Sudah realitas tak terbantanhkan bahwa anggaran belanja pertahanan AS sebagai adidaya terkemuka dunia merupakan yang paling besar di dunia.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Kemarin kita baca, Presiden Amerika Serikat Joe Biden mengesahkan anggaran pertahanan 2022 sebesar 768 miliar dollar, atau lebih dari Rp 11.000 triliun. Besar anggaran pertahanan AS di atas lebih dari tiga kali anggaran pertahanan China (252 miliar dollar), dan hampir 12 kali anggaran Rusia (62 miliar dollar), atau melebihi APBN RI selama 5 tahun (Kompas.id, 28/12).
AS sebagai negara adidaya yang mengoperasikan kekuatan militer (di luar jumlah pasukan) paling masif di dunia, dengan operasi global, niscaya membutuhkan anggaran operasional sangat besar. Sekadar contoh, untuk operasi harian satu gugus serang kapal induk, berkisar 6-8 juta dollar. Total biaya tahunan untuk pengoperasian 11 kapal induk dan 9 wing udara sekitar 21 miliar dollar (The Meritime post.com).
Untuk pertahanan di Indo-Pasifik, Kongres mengucurkan dana lebih besar dari permintaan, dari 4 miliar dollar AS menjadi 7,1 miliar dollar AS.
Dari anggaran 28 miliar dollar lebih itu, ada alokasi program senjata nuklir yang sebagian dikelola Departemen Energi. Selebihnya, Pentagon masih akan merinci lagi rencana belanja 2022. Yang sudah jelas, karena AS berkomitmen di Eropa, ada anggaran pertahanan di Eropa (4 miliar dollar AS), juga anggaran pertahanan Ukraina (330 juta dollar AS). Sementara untuk pertahanan di Indo-Pasifik, Kongres mengucurkan dana lebih besar dari permintaan, dari 4 miliar dollar AS menjadi 7,1 miliar AS.
Dikembangkan juga peluru kendali (rudal), pesawat tempur, pesawat intai, juga tank. Untuk Angkatan Darat, ada dana penambahan helikopter Apache dan Black Hawk, adapun tugas AU mempertahankan jumlah pesawat pengebom B-1 sampai pengebom generasi baru B-21 siap terbang.
Menyimak angka-angka dan alokasi pendanaan, setidaknya tersimpulkan dua hal. Pertama, AS tidak bisa lain, kecuali terus menggiatkan riset-riset di bidang pertahanan, khususnya setelah Rusia mengumumkan berbagai kemajuan di bidang teknologi pertahanan, seperti penguasaan rudal hipersonik (kemampuan di atas 5,5 kali kecepatan suara atau sekitar 6.000 km/jam) yang diklaim tak bisa ditahan oleh sistem pertahanan udara apa pun. Kelalaian membuat sistem penangkal bisa membuat arsenalnya dalam bahaya.
Kedua, situasi keamanan di Asia-Pasifik, juga di Eropa memperlihatkan dinamika hangat pula. Kita sering membaca pengerahan kekuatan satu pihak dibalas show of force pihak yang berseberangan. Sering kita dibuat tegang oleh manuver-manuver militer AS dan sekutunya, versus China di sisi lain.
Bujet pertahanan, itu tentu hak tiap negara. Namun, ia akan menjadi bahan penilaian negara lain terkait dengan penggunaannya, apakah semata untuk defensif atau tersirat ada niat ofensif.
Dengan dua alasan di atas, ada raison d’etre di AS untuk terus mempertahankan anggaran pertahanan tinggi. Jika ada alasan lain untuk itu, semenjak era Perang Dingin Barat-Timur, di AS juga ada banyak perusahaan yang bergerak di bidang pertahanan. Susutnya permintaan yang dicerminkan oleh turunnya anggaran pertahanan akan berarti menurunnya proyek yang akan mengalir ke perusahaan kontraktor ini.
Bujet pertahanan, itu tentu hak tiap negara. Namun, ia akan menjadi bahan penilaian negara lain terkait dengan penggunaannya, apakah semata untuk defensif atau tersirat ada niat ofensif.