Merawat Bangsa, Menggali Kisah Perempuan
Seperti Melinda Gates di awal tulisan ini, perempuan dalam berita kerap berada dalam derita. Tetapi, justru dalam penderitaan itu, perempuan semakin ditempa dan menjadi digdaya.
Melinda dan Bill Gates cerai. Berita ini sempat heboh setengah tahun yang lalu sebelum tertimbun berita lain yang lebih menggemparkan. Menariknya, berita perceraian pasangan selebritas terkaya ini kurang berimbang. Melinda diberitakan akan jadi janda terkaya sejagat, sementara kabar perselingkuhan Bill Gates berlalu begitu saja.
Media tidak mengulik perilaku Bill Gates. Media juga tidak berempati kepada Melinda dan anak-anak yang terdampak oleh perceraian ini. Ini satu contoh saja tentang berita dan derita perempuan dalam dunia yang abai kesetaraan jender.
Narasi tentang dan bagaimana perempuan dinarasikan seharusnya menarik. Namun, kisah-kisah itu kerap terpelanting dalam perjalanan sehingga terlupakan. Sumbangan dan bakti perempuan terhadap bangsa sering diabaikan. Tercatat hanya 15 perempuan dari 185 pahlawan nasional Indonesia.
Sastrawan Eka Budianta mempertanyakan apakah perempuan sulit tampil sebagai pengarang walau ibulah yang biasanya mendongeng untuk anak-anaknya sebelum tidur. Komentar ini disampaikan pada 22 Desember 2 tahun yang silam dalam buku yang dipersembahkan kepada penyair Diah Hadaning yang wafat tak lama setelah itu pada usia 80 tahun.
Untuk menepis anggapan bahwa perempuan hanya berperan sebagai penghantar manusia ke dunia, tokoh Kartini harus disebutkan. Sungguh menyedihkan, setelah mengantar bayinya, Kartini tiada dan kisah tentangnya sebagian besar ikut terkubur.
Menurut Pramoedya Ananta Toer, sastra menjadi kekuatan bagi mereka yang tidak mempunyai kekuasaan seperti yang dialami oleh Kartini.
Menurut Pramoedya Ananta Toer, sastra menjadi kekuatan bagi mereka yang tidak mempunyai kekuasaan seperti yang dialami oleh Kartini. Dalam kata pengantar Panggil Aku Kartini Saja, Nyonya Subandrio menyebutkan bahwa kebangsawanan Kartini tidak menghalangi kecintaannya kepada rakyat kecil, ”Tujuan adalah Rakyat”. Jiwa demokratis Kartini mendasari pandangannya terhadap beragam persoalan sosio-ekonomik dan politik.
Sebagai anak bangsawan, ia berempati kepada rakyat jelata yang bodoh dan bakal dibodohi selamanya. Pembacaan kritis atas sastra adiluhung tradisional Jawa mencelikkan mata Kartini. Ia melihat jurang antara masyarakat lapisan atas dan bawah. Kartini membenci ketimpangan hubungan ini. Pram, meminjam istilah Sukarno dalam buku Indonesia Menggugat, menyebut relasi kekuasaan ini ”feodalisme yang penyakitan”.
Melalui buku-buku dan diskusi dengan orang-orang terpelajar, termasuk ayah dan pamannya Kartini mengetahui penderitaan rakyat. Pelbagai interpretasi dan apropriasi terus diperlukan untuk memperkaya alur sejarah tentang kiprah Kartini. Kita perlu membaca dengan teliti kisah Kartini ketika berbicara tentang kebebasan beragama, termasuk ketika ia melawan kanker bernama kolonialisme dan penyakit bawaan lainnya, yakni feodalisme Jawa yang tak kuasa dilawannya.
Baca juga : Sejarah Pemikiran dan Tokoh Perempuan Indonesia Terus Digali
Tidak seperti zaman Kartini, dunia kita sekarang membuka kesempatan untuk perempuan yang benar-benar berhasrat memerdekakan perempuan lain sekaligus masyarakat luas yang tidak punya kekuatan.
Adalah Aleta Baun yang memperjuangkan hak-hak adat Mollo yang dilanggar oleh pertambangan marmer di Gunung Mutis, Timor, Nusa Tenggara Timur. Sejak kecil dididik untuk cinta lingkungan, Aleta menjadi pelopor gerakan melawan perusahaan tambang. Ia mendapat ancaman pembunuhan berkali-kali dan harus bersembunyi di tengah hutan bersama bayinya.
Dua puluh tahun yang lalu, Aleta Bersama 150 perempuan menduduki bebatuan marmer selama setahun. Baru pada 2010 usaha Aleta berbuah manis. Ia berhasil memaksa perusahaan menghentikan operasinya di wilayah adat Mollo. Aleta pun mengantongi penghargaan atas usahanya. Ia menambah prestasi internasional Indonesia di bidang penyelamatan lingkungan, mengikuti jejak Ibu HAM Indonesia, Yosepha Alomang, pemimpin gerakan rakyat Papua yang menggugat operasi tambang emas terbesar dunia.
