Laki-laki dan Kekerasan Seksual
Kita menundukkan kepala mengenang para korban kekejian ini, tetapi kita harus bangun dari tidur bahwa masalah kekerasan seksual sudah akut dan kita tak boleh lagi menoleransi korban-korban yang akan terus berjatuhan.
Dalam dua bulan terakhir ini kita mendengar banyak sekali terjadi kasus kekerasan seksual yang terjadi, baik di lingkungan kampus, lingkungan keagamaan, menyangkut oknum dalam kampus, oknum kepolisian, maupun oknum agamawan. Sebagian besar kasus kekerasan seksual ini menjadikan perempuan sebagai korbannya. Lelaki banyak dituding menjadi pelaku kekerasan seksual. Apakah tidak mungkin membuat lelaki tidak menjadi pelaku kekerasan seksual atau minimal mengurangi jumlah pelaku kekerasan tersebut?
Lelaki sebagai korban kekerasan seksual
Walaupun jumlahnya kecil, lelaki pun bisa menjadi korban kekerasan seksual ataupun bully yang dilakukan oleh sesama lelaki. Kasus yang terjadi di lingkungan Komisi Penyiaran Indonesia menunjukkan ada kekerasan yang terjadi di antara anggota staf terhadap sesama anggota staf, dan di dalamnya juga ada aroma kekerasan seksual. Mungkin juga terjadi kasus lain yang lebih kurang sama, tetapi tentunya jumlah ini sangat kalah jumlahnya dengan kekerasan yang terjadi pada perempuan. Namun, ini bukan suatu perlombaan siapa yang paling jadi korban.
Hal ini disampaikan bukan untuk menjadi suatu apologi, tetapi memang harus diakui kekerasan seksual bisa terjadi, baik kepada perempuan maupun laki-laki. Namun, mungkin yang lebih penting diperbincangkan adalah bagaimana untuk tidak membuat laki-laki tidak lagi menjadi pelaku kekerasan seksual?
Indonesia secara budaya memang masih merupakan dunia yang patriarki.
Dunia patriarki
Indonesia secara budaya memang masih merupakan dunia yang patriarki. Budaya di Indonesia sangatlah keras terhadap perempuan. Banyak institusi, pranata, hendak menempatkan perempuan di bawah pijakannya untuk menjadi semacam penaklukan. Perempuan dikekang di rumah, hanya berkutat pada masalah domestik, perempuan maju dianggap aneh, dipersoalkan pilihannya ketimbang hidup keluarga, agama dan budaya menempatkan perempuan dalam situasi yang tidak menguntungkan, dan lain-lain.
Banyak aturan hukum yang juga bias terhadap perempuan, mulai dari urusan yang terkait dengan soal penggajian (karena gaji perempuan dianggap pelengkap dari nafkah utama yang didapat suami), asuransi, kasus pidana (kasus pemerkosaan ketika dilaporkan harus ada saksi!), dan lain-lain. Lihat saja RUU Penghapusan Kekerasan Seksual diganjal di sana-sini oleh anggota Parlemen, seolah menafikan semakin banyak korban yang kemudian muncul ke permukaan untuk menguakkan kebohongan setinggi gunung es selama ini.
Media sosial yang ada pun menjadi salah satu sarana dominasi patriarki semakin menjadi. Perempuan yang mencoba kritis, menyodorkan pemikiran yang berbeda, mengangkat kisah korban, dimaki-maki dengan umpatan yang paling kasar sekali pun. Julukan-julukan yang seksis mudah sekali terlompat atau tercuat dalam komentar media sosial, seolah kata-kata tersebut adalah hal yang normal untuk disampaikan dalam pembicaraan sehari-hari.
Baca juga : Ironi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual
Respek
Salah satu gambar yang ditemukan di media sosial menunjukkan pesan yang amat kuat: ”Educate your son”, didiklah anak lelakimu…. Gambar ini muncul sebagai perlawanan dari kasus-kasus kekerasan seksual yang kerap menyasar perempuan. Salah satu kontribusi yang dapat dilakukan oleh orangtua untuk mengikis kekerasan seksual adalah dengan mengajarkan kepada anak-anak lelaki agar menghargai perempuan sejak masih muda.
Perempuan pertama yang ditemui lelaki adalah ibunya sendiri. Perempuan kedua mungkin adalah saudara perempuannya. Dengan mengajarkan hormat kepada perempuan sejak muda, ini bisa menjadi dasar penghormatan yang terus dilakukan kepada perempuan mana pun.
Semakin dewasa seorang lelaki, ia akan menemui semakin banyak perempuan, baik sebagai guru, teman sekolah, teman kuliah, teman di tempat kerja, dan lain-lain. Menghargai perempuan juga akan bagus jika memang dalam proses pendidikan hal ini secara eksplisit disampaikan oleh para guru di sekolah.
