Kita belum mampu melepaskan diri dari ketergantungan pada ekspor komoditas dan bertransformasi ke manufaktur bernilai tambah tinggi. Deindustrialisasi mengancam prospek jangka panjang pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Berlanjutnya pemulihan ekonomi dari dampak pandemi Covid-19 dan lonjakan harga komoditas di pasar global menyelamatkan ketahanan fiskal Indonesia di 2021.
Hingga akhir November 2021, pendapatan negara sudah mencapai 97,5 persen dari target Rp 1.743,6 triliun dan diyakini akan melebihi target pada akhir tahun. Semua pos penerimaan tumbuh positif dan diyakini juga akan melampaui target.
Penerimaan pajak, penerimaan bea cukai, dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) masing-masing sudah 88 persen, 108 persen, dan 128 persen dari target. Kinerja ekspor sendiri sangat impresif, mencatat rekor tertinggi pada Agustus dan terjadi surplus neraca dagang berturut-turut sejak Mei 2020.
Di satu sisi, ini kabar menggembirakan karena membawa kita keluar dari tekanan fiskal yang kita alami sejak pandemi. Namun, peringatan juga muncul untuk tak terlalu larut dalam euforia, terutama karena bonanza penerimaan kali ini lebih disumbangkan oleh tingginya harga komoditas.
Seiring peningkatan penerimaan negara, defisit APBN bisa ditekan dari 5,73 persen dari PDB pada Oktober 2021 menjadi 3,63 persen, dan kian melempangkan jalan bagi pemerintah menurunkan defisit menjadi di bawah 3 persen di 2023.
Ini juga mengurangi kebutuhan penerbitan surat utang baru untuk pembiayaan defisit. Ini berkah terselubung karena pada saat negara lain menghadapi berbagai tekanan akibat dampak pandemi, kita justru banjir devisa dari ekspor komoditas.
Dalam perjalanan ekonomi negara kita, konjungtur ekonomi sering dikendalikan oleh lonjakan atau anjloknya permintaan dan harga komoditas ekspor yang didominasi komoditas primer bernilai tambah rendah. Termasuk bonanza minyak awal 1980-an dan lonjakan harga komoditas saat ini.
Secara umum, ini gambaran dari kondisi kita yang belum mampu melepaskan diri dari ketergantungan pada ekspor komoditas dan bertransformasi ke manufaktur bernilai tambah tinggi. Pengalaman menunjukkan, ketergantungan berlebihan pada ekspor komoditas menjadi sumber kerentanan ekonomi dalam negeri.
Menurunnya kontribusi manufaktur, dari 24,7 persen terhadap PDB pada 2008 menjadi 19,9 persen pada 2018, dan pertumbuhan manufaktur yang rata-rata selalu di bawah pertumbuhan ekonomi nasional 10 tahun terakhir, memunculkan sinyalemen deindustrialisasi prematur.
Sumbangan ekspor terhadap PDB yang turun dari 40,98 persen (2000) menjadi 18,9 persen (2019) terutama juga akibat turunnya harga komoditas. Pada Oktober 2021, ekspor pertambangan naik 190 persen, terutama dipicu melonjaknya permintaan batubara akibat krisis energi global. Batubara menyumbang 70,33 persen ekspor pertambangan. Ekspor pertambangan sendiri menyumbang 18,3 persen total ekspor.
Ke depan, dengan adanya komitmen dunia untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dalam kaitan perubahan iklim, kita tak akan bisa lagi mengandalkan ekspor batubara.
Berbagai kajian sudah mengingatkan bahaya Dutch desease atau ketergantungan berlebihan pada SDA sebagai paradoks keunggulan komparatif yang menggerogoti daya saing jangka panjang. UNCTAD 2019 menyebutkan, 10 tahun terakhir kontribusi Indonesia dalam rantai pasok global cenderung terus menurun. Deindustrialisasi yang terjadi mengancam prospek jangka panjang pertumbuhan ekonomi, dan memerangkap Indonesia dalam jebakan negara berpendapatan menengah.