Kurikulum paradigma baru hanya akan baru jika skemanya penuh dengan kemerdekaan sekolah untuk mendesain sistem pembelajaran di sekolah masing-masing.
Oleh
RIDUAN SITUMORANG
·5 menit baca
Guru seperti punya fobia sendiri pada kehadiran program baru, apalagi kalau perubahan itu mendasar dan menyangkut kurikulum. Sebaliknya, pemerintah seperti punya keasyikan sendiri pula: membuat kurikulum tanpa melihat langsung ke lapangan. Maka, selama ini, kebijakan pendidikan kita cenderung elitis dan beraroma menara gading. Pasalnya, perancang kurikulum sering kali hanya melibatkan ilmuwan dari perguruan tinggi dan sangat jarang melibatkan guru. Tak pelak lagi, guru seperti mempraktikkan teori yang asing dari para akademisi perguruan tinggi.
Tahun ini, guru mulai disusupi fobia lama: peluncuran kurikulum bertajuk paradigma baru. Walau begitu, sebagai guru, saya cukup antusias dengan rencana peluncuran kurikulum baru ini. Alasan-alasan rasional dapat dimunculkan. Namun, ada tiga catatan kritis untuk kurikulum paradigma baru ini. Pertama, menyangkut jam belajar yang menjadi hak guru. Sebagaimana diketahui, tanpa jam belajar minimal (24), guru tak akan mendapatkan tunjangan sertifikasi. Padahal, kurikulum baru memberikan peluang pola pembelajaran sistem SKS.
Teknisnya, satu mata pelajaran bisa saja hanya dimunculkan pada semester genap dan dihilangkan di semester ganjil. Meski hal ini bisa diatasi dengan berbagai teknis lain, pemenuhan syarat jam belajar ini akan punya kerumitan tersendiri. Karena itu, harus ada peneguhan dari pemerintah agar sekolah tak ragu untuk berkreasi mengembangkan pola pembelajaran, terutama dengan menggunakan sistem kredit. Bagaimanapun, jika pemerintah ragu untuk memberikan kemudahan, sekolah pun akan lebih ragu pula dalam memodifikasi penjabaran jam pelajarannya.
Sudah pasti sekolah tradisional akan lebih memilih jalan aman dan pasti daripada jalan kreatif, tetapi penuh dengan ketidakpastian. Catatan lain adalah terkait nomenklatur capaian belajar. Nomenklatur ini perlu ditajamkan. Pemerintah memang sudah menyebut bahwa capaian belajar merupakan pengembangan (atau pergantian?) dari istilah kompetensi inti dan kompetensi dasar. Namun, sekilas, istilah capaian belajar ini sebenarnya sama saja dengan kompetensi inti dan kompetensi dasar. Dalam hal ini, kiranya perlu penajaman mendetail agar guru tidak menganggap keduanya sama saja.
Seperti diketahui bersama, kurikulum tidak hanya menyangkut pembelajaran, tetapi juga menyangkut karakter. Terkait pembelajaran, kurikulum baru sudah menyebut bahwa hasil pembelajaran harus di atas rata-rata. Sayang, definisi hasil belajar di atas rata-rata ini juga masih sangat spekulatif. Apakah maksudnya di atas rata-rata berarti bahwa sekolah penerima kurikulum baru harus mempunyai nilai rapor atau ijazah yang lebih tinggi daripada sekolah lain? Jika demikian maksudnya, berarti secara langsung kita justru mengawetkan dikotomi sekolah favorit dan sekolah pinggiran.
Karena itu, definisi hasil belajar di atas rata-rata mesti dibuat lebih operasional lagi. Jika boleh memberikan saran, sebaiknya definisi hasil belajar di atas rata-rata diperoleh dengan membandingkan pada lulusan tahun sebelumnya, bukan sekolah lainnya. Sementara terkait pembibitan karakter, kurikulum baru juga sudah menyebutkan bahwa lingkungan belajar harus aman, nyaman, inklusif-menyenangkan. Namun, kelihatan Kemendikbudristek terlalu meringkas bahwa persoalan lingkungan belajar adalah semata tentang perundungan.
