Ambisi Nuklir Orde Lama
Ambisi nuklir pada masa Orla itu sekarang terasa menggelikan. Namun, dulu, mungkin tidak sebab semua patriot waktu itu terbakar semangat maju terus pantang mundur.
Tentang ambisi nuklir Indonesia yang pupus bersama gagalnya usaha kudeta PKI, Kris Mada menulis, tahun 1965 itu Indonesia tidak punya fisikawan ataupun peralatan memadai untuk membuat bom atom (Kompas, 11/12/2021).
Sejak awal 1960-an Indonesia merintis pemanfaatan energi nuklir ”atom pour la paix” (atom untuk damai), yang diizinkan IAEA (Badan Tenaga Atom Internasional).
Dari Presiden AS Dwight D Eisenhower, Bung Karno mendapat reaktor Training, Research, Isotopes, General Atomics (TRIGA) Mark II yang dibangun di PRAB (Pusat Reaktor Atom Bandung), ITB.
Pada tahun 1962 itu LTA (Lembaga Tenaga Atom) memperoleh laboratorium radiokimia untuk praktikum yang memakai perunut radioaktif (radioactive tracers) di UGM. Di lab yang berada di FIPA (Fakultas Ilmu Pasti-Alam) UGM ada Gamma Cell, yakni alat iradiasi dengan sinar gama, kobalt (Co-60) jadi sumbernya.
Di FIPA UGM juga ada ”rakitan bawah-genting (subcritical assembly), ”hadiah” dari PM Nikita Khrushchev (Uni Sovyet). Reaksi pembelahan (fisi) nuklir di rakitan itu—sesuai namanya—tidak dapat kritis (genting), artinya tidak dapat berjalan terus secara berkelanjutan meskipun bahan-bakar masih ada. Ini karena neutron yang membelah uranium dipasok sumber luar yang bisa dimasukkan dan dikeluarkan.
Sumber neutron itu ialah campuran polonium dan berylium (Po-Be). Po yang radioaktif memancarkan sinar alfa, dan inti atom helium itu bereaksi dengan Be, menghasilkan neutron dan karbon (C-12).
Reaktor di PRAB juga tidak dapat dipakai untuk membuat bom atom. TRIGA Mark II dirancang untuk pelatihan, penelitian, dan produksi isotop oleh perusahaan di Amerika, yaknik General Atomics.
Selanjutnya, laporan Kris Mada menyebutkan, ”Reaktor Triga Mark II di ITB tidak bisa memproduksi plunonium-239 untuk membuat bom atom”.
Baca juga : Patahnya Ambisi Nuklir Indonesia
Produk tak sengaja
Sebenarnya Pu-239 tidak sengaja diproduksi, tetapi terbiakkan, bisa terdapat dalam bahan-bakar bekas (spent fuel) reaktor di PRAB, tercampur dengan sibir-sibir belahan (fission fragments). Untuk membikin bom atom atau bom-A, plutonium harus dipisahkan dulu.
Meskipun pemisahan ”hanya” secara kimia, itu sulit dikerjakan karena sibir-sibir belahan itu sangat radioaktif. Pu-239 sendiri radiotoksisitasnya juga ”maut”.
Selain uranium, plutonium juga dapat dipakai membuat bom-A. ”Bang Gendut” (Fat Man) yang dipakai Amerika untuk menghancurkan Nagasaki (9 Agustus 1945) adalah bom-A berbahan-ledak Pu-239.
Bom A India, yang diuji coba dengan sukses di Rajahstan pada 1974, juga bom plutonium. India mengoperasikan reaktor jenis CANDU rancangan Kanada yang moderatornya air berat (D2O), dan dapat memakai uranium alam sebagai bahan bakarnya. Dari reaktor itu, plutoniumnya didapatkan.