Seperti di NTT, ada kisah kiprah ekologis perempuan di Halmahera Utara. Kehadiran perusahaan tambang timah di hampir 70 persen wilayah Maluku Utara berpotensi merusak lingkungan, meningkatkan konflik, dan memperburuk kondisi sosial ekonomi masyarakat yang terdampak. Industri ekstraktif mencengkeram Maluku Utara dan kekayaan alamnya. Menurut catatan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), lebih dari 2 juta hektar menjadi pertambangan dengan 335 izin.
Kekayaan alam, seperti emas, nikel, pasir besi, dan batubara, tereksploitasi secara ”berizin”, di samping penambangan timah ilegal hasil main mata antara petambang dan aparat pemerintah. Tambang tandingan ini makin memperburuk lingkungan. Alam terus-menerus digangsir, sementara penduduk dibiarkan pasif, dijauhkan dari akses pendidikan dengan iming-iming uang dan prospek menjadi pekerja tambang.
Bergelar Sangaji Pagu, Afrida Erna Ngato adalah Kepala Suku Pagu, Halmahera Utara. Perempuan pertama di Indonesia yang menjadi kepala suku ini memperjuangkan wilayah adat dan kebudayaan suku Pagu yang terancam punah akibat konflik lahan dan gejala sosial lainnya. Ia terbuka untuk bekerja sama dengan siapa saja yang berkomitmen merawat alam, budaya, dan bahasa Pagu. Bahasa yang dipakai oleh suku Pagu yang berjumlah sekitar 5.200 jiwa ini hampir punah.
Suku Pagu bermukim di 13 desa, tersebar di 5 kecamatan dengan suku, budaya, dan bahasa yang berbeda-beda. Sebuah bahasa akan punah apabila penuturnya makin berkurang. Pandemi tidak memungkinkan peneliti bahasa Pagu melakukan perjalanan ke Maluku Utara. Ida Ngato, lewat sambungan telepon, bersedia membantu para peneliti. Sejumlah artikel ilmiah tentang struktur dalam peribahasa Pagu, cerita rakyat Pagu, dan lagu-lagu rakyat Pagu telah terbit di tengah keterbatasan (Perangin-Angin dan Dewi, 2020).
Perempuan-perempuan yang berjuang ini mengingatkan kita pada tokoh Sulastri dalam Manusia Bebas karya Soewarsih Djojopuspito. Buku ini mengisahkan perempuan yang ingin memerdekakan diri dari patriarkat dan kolonialisme. Sulastri ingin menjadi penulis sekaligus pendukung pergerakan nasional. Sulastri dan suaminya adalah ”proletar-proletar intelektual”.
Buku ini membabar gagasan cerdas dan bernas tokoh-tokohnya—”the New Woman”. Istilah The ”New Woman” muncul tahun 1920-an untuk menunjuk pada manusia yang kontradiktif. Perempuan yang semula pasif dan subordinat akhirnya berubah. Lahirlah prototipe perempuan pahlawan realisme sosial yang memiliki beban ganda pekerjaan publik dan keluarga, seperti tokoh Sulastri.
Baca juga : Perjuangan Kartini Melintas Batas Identitas
Di sini ada referensi pada tokoh perempuan bernama Dasha. Dasha adalah istri Gleb, tokoh utama dalam sebuah novel berjudul Cement karya Gladkov yang berlatar pascaperang saudara Rusia pada 1921. Gladkov lewat tokoh Dasha melukiskan kemandirian perempuan Rusia selama perang. Dasha mengaku kepada suaminya bahwa dia berselingkuh dan tidak menyesal karenanya. Dia terbebas dari kewajiban melayani atau tetap setia kepada Gleb.
Revolusi telah mengajari Dasha untuk mengandalkan dirinya sendiri dan juga berdiri sejajar dengan laki-laki. Kemandirian dan tekad Dasha terlihat dalam kisah-kisah perempuan Indonesia di atas yang berjuang atas nama demokrasi dan kemanusiaan.
Akhirnya, ”Demokrasi terlalu berisiko untuk diserahkan kepada politisi,” kata Elizabeth Evans May, aktivis lingkungan yang pernah menjabat Pemimpin Partai Hijau Kanada. Majalah Newsweek edisi November 2010 pernah menobatkannya menjadi salah satu perempuan yang berpengaruh di dunia. Karena kebetulan perempuan, ia kadang menerima perundungan mulai dari pandangannya tentang aborsi sampai polemik tentang bahaya Wi-Fi bagi anak-anak karena berpotensi menyebabkan kanker. May dituduh menyebarkan pseudoscience.
Seperti Melinda Gates di awal tulisan ini, perempuan dalam berita kerap berada dalam derita. Tetapi, justru dalam penderitaan itu, perempuan semakin ditempa dan menjadi digdaya.
Novita Dewi Guru Besar Universitas Sanata Dharma