Adalah fakta bahwa begitu banyak masalah yang justru jauh lebih urgen. Sudah bukan rahasia lagi bahwa berkali-kali, kasus intoleransi sangat awet di sekolah. Kewajiban memakai jilbab bagi non-Muslim hanya kasus kecil. Dalam hal ini, untuk mewujudkan profil pelajar Pancasila yang berkebinekaan global, kurikulum harus dipertajam supaya guru-guru dapat mengaplikasikannya pada setiap pembelajaran untuk mempersiapkan siswa yang fasih dalam berkebinekaan. Guru harus dituntun agar mereka tidak sebatas menyampaikan materi belajar.
Catatan terakhir adalah tentang kolaborasi antarmata pelajaran dalam membuat proyek. Kolaborasi adalah hal yang baik, apalagi sudah lintas mata pelajaran. Berbagai studi sudah meneguhkan pentingnya kolaborasi dan inilah yang menjadi semangat The Global Education and Skills Forum 2016. Fadel, Bialik, dan Trilling dalam buku mereka, Four Dimensional Education: The Competencies Learner Need to Succeed (2015), bahkan menyatakan bahwa kolaborasi yang melibatkan orang-orang beragam latar belakang, kecakapan, dan perspektif akan semakin dibutuhkan untuk dunia yang semakin kompleks.
Persoalannya, sejauh ini, efektivitas komunitas serumpun saja melalui musyawarah guru mata pelajaran (MGMP) belum berjalan dengan baik. Komunitas MGMP justru semacam zombie. Karena itu, perlu uraian penting tentang kolaborasi ini. Sekali lagi, soal kolaborasi antarmata pelajaran adalah hal penting demi mencapai Profil Pelajar Pancasila. Bahkan, kolaborasi itu harus dikembangkan untuk tidak lagi terbatas sesama guru, tetapi juga bersama tim kreatif di luar sekolah. Sebab, ada banyak tim kreatif di luar sekolah yang bisa diajak berkolaborasi, seperti pembuat konten atau seniman.
Soal bagaimana sekolah itu akan mencapainya biarlah menjadi ladang kreativitas sekolah sebagai bukti kecil dari kemerdekaan belajar.
Tak bisa ditawar
Dalam hal ini, kemerdekaan harus diberikan kepada sekolah agar mereka bebas untuk berinovasi. Lagi pula, kurikulum baru dibuat dengan nama yang unik: kurikulum paradigma baru. Namun, kurikulum ini hanya akan baru jika skemanya penuh dengan kemerdekaan sekolah untuk mendesain sistem pembelajaran di sekolah masing-masing. Tentu saja maksudnya bukan agar sekolah bebas begitu saja dari negara. Peran negara harus tetap ada. Namun, negara hanya perlu menggariskan capaian minimal yang harus diraih.
Soal bagaimana sekolah itu akan mencapainya biarlah menjadi ladang kreativitas sekolah sebagai bukti kecil dari kemerdekaan belajar. Sebab, sadar atau tidak, sesungguhnya kita sudah sangat terlambat dalam menerapkan kemerdekaan belajar-mengajar melalui imperasi dari kurikulum. Padahal, di hulu sejarah negara ini, Ki Hadjar Dewantara sudah meneguhkan pentingnya kemerdekaan belajar. Pasalnya, dengan adanya kemerdekaan dalam belajar, akan lahirlah tidak hanya keunggulan, tetapi juga kesadaran dari siswa.
Sebab, kata Ki Hadjar Dewantara, merdeka itu artinya tidak hanya terlepas dari perintah. Merdeka juga berarti harus cakap dalam memerintah diri sendiri. Di mana ada kemerdekaan, di situlah harus ada disiplin yang kuat, demikian kata Ki Hadjar Dewantara. Karena itu, sudah saatnya kita memberikan kemerdekaan kepada setiap sekolah untuk memerintah dirinya sendiri sebagai bekal utama untuk mencapai mimpi merdeka belajar. Sebab, inilah menurut saya paradigma kurikulum baru yang tak bisa ditawar, yaitu kemandirian dan kedisiplinan dalam mengatur diri sendiri. Semoga!
Riduan Situmorang,Guru Bahasa Indonesia SMAN 1 Doloksanggul-Humbang Hasundutan, Instruktur Sastra Digital Tingkat Nasional, Aktif Berkesenian di Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) Medan dan Toba Writers Forum (TWF).