Natal di tengah pandemi ini memang sunyi. Namun, Natal tahun ini memberi umat Kristiani kesempatan untuk merayakan Natal sejati: merayakan Natal dalam sunyi sambil mengasihi mereka yang menderita.
Oleh
DARWIN DARMAWAN
·4 menit baca
Natal 2021 menjadi Natal yang sepi. Pandemi Covid-19 belum mereda. Di beberapa negara, pandemi malah memasuki gelombang ketiga. Di seluruh wilayah Indonesia, pemerintah menetapkan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) level 3. Gereja yang biasa ramai dikunjungi umat kini sepi sebab jumlah yang hadir dalam ibadah Natal dibatasi.
Umat Kristiani perlu membatasi keinginan untuk merayakan Natal bersama keluarga besarnya. Sebagian dari mereka juga merayakan Natal dalam kesulitan ekonomi karena terdampak pandemi. Umat Kristiani yang terdampak letusan Gunung Semeru situasinya semakin pilu. Bersama dengan saudara-saudaranya yang lain, mereka hidup dalam kesulitan karena bencana.
Padahal, umat Kristiani meyakini, Natal adalah inkarnasi Tuhan sendiri. Kelahiran Yesus Kristus adalah bukti kalau Tuhan menyertai manusia. Di tengah situasi yang membuat Natal tidak bisa dirayakan seperti biasa, apa makna Natal yang bisa direfleksikan?
Situasi sulit dan sunyi
Natal merujuk pada peristiwa kelahiran Yesus Kristus. Narasinya sungguh dramatis. Malaikat membawa kabar yang mengejutkan kepada sepasang kekasih yang bertunangan, Yusuf dan Maria: Maria mengandung dan akan melahirkan. Kehamilan-Nya adalah karya ilahi. Maria hamil bukan karena persetubuhan manusiawi.
Kabar tersebut mengguncang Yusuf dan Maria. Sebab karena hal tersebut mereka terancam bahaya. Orang banyak bisa menganggap mereka berzinah. Hukumannya serius: dikucilkan atau bahkan dihakimi massa. Karena itu, mereka mengungsi. Mencari tempat aman untuk melahirkan Sang bayi ilahi.
Sayang, upaya Yusuf dan Maria mencari tempat untuk melahirkan bayi Yesus menemui jalan buntu. Tidak ada tempat yang tersedia untuk mereka. Kecuali sebuah tempat yang tidak layak untuk kelahiran manusia: tempat makan hewan atau palungan. Akhirnya, Yesus Kristus lahir dan ditempatkan di palungan. Ironis sekali, Tuhan yang berinkarnasi dalam rupa bayi lahir dalam situasi yang sangat sulit dan sunyi.
Kesulitan belum berakhir. Tidak lama setelah kelahiran Sang bayi ilahi, raja Herodes—karena takut dengan kelahiran-Nya—membuat maklumat yang keji: semua bayi yang berusia di bawah 2 tahun harus dibunuh. Akibatnya, Yusuf dan Maria mengungsi lebih jauh lagi. Mereka pergi ke Mesir, sampai situasi aman untuk kehidupan Sang bayi.
Natal sejati
Demi menyelamatkan kehidupan, Yusuf dan Maria bersedia melangkah di jalan sunyi, membatasi keinginan untuk bersukacita karena kelahiran Sang bayi dan mengungsi dalam jangka waktu yang lama agar terhindar dari tindakan Raja Herodes yang keji.
Hal yang menarik, dalam kesulitan, ketakutan, kondisi yang mengancam kehidupan, Sang bayi ilahi berkenan lahir di bumi. Ini makna Natal sesungguhnya: dalam kerapuhan manusiawi, Tuhan berinkarnasi. Natal menyampaikan pesan: Tuhan ada di tengah-tengah keterbatasan dan kerapuhan manusia. Jadi, seberat apa pun kondisi hidup, manusia tidak sendirian menjalaninya. Ada Tuhan yang beserta.
Natal menyampaikan pesan: Tuhan ada di tengah-tengah keterbatasan dan kerapuhan manusia.
Inkarnasi-Nya lalu mendatangkan sukacita. Dalam kitab suci Kristiani dinarasikan, saat kelahiran-Nya, para malaikat menggemakan pujian megah: ”Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya”. Dampaknya pun terasa oleh manusia. Yusuf, Maria, dan para gembala mengalami damai sejahtera. Kesulitan dan penderitaan mereka masih ada, tetapi penyertaan Tuhan memungkinkan mereka mengatasinya.
Di tengah pandemi, banyak orang yang hidupnya menjadi sulit dan tidak pasti. Mereka berada dalam uncharted territory, wilayah yang belum terpetakan. Mereka berjalan dalam kebimbangan saat menyongsong masa depan. Dalam kondisi sulit seperti itu, Natal bisa menjadi proklamasi kehadiran Tuhan yang memberikan pengharapan: ada masa depan, damai sejahtera, dan keselamatan bagi orang-orang yang berkenan kepada-Nya.
Natal Yesus Kristus menyentuh umat Kristiani karena inkarnasi terjadi di dalam dan melalui Yusuf dan Maria, dua pribadi yang mengalami hidup sulit dan sunyi. Karena yang ilahi berkenan hadir dalam keterbatasan manusiawi, penderitaan yang dijalani manusia menjadi punya arti. Dimaknai demikian, Natal menjawab kebutuhan terbesar manusia: cinta kasih dan pengharapan. Sesuatu yang sangat relevan dan dibutuhkan manusia, khususnya di tengah pandemi yang membuat banyak orang menderita dan putus asa.
Natal di tengah pandemi ini memang sunyi. Namun, Natal tahun ini memberi umat Kristiani kesempatan untuk merayakan Natal sejati: merayakan Natal dalam sunyi sambil mengasihi mereka yang menderita. Secara rohani, mereka yang menderita bisa dimaknai sebagai Tuhan Yesus yang sedang menyamar dalam penderitaan. Dengan mengasihi mereka yang hina dan menderita, umat Kristiani sedang me”lahir”kan Yesus Kristus di tengah kehidupan mereka.
Darwin Darmawan, Pendeta di Gereja Kristen Indonesia