Kereta cepat Jakarta-Bandung, sebagai pengalaman pertama (”unprecendented project”), perlu dikawal dengan cermat dan baik untuk meminimalkan berbagai konsekuensi yang tak diharapkan.
Oleh
SUTANTO SUHODHO
·5 menit baca
Di kawasan Eropa, Perancis sejak 1966 mengoperasikan kereta cepat (TGV)-nya sebagai kereta antar kota (inter-city-train). Langkah Perancis ini juga diikuti beberapa negara Eropa Barat lainnya, seperti Jerman, Italia, Spanyol, bahkan Eurostar yang menghubungkan Inggris, Perancis, Belgia, dan Belanda sejak 1994.
Jepang tahun 1964 telah memulai bullet-train (Shikansen)-nya, menghubungkan Tokyo dengan beberapa kota lain di kepulauan Honshu, seperti Yokohama, Osaka, Kyoto dan terus berkembang menghubungkan pulau-pulau lain, seperti Hokkaido, Shikoku, dan Kyushu.
Cerita Shinkansen Jepang berhasil memengaruhi negara-negara tetangganya, seperti Korea Selatan dan Taiwan, untuk juga turut membangun. Pengaruh ini terus menjalar dengan dimulainya pembangunan kereta serupa di India, dan juga beberapa negara Asia Tenggara, seperti Thailand dan Singapura, yang juga sudah memulai perencanaannya termasuk konektivitas kedua negara itu.
Dengan langkah yang sangat agresif dan bahkan dengan panjang rel yang melampaui semua negara pendahulunya, China yang memulai perencanaannya tahun 1990-an dan operasi pertama Beijing-Shanghai tahun 2008 saat ini sudah memiliki 37.900 kilometer panjang rel kereta cepat.
Turut dalam tren dunia ini, Indonesia saat ini dalam tahap penyelesaian pembangunan kereta cepat yang menghubungkan Jakarta-Bandung.
Ekonomi spasial dan kereta cepat
Sistem transportasi merupakan penghubung berbagai sumber daya, baik manusia maupun sumber daya lainnya dalam pertumbuhan ekonomi—backbone of economy. Situasi dan kondisi surplus/defisit di berbagai titik spasial menjadi hidup dan berkembang berkat sistem transportasi dalam lingkup jaringan supply-demand.
Berbagai moda transportasi tersedia dalam pemenuhan sistem jaringan ekonomi tersebut dan salah satunya adalah sistem kereta yang berbasis jalan baja/rel. Pada mulanya moda kereta adalah bentuk pilihan untuk pergerakan manusia dan barang/logistik berjarak sedang dan menengah jauh. Trans-Siberia Railway memiliki panjang rel lebih dari 9.000 km, menghubungkan China dan Rusia.
Dalam konteks perjalanan barang, moda rel dapat mencapai ribuan km, namun hal tersebut tak nyaman untuk perjalanan manusia sehingga kemudian moda transportasi udara jadi pilihan untuk jarak tempuh hingga ribuan kilometer.
Kenapa memilih kereta cepat untuk jarak tempuh yang ratusan, bahkan ribuan kilometer? Teknologi kereta yang begitu maju telah dapat mengatasi masalah kecepatan, bahkan teknologi magnet levitation (maglev) menawarkan kecepatan hingga lebih dari 500 km/jam meskipun belum menjadi kecepatan kendaraan komersial.
Saat ini rata-rata kecepatan kereta-cepat secara komersial adalah 200-350 km/jam, bahkan China telah melepas kecepatan tersebut hingga 380 km/jam. Lantas apa korelasinya dengan ekonomi spasial?
Penumpang, sebagai pelaku ekonomi yang beragam tujuan perjalanannya, dapat berpindah tempat dalam waktu singkat, yang artinya mereka dapat menghemat nilai waktu mereka. Karena itu, dapat dibayangkan dengan kehadiran kereta cepat seolah terjadi penyusutan ruang akibat dari singkatnya waktu perjalanan penumpang.