Di awal dasawarsa 1960-an, Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) belum ada. Yang ada LTA (Lembaga Tenaga Atom), dipimpin seorang dirjen, Prof Dr Gerrit A Siwabessy. Tahun 1962, ketika LTA mengadakan pelatihan teknik radioisotop di kampus UI Salemba, dengan Dr Dahl [dari ORNL, (Oak) Ridge National Lab Amerika] sebagai penatarnya, Budi Sudarsono menjadi semacam ”tangan kanan” Siwabessy. Waktu itu ia sudah kembali dari MIT. Dr Dahl dibantu asistennya, teknikus nuklir Jerman, Lothar.
Namun, sampai muncul cerita Kris Mada, kita—setidak-tidaknya saya—ternyata tidak tahu bahwa Indonesia pada masa Orde Lama pernah berambisi membuat bom-A. Tulisan itu sejalan dengan wanti-wanti Bung Karno ”Jas Merah”. Bagus!
Memang, saya pada tahun 1963 atau 1964 (lupa) pernah diinterogasi di Pos Keamanan Ngupasan, waktu itu merupakan bagian dari KMKB/Garnisun Yogyakarta. Saya disangka ”membocorkan rahasia atom” gegara selama beberapa hari menemani tamu-tamu YMCA dari luar negeri.
Pada waktu itu di FIPA-UGM memang ada dosen-dosen asing yang hebat di bidang Fisika. Mereka semua dari Barat, kecuali Dr B Kracik dari Cekoslowakia.
Mereka, antara lain, adalah J Aharoni (Elektrodinamika dan Mekanika Kuantum, Yahudi yang baik hati dari Imperial College, London), Pritchard (Radiokimia dan Teknik Radioisotop), dan Niels Edlefsen (Instrumentasi Nuklir dari Berkeley, pernah menjadi asisten Ernest O Lawrence dan ikut membangun cychotron pertama di AS).
Yang dipelajari di FIPA UGM ialah nuklir sebagai sains, bukan teknologinya, apalagi teknologi alutsista! Itu pun elementer. Jadi, tuduhan membocorkan ”rahasia nuklir” itu konyol!
Asembli Subkritis di UGM tidak dapat kritis, sedangkan TRIGA Mark II di ITB bisa. Reaksi berantai pembelahan inti disebut kritis kalau neutron-neutron fisi yang muncul dari pembelahan satu inti plutonium atau uranium yang jumlahnya 2 atau 3, satu di antaranya berhasil membelah inti fisil berikutnya.
Reaksi superkritis
Kalau secara rata-rata setiap fisi diikuti lebih dari satu fisi lagi, reaksinya dikatakan superkritis. Laju reaksinya meningkat terus. Reaksi fisi nuklir dalam bom-A tentu saja superkritis, dengan angka kritikalitas besar (meskipun reratanya tidak lebih dari 2,6), sehingga jumlah inti yang dibelah meningkat secara eksponensial.
Untuk membayangkan betapa cepatnya peningkatan daya eksponensial itu, marilah kita hitung pada angka kritikalitas 2. Dari satu generasi fisi ke generasi berikutnya jumlah inti yang terbelah meningkat terus. Dari 1, menjadi 2, lalu 4, 8, dan seterusnya. Setiap 1 fisi melepas energi 198 MeV (dibulatkan menjadi 200 MeV).
Maka, setelah generasi ke-87 (jadi n = 87), jumlah energi yang dilepaskan ialah 200 MeVx (1,5 ´ 1026) atau sama dengan energi ledakan 1 megaton (sejuta ton) dinamit (TNT, trinitrotoluena). Ini 71 kali lebih dahsyat dari energi ledakan bom-A uranium Hiroshima (14 kiloton TNT).
Seluruh energi sebesar itu lepas dari 10 generasi terakhir (generasi ke-78 sampai dengan generasi ke-87). Karena satu generasi hanya makan waktu 10 ns (1 nanosekon = sepermiliar detik), ledakan bom-A berkekuatan 1 megaton itu terjadi dalam 100 ns, atau 0,1 mikrodetik. Lebih cepat dari kilat! (E Boeker, et al, Natuurkunde in de Samenleving, 1978).
Ambisi nuklir pada masa Orla itu sekarang terasa menggelikan. Namun, dulu, mungkin tidak sebab semua patriot waktu itu terbakar semangat maju terus pantang mundur.
L Wilardjo Fisikawan