Habitus Demokrasi
Tanggal 21 Mei 1998 menjadi penanda Indonesia memasuki sistem demokrasi. Menjelang 24 tahun perjalanan demokrasi Indonesia itu, apakah habitus demokrasi sudah terbentuk?
Tanggal 21 Mei 1998 menjadi penanda Indonesia memasuki sistem demokrasi. Menjelang 24 tahun perjalanan demokrasi Indonesia itu, apakah habitus demokrasi sudah terbentuk?
Sistem demokrasi bisa kita sederhanakan dalam tiga arena yang saling memengaruhi, berupa regulasi demokrasi, lembaga demokrasi, dan habitus demokrasi?
Dalam buku Democracy Without the Democrat: On Freedom, Democracy and Welfare State ((2007), penulis memfokuskan penelitian terhadap pembangunan lembaga demokrasi dan regulasi demokrasi di awal transisi reformasi, sembari memperlihatkan betapa sulitnya membangun sistem demokrasi karena aktor (agency) yang terlibat di dalamnya mayoritas tak memiliki habitus demokrasi.
Reformasi pada dasarnya adalah suatu kontestasi antar-kepentingan antara aktor demokrasi (reformis) dan aktor antidemokrasi (nonreformis) di dalam arena politik demokrasi. Kondisi ini disebut Huntington (1995) sebagai transplacement, suatu proses transisi demokrasi yang melibatkan elite lama sedang berkuasa dan kekuatan oposisi (generasi pertama reformis) yang mendorong reformasi dan demokratisasi sepanjang 32 tahun rezim Orde Baru.
Habitus demokrasi
Habitus merupakan konsep Bourdieu untuk menegaskan bahwa struktur mental (individu juga kelas sosial) berdialektika dengan struktur sosial, dalam hubungan dualitas, bukan dualisme yang mempertentangkan individu vs struktur, subyektif vs obyektif.
Habitus merupakan dialektika antara eksternalisasi internalitas (structuring structure) dengan internalisasi eksternalitas (structured structure), salah satunya melalui pengolahan informasi sesuai prinsip ilmu komunikasi.
Habitus juga dapat mewakili kelas sosial. Temuan kuantitatif dan kualitatif penulis di Indonesia ada empat kelas sosial: elite, menengah profesional, menengah tradisional, dan marhaen (precariat) (Pierre Bourdieu, Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste, 1984 dan M Fadjroel Rachman, Voters Distinction in Indonesia, 2021).
Di awal reformasi, pembangunan sistem demokrasi merupakan arena politik negosiasi dan konsensus berkelindan dengan kontestasi dan konflik terbuka.
Dua kelas terbawah sangat rentan terhadap propaganda, indoktrinasi, dan kekerasan simbolik. Habitus menghadirkan individu (kelas sosial) yang memiliki state of mind, state of body, dan state of being tertentu.
Habitus demokrasi mewakili individu (kelas sosial) yang melakukan praktik sosial di dalam arena sosial yang memiliki kesadaran kognitif terhadap demokrasi, bertingkah laku demokratis, dan menghadirkan diri (becoming) sebagai manusia demokratis.
Di awal reformasi, pembangunan sistem demokrasi merupakan arena politik negosiasi dan konsensus berkelindan dengan kontestasi dan konflik terbuka. Karena struktur sosial diwakili regulasi dan lembaga prademokrasi berdialektika dengan struktur mental prahabitus demokrasi.
Sistem demokrasi
Regulasi demokrasi dan lembaga demokrasi yang dibentuk dalam negosiasi bahkan konflik terbuka di awal reformasi dimulai dengan amendemen UUD 1945. Pertarungan ingatan dan lupa, asimetri das Sollen dan das Sein. Tujuan amendemen pertama 14-21 Oktober 1999 adalah mengubah Pasal 7 yang menjadi kunci sistem antidemokrasi.
Baca juga : Penguatan Birokrasi Cegah Regresi Demokrasi
Reformasi menegaskan sistem demokrasi baru di Indonesia hanya mengakui masa jabatan presiden dua periode, ”Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”.
Kemudian dikuti dengan amendemen ketiga dengan menegaskan pemilihan langsung terhadap presiden/wakil presiden pada Pasal 6A (1) bahwa, ”Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.”
Walaupun hanya ditegaskan Pasal 18 (2) bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis, tetapi disepakati juga dalam UU, dipilih secara langsung. Melalui Mahkamah Konstitusi (MK), lembaga dibentuk dalam transisi demokrasi, bahkan pilkada dapat diikuti calon perseorangan (independen) selain partai politik.
Sayangnya, uji materi calon presiden perseorangan (independen) gagal tipis di MK, harus dituntaskan melalui amendemen (mungkinkah jadi agenda amandemen kelima?).
