Kurikulum pendidikan, baik yang berkaitan dengan pendidikan kewarganegaraan, agama, maupun sejarah, sudah saatnya memasukkan deradikalisasi sebagai bahan ajar dan diinternalisasikan oleh anak bangsa.
Oleh
LILIS ERFIANTI
·4 menit baca
Penangkapan seorang kepala sekolah di Lampung berinisial DRS (47) oleh Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri karena diduga anggota teroris Jamaah Islamiah (JI) pada akhir Oktober kemarin mengagetkan semua pihak. Pasalnya, jika dahulu penyebaran paham radikal lebih banyak menyasar kelompok kampus, dari kejadian itu seolah memberikan sinyal bahwa mulai sekolah dari tingkatan terendah sampai perguruan tinggi (PT) kini menjadi salah satu tempat rawan paparan paham radikal.
Maka, belajar dari penangkapan terduga teroris yang juga pendidik itu penting kita jadikan refleksi bersamaan dengan Hari Guru Nasional 2021 yang rutin diperingati setiap tanggal 25 November. Bagaimana tidak, seorang terduga teroris yang diketahui pernah menjabat sekretaris Lembaga Amil Zakat Abdurrohman Bin Auf (LAZ-ABA) yang terafiliasi dengan teroris JI dan juga pernah berbaiat dengan salah satu petinggi JI memimpin sebuah sekolah (Solopos, 20 Oktober 2021).
Kondisi itu bukan hanya menjadi ancaman bagi keberlangsungan pendidikan di Indonesia. Namun, peristiwa itu sekaligus menegaskan bahwa deradikalisasi dalam dunia pendidikan darurat untuk dilaksanakan-dipercepat. Sebab, di sekolah ataupun kampus, proses ideologisasi atau diskusi tentang berbagai isu yang semestinya bisa berkembang dengan baik telah disusupi kelompok radikal. Dengan demikian, upaya pencegahan atau kontraterorisme penting dilakukan untuk memberikan penguatan pemahaman antiradikalisme.
Namun, harus kita akui inilah lebih kurang kenyataan yang sekarang melanda negeri ini.
Sungguh petaka yang tak terbayangkan jika kaum muda suatu bangsa justru terjangkit pelbagai penyakit yang dapat merongrong keutuhan bangsa itu sendiri, seperti radikalisme dan terlebih lagi terorisme. Namun, harus kita akui inilah lebih kurang kenyataan yang sekarang melanda negeri ini. Pelbagai hasil penelitian di kalangan anak muda dan siswa yang dilakukan oleh beberapa lembaga menunjukkan sebagian dari kaum muda sekarang mulai terjangkiti radikalisme, bahkan terorisme.
Menurut survei Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) pada 2011, misalnya, 48,9 persen pelajar di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi bersedia untuk melakukan tindak kekerasan atas nama agama. Pada 2017, survei Alvara Research Center menunjukkan 52,3 persen siswa sepakat dengan tindakan kekerasan atas nama agama dengan 14,2 persen di antaranya mendukung tindakan pengeboman.
Lantas, bagaimana sebaiknya para guru kita mencegah terjadinya ”serangan terorisme” itu? Tidak ada jawaban lain kecuali menguatkan pendidikan deradikalisasi di sekolah dan mengampanyekan kepada seluruh lapisan masyarakat tentang Islam rahmat yang bervisi perdamaian sebagai bentuk nyata deradikalisasi. Kemudian, perlunya beragam inovasi pembelajaran menyenangkan, alias praktik pengajaran di kelas semestinya lebih banyak diarahkan pada komunikasi timbal balik dengan siswa dan perlunya seorang guru meminta masukan siswa bagaimana pembelajaran yang menarik di pikirannya? Apakah memakai pemantik film, buku, atau pendekatan lain.
Sebab, membaca hasil penelitian CSIS dan Wahid Foundation (2020) tidak kalah mengejutkan. Diketahui, radikalisme yang timbul di kalangan pelajar Indonesia karena merasa berada di titik jenuh dalam proses belajar-mengajar. Yang mana, perasaan jenuh itu dipakai kelompok radikal untuk mendoktrin pelajar supaya tidak meninggalkan kelompok kajian. Alhasil, tanpa disadari menjadikan mereka bertahan pada lingkungan radikal. Meski demikian, penyebaran paham radikalisme tidak hanya terjadi melalui lingkungan sekolah, tetapi turut dipengaruhi kelompok sosial dan agama.
Terkait masalah ini, penulis menilai terdapat setidaknya beberapa kebijakan strategis yang dapat dilaksanakan untuk meminimalkan radikalisme di kalangan pelajar. Pertama, perlu adanya penelitian secara masif untuk mengetahui kelompok-kelompok yang berisiko besar terpapar radikalisme di kalangan pelajar. Kedua, mengembangkan program kontra-radikalisasi di kalangan pelajar dengan pendekatan kekinian, dan terakhir memaksimalkan kerja sama dengan institusi pendidikan untuk mengedukasi remaja yang mendukung perilaku radikal.
Di luar itu, kesalahan-kesalahan kaum radikal, khususnya para teroris, dalam memahami dan mengamalkan sejumlah ajaran Islam harus ditunjukkan kepada khalayak luas. Sebutlah seperti kesalahan para teroris yang hanya memaknai jihad dengan peperangan (al-qital), menganggap aparat keamanan dan pemerintah sebagai thoghut (personifikasi kejahatan), menganggap bom bunuh diri (al-istimat) sebagai mati syahid (al-istisyhad), melakukan pencegahan kemungkaran dengan cara-cara yang mungkar, dan seterusnya.
Kita semua berharap Indonesia menjadi taman yang asri bagi kemajemukan dan perdamaian antar-SARA.
Maka, sebagaimana tema Hari Guru Nasional kali ini adalah ”Bergerak dengan hati, pulihkan pendidikan” sudah selayaknya dijadikan gerakan bersama dalam upaya pencegahan agar tak ada lagi anak bangsa yang tertarik untuk bergabung dengan organisasi penebar teror atau radikal. Pengetahuan sejarah bahwa bangsa ini didirikan dan dimerdekakan sebagai bangsa yang multikultural atau beragam suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) harus ditanamkan sejak usia dini di bangku sekolah.
Kurikulum pendidikan, baik yang berkaitan dengan pendidikan kewarganegaraan, agama, maupun sejarah, sudah saatnya memasukkan deradikalisasi sebagai bahan ajar dan diinternalisasikan oleh anak bangsa. Namun, sekali lagi pendekatannya harus bersifat dialog, jangan lagi bersifat indoktrinatif. Maka dari itu, program deradikalisasi seharusnya menggunakan pendekatan yang lengkap, seperti pendekatan yang humanis, soul approach, dan menyentuh akar rumput.
Selain itu, pemerintah mesti dapat menunjukkan dampak pemberantasan terorisme mampu menciptakan kesejahteraan, kedamaian, keadilan, dan kesejahteraan. Sebab, sebagaimana telah banyak diteliti, tidak bisa kita mungkiri bahwa pelaku teror selain dipengaruhi faktor cara pandang terorisme juga berkaitan dengan ekonomi dan perasaan diberlakukan secara tidak adil. Kita semua berharap Indonesia menjadi taman yang asri bagi kemajemukan dan perdamaian antar-SARA. Dengan demikian, segala upaya yang hendak merusak taman asri tersebut harus dicegah dan diberantas sejak dini.