Nilai Penting Pertemuan G-20 dalam Mendukung Transisi Energi
Tanpa sumber daya manusia yang kuat, kekayaan alam Indonesia tidak dapat dikelola dengan baik.
Oleh
Fitria Astuti Firman
·6 menit baca
Tahun 2022 merupakan tahun yang sangat penting bagi Indonesia untuk memantapkan posisi sebagai negara berdaya saing tinggi. Pada tahun tersebut, Indonesia menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi G-20. Pertemuan tersebut akan diselenggarakan di Bali dan merupakan pertemuan strategis untuk menjalin berbagai kerja sama multilateral bagi negara-negara maju dan berkembang.
Presidensi Indonesia berlangsung dari 1 Desember 2021 sampai dengan 30 November 2022. Presidensi G-20 mengusung tema ”Recover Together, Recover Stronger”. Pada kegiatan tersebut, terdapat tiga isu utama yang diangkat, yaitu sistem kesehatan dunia, transformasi ekonomi dan digital, serta transisi energi yang berkelanjutan. Selama satu tahun tersebut, Indonesia mempunyai kesempatan yang baik untuk memantapkan posisinya sebagai pelaku dalam transisi energi, baik sebagai pemanfaat teknologi energi bersih saja (konsumen) maupun sebagai penyuplai barang dan jasa yang mendukung proses transisi energi itu sendiri (pelaku pasar).
Pada tahun yang sama, Indonesia akan mengalami berbagai tantangan perubahan yang lebih besar di berbagai sektor, terutama di sektor energi. Gaung percepatan transisi energi semakin besar setelah pertemuan Conference of the Parties (COP) Ke-26 di Glasgow, Skotlandia, yang berlangsung pada bulan lalu. Ambisi Indonesia untuk berkontribusi secara optimal untuk memitigasi perubahan iklim semakin kuat. Berbagai skenario transisi energi mulai dibangun oleh lembaga-lembaga pemerintah dan juga non-pemerintah. Faktor tersebut merupakan salah satu alasan kuat bagi Pemerintah Indonesia untuk mengkaji ulang dan mungkin memperbarui kebijakannya di sektor energi.
Salah satu yang dapat dipertimbangkan dalam penyusunan kebijakan energi ini adalah sejauh mana kebijakan tersebut dapat memperkuat daya saing sektor energi Indonesia, terutama daya saing energi baru terbarukan, guna mendukung transisi energi dunia.
Indonesia kaya akan sumber energi terbarukan. Pada Rencana Umum Energi Nasional tercatat bahwa potensi energi baru terbarukan Indonesia diperkirakan sebesar 443,21 gigawatt (GW), dengan potensi energi air yang paling besar adalah energi surya sebesar 207 GW, diikuti dengan potensi energi air sebesar 75 GW. Potensi lainnya adalah energi angin sebesar 60,65 GW, bioenergi sebesar 32,65 GW, dan panas bumi sebesar 29,54 GW. Potensi lainnya berupa energi laut.
Akan tetapi, penyediaan energi nasional saat ini masih didominasi oleh energi fosil. Pada tahun 2020, pemanfaatan batubara sebesar 38,7 persen dan minyak bumi mencapai 30,50 persen pada bauran energi primer nasional. Porsi energi terbarukan itu sendiri diperkirakan baru mencapai 11, 28 persen.
Sejauh ini, energi baru terbarukan menjadi salah satu solusi strategis untuk transisi energi karena sifatnya yang berkelanjutan dan mempunyai emisi nol. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi, energi terbarukan didefinisikan sebagai energi yang berasal dari sumber energi terbarukan.
Sumber energi terbarukan adalah sumber energi yang dihasilkan dari sumber daya energi yang berkelanjutan jika dikelala dengan baik, antara lain panas bumi, angin, bioenergi, sinar matahari, ailiran dan terjunan air, serta gerakan dan perbedaan suhu lapisan laut.
Selain energi terbarukan, pada UU tersebut juga disampaikan suatu definisi energi baru, yaitu energi yang berasal dari sumber energi baru, dengan sumber energi baru didefinisikan sebagai sumber energi yang dapat dihasilkan oleh teknologi baru baik yang berasal dari sumber energi terbarukan maupun sumber energi tak terbarukan, antara lain nuklir, hidrogen, gas metana batubara (coal bed methane), batubara tercairkan (liquified coal), dan batubara tergaskan (gasified coal).
Berdasarkan perspektif Resource Orchestration, memiliki potensi energi baru terbarukan tersebut tidaklah cukup untuk meningkatkan daya saing suatu negara. Potensi tersebut harus dapat dikelola dengan baik untuk menciptakan suatu daya saing.
Daya saing energi baru terbarukan dapat dikatakan sebagai suatu dimensi yang dapat mengukur penyediaan energi yang berkelanjutan, berwawasan lingkungan, dan berkontribusi pada penguatan ekonomi nasional melalui penciptaan industri energi yang berdaya saing.
