukan) menjadi contoh kasus yang buruk.
Bahkan jika suatu instansi memiliki semua elemen tersebut, tidak banyak yang serius menginformasikan kepada warga. Padahal, transparansi informasi adalah prasyarat fundamental reformasi pelayanan. Hambatan akses publik, informasi asimetris, dan ruang gelap kuasa birokrasi membuat governansi sebagai eksosistem pembangunan sulit mewujud.
Sejumlah instansi masih memilih kanal manual; lebih sedikit lagi yang berinovasi dan berbasis elektronik. Transformasi digital sektor publik masih sebatas ketersediaan platform, citra pajangan tanpa isi (content) bermakna. Warisan mental model dan budaya kerja berorientasi kekuasaan (power culture) ketimbang sebagai pelayan rakyat (service cuture) menjadikan gagasan pemerintahan terbuka (open government) serasa meniti jalan panjang.
Ketiga, capaian instansi yang berkepatuhan tinggi menunjukkan padu padannya fitur kepemimpinan progresif, birokrasi inovatif, serta masyarakat aktif dan kolaboratif. Mengingat standar pelayanan adalah soal sistem, fondasi institusional dan koalisi besar perubahan diperlukan. Determinasi awal figur pemimpin jelas perlu, tetapi tak cukup guna melembagakan reformasi berkelanjutan.
Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Keuangan, Provinsi Riau dan Kalimantan Barat, hingga Kota Balikpapan dan Kabupaten Kampar menunjukkan bagaimana fitur kepemimpinan bertransformasi menjadi kekuatan sistem (birokrasi) dan sekarang berbasis luas (jejaring perubahan).
Barometer kemajuan
Hasil survei kepatuhan ini menjadi barometer kemajuan setiap instansi membenahi dapur pelayanan publik (service manufacturing). Tak pernah ada layanan bermutu jika dapur bekerja justru berantakan.
Alih-alih kepuasan, yang terjadi malah unsur kerugian publik, ribuan aduan malaadministrasi saban tahun dilaporkan ke Ombudsman. Pada masa pandemi ini, ketika tingkat ketergantungan masyarakat terhadap negara kian tinggi, instrumen strategis pemerintah untuk merespons adalah melalui alokasi fiskal dan layanan publik.
Dalam selebrasi penghargaan, Ombudsman RI menyampaikan sejumlah strategi perbaikan kepada Presiden, para menteri yang membidangi portofolio terkait, serta semua instansi penyelenggara layanan.
Membangun komitmen politik dan desain teknokratis, memperkuat promosi dan prevensi di hulu, hingga menambal kebocoran di garda depan (street level bureaucracy), serta merajut kolaborasi kreatif berbasis luas (pentahelix) menjadi kerangka kerja bagi hadirnya perubahan mendasar, menyeluruh, dan berkelanjutan ke depan.