Makin sering kita melihat bahwa secara akademis perempuan lebih menonjol daripada yang lelaki karena ketekunan, kesabaran, keuletan, dan lain-lain. Perempuan harus dipacu untuk semakin maju karena penulis percaya perempuan yang makin maju akan membuat peradaban juga jadi lebih maju.
Oleh karena itu, respek harus ditunjukkan oleh para lelaki kepada rekan perempuannya. Perempuan yang maju berkembang atas dasar pilihannya harus dihormati. Jika pun perempuan lebih memilih berkarya daripada berkeluarga, itu pun pilihan yang harus dihormati. Mendomestifikasi perempuan adalah kemunduran.
Dalam banyak hal—misalnya dalam soal hidup berkeluarga—komitmen antara lelaki dan perempuan bisa dibangun. Hal soal pendidikan anak, mengasuh anak, menemani anak, dan lain-lain adalah kesepakatan-kesepakatan yang bisa dirumuskan, direncanakan, oleh setiap pasangan.
Prestasi yang diraih oleh perempuan harus diapresiasi oleh lelaki dan prestasi ini patut dilihat bukan sebagai bentuk persaingan, melainkan kontribusi yang lebih besar bagi dunia ataupun lingkungan sekitarnya. Kita di Indonesia pun bangga kita pernah memiliki presiden perempuan, lalu sejumlah menteri perempuan yang menjadi menteri-menteri andalan pemerintah, belum lagi mereka yang berkarya di dunia usaha, pendidikan, lingkungan hidup, dan lain-lain.
Relasi kuasa sering ditunjuk menjadi salah satu kondisi kekerasan seksual terjadi dan itu berarti lelaki sering memanfaatkan kedudukannya untuk menjadi alat penekan kepada perempuan yang ada di lingkungan sekitarnya. Kita harus membuat relasi kuasa ini jadi lebih seimbang, dengan memberi tempat kepada perempuan untuk menduduki posisi-posisi pengambil kebijakan, dan juga adanya suatu aturan ketat yang mengatur soal kekerasan seksual di berbagai bidang ini.
Namun, dalam arti harfiah, kekerasan seksual bisa membuat potensi perempuan pun jadi mati ataupun redup.
Kekerasan seksual mematikan
Mati di sini bisa dalam arti harfiah ataupun arti metafora. Kita membaca kisah seorang pacar dari oknum polisi yang akhirnya memutuskan bunuh diri setelah melalui penderitaan yang luar biasa. Namun, dalam arti harfiah, kekerasan seksual bisa membuat potensi perempuan pun jadi mati ataupun redup.
Dalam arti ini, pelaku kekerasan seksual telah melakukan pembunuhan pada korban tersebut, dan semakin meningkatnya kekerasan seksual yang terjadi, baik dalam lingkungan pendidikan, lingkungan agama, maupun lain-lain, telah membuat potensi bangsa jadi terancam akibat pembunuhan-pembunuhan ini. Harus ada langkah tegas menghindari pembunuhan-pembunuhan terhadap korban dan juga potensi bangsa ke depan.
Oleh karena itu, menurut penulis, banyak sektor harus memeriksa kembali seberapa bias jender terjadi di lingkungannya, tumbuhkan budaya menghormati perempuan, memberikan kesetaraan hingga menghindari laku patriarki dalam banyak sektor kehidupan.
Pendidikan formal perlu mengajarkan masalah ini dengan serius agar kekerasan seksual bisa dihindari, pemberian pengamanan terhadap korban serta upaya pemulihan harus diupayakan, pemberian sanksi berat terhadap pelaku kekerasan seksual harus dilakukan untuk memberi efek jera, baik kepada pelaku maupun pihak-pihak yang berpotensi menjadi pelaku ke depan.
Lelaki bisa sangat berperan untuk mengurangi, bahkan menghilangkan, kekerasan seksual tersebut. Dan, banyak lelaki harus dididik untuk semakin menghargai perempuan dan tak melihat perempuan semata sebagai obyek seks belaka.
Kita menundukkan kepala mengenang para korban-korban kekejian ini. Namun, kita harus bangun dari tidur bahwa masalah kekerasan seksual sudah akut dan kita tak boleh lagi menoleransi korban-korban yang akan terus berjatuhan. Kita berharap pemerintah dan aparatnya serius menangani kasus-kasus yang telah terjadi. Kita tidak sedang baik-baik saja.
Ignatius Haryanto, Pengajar Jurnalistik di Universitas Multimedia Nusantara, Serpong