Perspektif-perspektif baru dalam melihat daya saing tidak terbatas pada ukuran GDP, tetapi faktor lain yang mewakili dari pilar sosial dan lingkungan. Merujuk pada perspektif baru tersebut, daya saing energi baru terbarukan merupakan suatu dimensi yang dapat mewakili lingkungan.
Sebuah penelitian yang dipublikasikan pada jurnal Renewable and Sustainable Energy Review menunjukkan bahwa indeks komposit dari daya saing energi terbarukan atau Composite Index of Renewable Energy Competitiveness (CIREC) untuk Indonesia adalah yang terkecil dibandingkan negara-negara G-20 lainnya, setelah Arab Saudi. Sementara berdasarkan penelitian yang sama, China mempunyai CIREC paling tinggi. Negara lain yang berada di lima besar teratas adalah Amerika Serikat, Jerman, Inggris, dan Denmark.
Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan pertemuan G-20 nanti, Indonesia harus mampu memetakan setiap keuntungan yang akan didapat dari setiap negara anggota untuk mendukung transisi energi yang saat ini sedang bergaung di setiap belahan dunia.
Dengan pendekatan Model Berlian Porter, kita dapat menganalisis daya saing yang dimiliki Indonesia. Faktor penentu tersebut meliputi (1) kondisi faktor, (2) kondisi permintaan, (3) industri yang berkaitan dan saling mendukung, serta (4) strategi, struktur, dan persaingan perusahaan. Sementara faktor penunjang meliputi (1) kesempatan dan (2) dukungan pemerintah. Mengingat bahwa pengelolaan energi nasional merupakan tanggung jawab dan diatur penuh oleh pemerintah, dalam hal ini faktor penunjang berupa faktor kesempatan dan faktor dukungan.
Pemerintah seyogianya diinternalisasi ke dalam faktor-faktor penentu. Dalam hal ini, kesempatan dan dukungan pemerintah dapat dipandang sebagai modal dasar yang berasal dari luar perusahaan (external capitals) untuk dapat bersaing pada industrinya.
Dukungan pemerintah dapat dipandang sebagai modal dasar dari luar perusahaan untuk dapat bersaing pada industrinya.
Pasar energi baru terbarukan merupakan pasar yang diciptakan oleh pemerintah melalui kebijakan dan perencanaan keenergian (KEN dan RUEN) serta perencanaan kelistrikan nasional (RUKN dan RUPTL). Target energi baru terbarukan pada bauran energi primer nasional ditetapkan sebesar 23 persen pada tahun 2025. Khusus di subsektor ketenagalistrikan, RUPTL 2021-2030 telah merencanakan sebesar 51,6 persen berasal dari pembangkit energi baru terbarukan.
Rencana pemerintah dalam pengembangan energi baru terbarukan tersebut belum didukung penuh dengan pertumbuhan industri energi baru terbarukan dalam negeri, padahal peraturan terkait tingkat komponen dalam negeri (TKDN) sudah diimplementasikan. Selain itu, strategi sebagian besar perusahaan energi baru terbarukan Indonesia masih terbatas pada pemenuhan permintaan dalam negeri.
Terkait dengan pertemuan G-20, selain pelajaran berharga terkait kebijakan di sektor energi, Indonesia tentunya dapat memanfaatkan momen tersebut melalui berbagai program kerja sama yang dapat mengeksploitasi manfaat dari keunggulan setiap negara. Terdapat dua strategi utama untuk mengambil momen G-20 tersebut guna mendukung transisi energi.
Strategi pertama adalah memperkuat faktor sumber daya manusia melalui kerja sama pendidikan formal dan berbagai pelatihan serta kegiatan penelitian dan pengembangan untuk mendorong inovasi. Tanpa sumber daya manusia yang kuat, kekayaan alam Indonesia tidak dapat dikelola dengan baik. Sebagai contoh, pada saat proyek Clean Development Mechanism (CDM) dulu, salah satu kendala Indonesia adalah terkait dengan tersedianya sumber daya manusia. Akibatnya, Indonesia harus menyewa konsultan-konsultan asing yang mahal.
Strategi kedua adalah meningkatkan daya tarik investasi dengan menurunkan risiko-risiko investasi pada industri energi baru terbarukan, di antaranya dengan (1) kebijakan dan peraturan yang stabil dan berorientasi jangka panjang, (2) kebijakan insentif, (3) terciptanya pasar karbon, serta (4) mendorong implementasi obligasi hijau. Terkait dengan hal itu, saat ini publik sedang menunggu dikeluarkannya Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan dan Peraturan Presiden tentang Harga Energi Baru Terbarukan.
Fitria Astuti Firman, Analis Kebijakan Ahli Madya Sekretariat Jenderal Dewan Energi Nasional; Anggota Indonesia Strategic Management Society