Lembaga demokratis yang dibentuk dalam transisi demokrasi selain MK, juga Dewan Perwakilan Daerah, Komisi Yudisial, Komisi Pemberantasan Korupsi, tetapi Komisi Kebenaran dan Rekonsilisiasi (KKR) yang diperlukan untuk penyelesaian dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu tak pernah terbentuk karena UU KKR dibatalkan MK.
Regulasi demokrasi yang dibentuk melalui amendemen UUD 1945 (kesatu hingga keempat) juga menegaskan bahwa hak asasi manusia (HAM) adalah jantung sistem demokrasi. Bab XA tentang HAM dari Pasal 28A hingga 28I menjadi tambahan pasal-pasal terpanjang di amendemen kedua UUD 1945.
Apakah dalam perjalanan menjelang 24 tahun reformasi dialektika di dalam sistem demokrasi berhasil menciptakan habitus demokrasi?
Survei kuantitatif SMRC 21-28 Mei 2021 dengan responden berusia 17 tahun atau lebih menunjukkan 84 persen menghendaki masa jabatan dua periode harus dipertahankan. Perspektif ataupun opini responden ini mewakili habitus demokrasi dari individu (kelas sosial) dalam arena politik. Kesimpulan penulis, persentase ini menunjukkan habitus demokrasi sudah terbentuk, lebih baik, dan stabil.
Kesimpulan penulis, persentase ini menunjukkan habitus demokrasi sudah terbentuk, lebih baik, dan stabil.
Huntington menyebutkan di Jerman dan Jepang warga negara berusia muda dan berpendidikan lebih tinggi menunjukkan sikap yang lebih prodemokrasi, atau membentuk habitus demokrasi.
Pada 1950, survei mengidentifikasi masa paling gemilang Jerman, 45 persen memilih kekaisaran sebelum 1914, 42 persen Reich Ketiga (Nazi), 7 persen Republik Weimar, 2 persen Republik Federal.
Pada 1959, yang memilih Republik Federal 42 persen, dan 81 persen pada 1970. Pada 1953, publik Jerman yang memilih demokrasi 50 persen, dan pada 1972 naik menjadi 90 persen.
Perubahan generasi sangat signifikan. Pertukaran pengalaman antarnegara juga dapat memajukan sistem demokrasi melalui praktik berbagi pengalaman dan best practices seperti Forum Demokrasi Bali. Forum diplomasi demokrasi Indonesia yang dirintis sejak 2008, khususnya untuk kawasan Asia Pasifik, termasuk Kazakhstan dan Tajikistan, negara-negara yang merdeka dari Uni Soviet sekitar 30 tahun lalu.
Baik dan stabil
Presiden Joko Widodo adalah generasi kedua kepemimpinan reformasi, sedangkan generasi pertama kepemimpinan reformasi diwakili BJ Habibie, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati Soekarnoputri, dan Susilo Bambang Yudhoyono. Sistem demokrasi di Indonesia juga sudah menghadirkan generasi kedua secara demografis dari 270,20 juta populasi (BPS, 2020).
Generasi milenial (25,87 persen usia 24-39 tahun) dan zilenial (27,94 persen usia 8-23 tahun), generasi ketiga (alpha, 10,88 persen usia sekarang 7 tahun) juga sudah hadir. Generasi pertama perintis reformasi (baby boomer, 11,56 persen usia 56-74 tahun serta generasi X 21,88 persen usia 40-55 tahun), ditambah generasi kedua yang tumbuh dalam sistem demokrasi, menunjukkan dukungan mayoritas terhadap sistem demokrasi.
Generasi pertama perintis reformasi mengembangkan habitus demokrasi di dalam struktur prademokrasi, sebagian setia terhadap sistem demokrasi, sebagian lain ingkar dan lari. Generasi kedua yang berdialektika dalam sistem demokrasi yang terkonsolidasi, di mana demokrasi menjadi ”the only game in town”, adalah pendukung setia dan berkomitmen dengan sistem demokrasi.
Ini menunjukkan bahwa demokratisasi di Indonesia sudah berhasil membentuk habitus demokrasi yang lebih baik dan stabil. Kata Sutan Syahrir, perdana menteri pertama RI (14 November 1945-20 Juni 1947), ”Perjuangan kita sekarang ini tidak lain dari perjuangan untuk meraih kebebasan jiwa bangsa kita …. dengan semangat kebangsaan yang dipikul oleh perasaan keadilan dan kemanusiaan (serta demokrasi), yang dapat mengantar kita maju dalam sejarah dunia.”
M Fadjroel Rachman, Pendiri Pedoman Research and Communication (PRC), Duta Besar RI untuk Kazakhstan dan Tajikistan