AS Kalah dari China yang Telah Mengejawantahkan Postulat Bapak Geopolitik
Segala hal tidak memupus ketakutan AS tentang China yang semakin merangsek ke seluruh dunia. Sebab, memang tidak tertutup kemungkinan kekuatan ekonomi berpotensi menjelma jadi kekuatan militeristik.
Kalimat-kalimat seperti, ”China adalah ancaman, negara tidak demokratis dan komunis.” Tuduhan lainnya, China tak menghargai hak asasi manusia dan memaksa negara lain lewat kekuatan ekonomi. Itulah hal yang juga membahana dari AS tentang China di forum-forum internasional.
Kampanye seperti itu sangat santer di era kepemimpinan Presiden Donald Trump. Bahkan, Trump memakai buku Death by China karya Peter Navarro yang menjadi penasihat dagang Trump. AS menghadapi defisit dagang luar biasa besar dengan China, maka China harus ditangani, pesan lain Navarro. Buku yang tentunya mengundang serangan pada Navarro itu sendiri, termasuk dari ekonom AS Stephen Roach (Yale University).
Dengan nada lebih lembut, serangan serupa berlanjut di era Presiden Joe Biden. Akan tetapi, hakikat serangan tetap serupa. Menlu Antony Blinken dan Wapres AS Kamala Harris mengulangi kampanye serupa soal China. Blinken dan Harris menuduh China sebagai negara agresif. Petinggi militer AS turut menabuh gendang permusuhan dengan China. Hal jelas, Presiden Joe Biden turut menggalangkan aliansi demokrasi, untuk membendung China.
Akankah efektif?
Apakah kampanye seperti ini akan efektif mendiskreditkan China. Agaknya, kampanye dan usaha membendung China sulit terwujud. Mengapa?
Ahli geografi Inggris, Halford Mackinder, yang juga disebut ”bapak geopolitik”, pada 1904, memetakan siapa yang akan menguasai dunia dan di mana kelak lokasi kekuatan itu. Pada 1919, Mackinder mengingatkan pula bahwa para negarawan yang meneken Traktat Versailles akan gagal mewujudkan rancangannya.
Hal tersebut akan terjadi jika para negarawan itu mengabaikan arti pentingnya kekuatan darat dan laut dan lokasinya. Traktat Versailles mengakhiri PD I yang diteken aliansi pimpinan AS berhadapan dengan Jerman di Istana Versailles, Perancis, 28 Juni 1919.
Mackinder menyatakan, penguasa dunia adalah mereka yang bisa menguasai World-Island (Pulau Dunia), merujuk pada Benua Eropa, Asia, Afrika. ”Siapa yang menguasai Eropa Timur, menguasai Heartland (jantung Eurasia). Siapa yang menguasai Heartland, menguasai Pulau Dunia. Siapa yang menguasai Pulau Dunia, menguasai dunia,” demikian Mackinder menuliskannya di halaman 106 buku karya Mackinder, yang diterbitkan ulang pada 1942, berjudul Democratic Ideals and Reality.
Lewat buku itu, Mackinder juga menuliskan tentang siapa yang berpotensi sebagai penguasa dunia. China termasuk dia sebut. ”India dan China—khususnya China yang berperang dari front Manchuria—bisa dipandang sebagai penanding kekuatan laut Inggris, Amerika, dan Jepang”, demikian petikan di halaman 49 buku Democratic Ideals and Reality. Tentu disebutkan juga bahwa Jerman, Rusia, tidak tertutup kemungkinan sebagai penguasa potensial.
Menekankan potensi China, Kapten Stephen V Mladineo (militer AS) dalam pengantar buku itu menuliskan, ”Dia (Mackinder) bahkan menyatakan China sebagai penguasa potensial Heartland.” Mladineo adalah seorang pensiunan militer dan sebagai mantan professor of strategy di National War College.
Ide Mackinder diabaikan
Negarawan Versailles sibuk di tataran benua lama, Trans-Atlantik hingga Amerika Latin. Negarawan Versailles tak terlalu hirau dengan penguasaan ”World-Island”, hanya hirau dengan Trans-Atlantik dan aliansi di Timur Jauh. Postulat Mackinder ini puluhan tahun terbenam. Postulat Mackinder turut memengaruhi strategi Nazi dan Uni Soviet yang juga ambisius, tetapi perang mengacaukan segala niat.
Kini ide Mackinder mencuat dan dibahas gencar, termasuk oleh Charles Kupchan, penasihat keamanan Presiden Barack Obama. Profesor sejarah AS dari University of Wisconsin-Madison, Alfred McCoy, dalam wawancara dengan Democracy Now, 16 November 2021, mengingatkan lagi postulat Mackinder sebagai basis kebangkitan China yang akan melampaui AS, di mana AS itu sendiri saat bersamaan sedang memudar.
Menguasai dunia, dalam terminologi Mackinder, termasuk dengan pemanfaatan konektivitas darat dan laut. Akan tetapi, penguasaan dunia yang nyata hanya jika berlokasi di World-Island, basis kekuatan darat, laut, hingga udara. World-Island memiliki penduduk, pelataran luas, sumber daya alam.