Karena itu, dapat dibayangkan dengan kehadiran kereta cepat seolah terjadi penyusutan ruang akibat dari singkatnya waktu perjalanan penumpang.
Lebih menarik lagi kereta cepat memberi opsi lebih unggul daripada moda transportasi udara karena dapat langsung menusuk jantung kota yang biasanya menjadi asal atau tujuan akhir perjalanan, sementara moda transportasi udara membawa penumpang ke bandara yang biasanya memiliki jarak cukup jauh dari jantung kota.
Dengan opsi seolah lebih door-to-door service, serta total waktu perjalanan yang tentu bisa lebih cepat karena tak perlu menghabiskan waktu tempuh dari bandara ke jantung kota, kereta cepat jadi sangat kompetitif terhadap moda transportasi udara.
Opsi lain yang lebih makroskopik adalah ”mendaratnya” lintasan perjalanan transportasi udara. Jika kita bayangkan kita melakukan perjalanan jarak jauh Jakarta-Surabaya, kita hanya dihadapkan pada dua titik temu, yaitu bandara di Jakarta dan Surabaya, selebihnya hanya ada trajektori/lintasan udara perjalanan pesawat.
Dengan demikian, secara spasial hanya Jakarta dan Surabaya yang menikmati dampak langsung pertumbuhan ekonomi dari transportasi ini. Di sisi lain, kereta cepat mampu ”mendaratkan” lintasan itu dan melipat-gandakan pertumbuhan ekonomi yang terjadi di sepanjang jalur kereta yang melalui beberapa kota, seperti Jakarta, Cirebon, Semarang, dan seterusnya sampai Surabaya.
Untuk mempertahankan kecepatan tinggi dengan aman dibutuhkan safety issues yang sangat ketat sehingga teknologi kereta cepat memiliki konsekuensi biaya investasi pembangunan, operasi, dan perawatan yang sangat tinggi, dan jelas bukan merupakan kereta kelas ekonomi jika berbicara tiket yang harus dibayar.
Karena itu, perhitungan sebatas kepentingan korporasi, seperti FIRR (financial internal rate of return), tak akan mampu menjawab kelayakan dalam memilih kereta cepat. Pilihan ini menjadi lebih rasional apabila menekankan nilai ekonomi spasial di atas, atau dengan kata lain nilai EIRR (economic internal rate of return) lebih merupakan penentu dari pilihan.
Dengan demikian, pilihan atas kereta cepat akan menjadi lebih bijak apabila menghadirkan kepentingan pemerintah dan menyertakannya dalam rencana induk pembangunan transportasi nasional. Kereta cepat, sebagai moda transportasi, tidak dapat berdiri sendiri untuk mencapai nilai keekonomiannya, tetapi harus menjadi bagian dari total sistem transportasi yang terintegrasi secara moda dan jaringan—seamless transportation.
Lebih jauh sistem transportasi ini harus selalu disandingkan dengan teknologi informasi dan komunikasi (ICT (information and communication technology). Dengan perkembangan ICT, yang juga diperkuat dengan pengalaman pandemi Covid-19, banyak perjalanan manusia (person trip) yang tereduksi, kecuali perjalanan barang (physical distribution).
Dengan demikian, seyogianya relevansi pilihan atas moda kereta cepat, yang tak murah ini, juga memperhitungkan aspek tereduksinya perjalanan manusia yang tergantikan oleh aktivitas berbasis ICT. Kereta cepat Jakarta-Bandung, sebagai pengalaman pertama (unprecendented project), perlu dikawal dengan cermat dan baik untuk meminimalkan berbagai konsekuensi yang tak diharapkan (unattended consequences).
Sutanto SoehodhoGuru Besar Bidang Transportasi UI; Invited Member of International Highspeed Rail Association (IHRA)