Transisi energi, meninggalkan energi fosil dan berpindah ke energi terbarukan, tidak terelakkan. Namun, peran teknologi dan dukungan pendanaan dari negara maju dibutuhkan.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Warga menikmati makan malam bersama dengan penerangan lampu yang menggunakan sumber listrik dari tabung listrik di Kampung Munggui, Distrik Windesi, Kabupaten Kepulauan Yapen, Papua, Rabu (29/9/2021). Sebelum menikmati listrik menggunakan alat penyimpanan daya listrik atau tabung listrik, warga menggunakan pelita sebagai sumber penerangan saat malam hari. Sebagian kecil warga ada yang memakai genset, tetapi penggunaan genset dirasakan warga tidak ekonomis karena harga bahan bakar yang mahal dan sulitnya mendapatkan bahan bakar.
Di Kampung Waisani, Distrik Windesi, Kabupaten Kepulauan Yapen, Papua, kegembiraan warga dipicu oleh kehadiran lampu-lampu bohlam di awal tahun ini. Sejak Indonesia merdeka, lampu bertenaga listrik adalah barang langka di Waisani. Selama ini warga hanya mengandalkan penerangan dari pelita berbahan bakar minyak.
Jangan dibayangkan bohlam itu bisa menyala 24 jam selama tujuh hari dalam sepekan. Bohlam itu hanya ”hidup” saat senja menjelang hingga tengah malam. Selain itu, setiap rumah rata-rata hanya memiliki 2-4 unit bohlam saja.
Lampu bohlam tersebut mendapat daya dari tabung listrik (talis), semacam bank daya seukuran aki mobil, yang disediakan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero). Daya talis diperoleh dari stasiun pengisian energi listrik (SPEL) bertenaga surya. Jadi, saat habis terkuras, daya talis harus diisi ulang di SPEL yang tersedia di kampung.
Jangan dibayangkan pula talis itu bisa menghidupi kulkas, televisi, mesin pompa air, atau AC. Talis hanya bisa memenuhi kebutuhan dasar warga Kampung Waisani, yakni lampu penerangan di rumah. Tak lebih dari itu.
Kondisi di atas digambarkan dalam laporan ”Jelajah Energi Nusantara” di harian ini, edisi Senin, 25 Oktober 2021. Fakta tersebut menggambarkan bahwa masih ada kesenjangan dalam hal akses energi listrik di Indonesia.
Talis hanya bisa memenuhi kebutuhan dasar warga Kampung Waisani, yakni lampu penerangan di rumah. Tak lebih dari itu.
Mengacu pada data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, rasio elektrifikasi Indonesia hingga September 2021 adalah 99,39 persen. Artinya, ada 0,61 persen populasi Indonesia yang sama sekali belum mengakses listrik. Kendati rasio elektrifikasi nyaris 100 persen, kualitas pasokan listrik juga tak lepas dari masalah. Masih ada sebagian wilayah yang mengalami pemadaman bergilir.
Pekerjaan rumah
Sementara itu, puluhan ribu kilometer dari Yapen, tepatnya di Glasgow, Skotlandia, pemimpin negara di dunia berkumpul dalam Konferensi Para Pihak Ke-26 (COP 26) membahas perubahan iklim di awal bulan ini. Salah satu bentuk mitigasi perubahan iklim yang disuarakan adalah mengurangi pemakaian batubara sebagai sumber energi primer pembangkit listrik (PLTU) dan beralih ke energi terbarukan. Batubara kerap dituding sebagai sumber pencemar udara, sekaligus penyumbang emisi gas rumah kaca.
Di Indonesia, batubara masih menjadi pilihan utama energi primer pembangkit listrik. Dalam bauran energi pembangkit listrik, batubara berkontribusi 65 persen. Apabila digabung dengan sumber energi fosil lainnya, yaitu minyak dan gas bumi, kontribusi energi fosil sebesar 85 persen. Peran energi terbarukan hanya 15 persen, yang datang dari panas bumi, tenaga surya, bayu, hidro, dan lainnya.
Pertanyaannya adalah apabila batubara tersebut dikurangi atau mungkin dihapuskan sama sekali, bagaimana dampaknya terhadap ketenagalistrikan? Pasalnya, sumber energi terbarukan belum seluruhnya mampu menjawab keandalan pasokan listrik. Apa yang terjadi di Yapen adalah salah satu contohnya.
Di Indonesia, batubara masih menjadi pilihan utama energi primer pembangkit listrik. Dalam bauran energi pembangkit listrik, batubara berkontribusi 65 persen.
Cahaya lampu terpancar saat malam hari dari salah satu stasiun pengisian energi listrik (SPEL) di Kampung Munggui, Distrik Windesi, Kabupaten Kepulauan Yapen, Papua, Rabu (29/9/2021)). Pada setiap SPEL terdapat dua rak susun yang dapat menampung delapan talis untuk diisi ulang. Pengisian daya listrik secara penuh setiap talis dilakukan selama sekitar delapan jam dengan kondisi cuaca cerah.
Akan tetapi, kasus belum cukup kuatnya sumber energi terbarukan diandalkan sebagai pemasok listrik utama (base load) di Yapen, tidak lantas dijadikan argumen bahwa energi fosil, khususnya batubara, akan terus dibutuhkan. Tak bisa dibantah memang PLTU mampu menjalankan perannya sebagai pembangkit base load.
Namun, kemampuan itu tak dimonopoli PLTU, pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) juga memiliki kemampuan serupa. Demikian pula tenaga hidro kendati sedikit terpengaruh faktor cuaca (naik turunnya debit air). Sayangnya, dua jenis energi terbarukan itu di Indonesia belum optimal dimanfaatkan. Panas bumi misalnya. Dari potensi 24.000 megawatt (MW), pemanfaatannya baru 2.100 MW saja. Demikian pula potensi 75.000 MW dari hidro, pemakaiannya baru 6.400 MW.
Ketergantungan pada batubara dan rencana mitigasi perubahan iklim lewat pemanfaatan energi terbarukan yang lebih bersih dan berkelanjutan masih menjadi pekerjaan rumah banyak negara di dunia, termasuk Indonesia. Masalahnya adalah kapan dan bagaimana pekerjaan rumah itu bisa diselesaikan tuntas?
Jawabannya ada pada kesungguhan para pengambil kebijakan, rekayasa teknologi, dan dukungan negara maju untuk membantu negara berkembang yang masih bergantung pada energi fosil. Harus ada transfer pengetahuan dan teknologi, termasuk dukungan pendanaan, dari negara maju ke negara-negara berkembang tersebut. Tak cukup hanya memerintah untuk menghentikan penggunaan batubara tanpa memberikan solusi apa-apa.