Akan tetapi ada syarat lain. Mackinder melanjutkan, World-Island ini harus diorganisasi, termasuk secara ekonomi. Dia dibentuk lewat sistem ekonomi, di mana masing-masing berperan sesuai talentanya. Mackinder menyinggung pentingnya mekanisme pasar, pandangan bapak ekonomi Adam Smith, yang dikenal dengan bukunya, The Wealth of Nations.
Keberadaan kekayaan alam saja tidak cukup, sebab harus bisa dimanfaatkan. Mobilitas amat diperlukan untuk menaikkan produktivitas lewat jalur transportasi. Ini mendorong pembentukan kekuatan darat, laut, dan udara. Inilah yang dijalankan China lewat program One Belt One Road (OBOR)—kadang disebut Belt and Road Initiative (BRI).
Dalam konteks postulat Mackinder, lewat OBOR, China telah memerangah negarawan dan para pakar dunia. Bahkan dunia menjadi takut karena OBOR telah mengejawantahkan postulat MacKinder. OBOR telah mengukuhkan basis penguasaan dunia.
OBOR dicetuskan Presiden Xi Jinping pada 2013, awal dari program besar China untuk mewujudkan postulat Mackinder. Bahwa mereka yang mengelola World-Island secara ekonomi, membuka jalur untuk konektivitas, itulah yang menguasai dunia.
China melakukan itu semua lewat konektivitas perekonomian, yang memperlancar aliran investasi dan aliran dagang. Demikianlah China yang juga melengkapi pembangunannya di semua sisi, ekonomi dan juga kemampuan militernya, serta terkoneksi dengan dunia, termasuk dengan teknologi informasi.
Menurut pakar dari Renmin University, Profesor Wang Yiwei, China mengisi kekosongan pembangunan spasial di luar Trans-Atlantik. Wang Yei menekankan, OBOR mengisi kekosongan program ekonomi, dengan konsekuensinya berupa warna kemiskinan ratusan tahun di daerah-daerah tak tersentuh pembangunan.
Dalam tulisannya berjudul ”Why African countries need the Belt and Road Initiative”, edisi 22 Agustus 2018 di situs CGTN, Wang Yiwei mendeskripsikan visi Xi Jinping. Afrika dan Amerika Latin umumnya miskin dan tidak banyak mengalami industrialisasi. Di samping itu, semua negara ”landlocked” (daratan terkunci tak tembus ke lautan) juga miskin karena tidak ada industrialisasi.
Mengapa? Wang Yiwei menuliskan, globalisasi yang terjadi sekarang ini, pada 2018 saat ia menuliskan artikelnya, adalah globalisasi di wilayah maritim, meski tak semua negara maritim mengalami kemajuan.
Namun, 90 persen perdagangan global terjadi lewat lautan, membuat negara-negara landlocke sangat miskin. Inilah alasan Presiden Xi Jinping, saat berkunjung ke Kazakhstan pada 2013, untuk pertama kali meluncurkan konsep ”Silk Road Economic Belt”.
Ide itu bersambut di Afrika. Kini Afrika, bagian dari World-Island, telah mulai tersambung ke jaringan produksi global. ”Inilah pada dasarnya tujuan OBOR, … tidak seperti globalisasi lewat Revolusi Warna dan Arab Spring,” tulis Wang Yiwei.
Hebatnya lagi, Xi Jinping mengajak dunia berkolaborasi lewat OBOR. China menawarkan diri masuk ke dalam Trans-Pacific Partnership di mana AS ada di dalamnya. China mengajak AS melakoni win-win solution dalam relasi bilateral, tandem dengan relasi setara bersama belahan dunia lain. Bahkan China mengajak AS berkolaborasi atau masuk ke dalam OBOR. China menerjemahkan dengan baik kekhawatiran Mackinder soal potensi krisis, keotoriteran. Mackinder sendiri mengandalkan Liga Bangsa-bangsa sebagai alat pemersatu dunia.
Terus memprovokasi
Namun, semua itu tidak memupus ketakutan AS tentang China yang semakin merangsek ke seluruh dunia. Sebab, memang tidak tertutup kemungkinan, berdasarkan pengalaman sejarah tentang Nazi dan Jepang, kekuatan ekonomi berpotensi menjelma menjadi kekuatan militeristik. Di sisi lain, China selalu menolak pemikiran AS tentang niat hegemonik, pun militeristik yang selalu digaungkan oleh AS.
Eric Hyer, seorang lulusan doktor politik dari Columbia University (1990) dan kini profesor ilmu politik di Brigham Young University, memberi opini positif. Hyer mengatakan dalam pidato di BYU Kennedy Center, 16 September 2021, betapa China sering menjadi aliansi AS, termasuk saat mengatasi krisis ekonomi global 2008, dimulai dari kekacauan ekonomi AS. Untuk apa AS melulu menekankan salah satu postulat ”jebakan Thucydides”, bahwa negara-negara kuat itu tertakdir untuk bersaing, sehingga AS melulu berpikir tentang pembendungan China ketimbang kolaborasi?