Sistem Logistik Era Industri 4.0
Untuk mewujudkan sistem logistik yang efisien dan berkelanjutan dalam era Industry 4.0, perlu sinergi antarsektor/kementerian dan lembaga, tak terkecuali swasta. Kementerian Perhubungan tak mungkin bisa bekerja sendiri.
Masa depan industri logistik yang ideal adalah yang hijau/berkelanjutan/ramah lingkungan, pintar, efisien, dan kompetitif. Hijau dalam arti berbasis pada penggunaan energi baru terbarukan (EBT), renewable energy, atau energi bersih.
Pintar, yakni memanfaatkan perkembangan teknologi, khususnya terkait revolusi industri 4.0 yang dapat meningkatkan efisiensi. Efisien, tak hanya secara ekonomi, tetapi juga secara lingkungan, yakni dengan tingkat emisi karbon atau gas rumah kaca (GRK) kecil atau bahkan nol (zero emission).
Dari perspektif ekonomi, rasio atau persentase biaya logistik terhadap produk domestik bruto (PDB) ditekan hingga satu digit saja (di bawah 10 persen), produktivitas pelabuhan cukup tinggi, dan dwelling time yang cepat.
Kompetitif, yakni dengan kualitas layanan logistik prima dan harga bersaing. Masalahnya, bagaimana kita dapat mencapai tujuan/kondisi yang kita kehendaki itu dan strategi apa yang dapat kita tempuh.
”Eco-logistics”
Akhir-akhir ini tengah berkembang cara berpikir atau paradigma ekonomi hijau yang urgensinya terasa semakin kuat, terlebih setelah terselenggaranya KTT Perubahan Iklim Ke-26 di Glasgow, Inggris Raya, belum lama ini.
Sesuai agenda nasional dan global terkait Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dan perubahan iklim, kita menghendaki terwujudnya green logistics atau eco-logistics, atau green supply chain paling lambat 2050.
Kita bertekad bersama-sama masyarakat dunia untuk menyelamatkan lingkungan atau bumi yang kita tempati, termasuk melalui sektor logistik.
Kita bertekad bersama-sama masyarakat dunia untuk menyelamatkan lingkungan atau bumi yang kita tempati, termasuk melalui sektor logistik.
Logistik melibatkan transportasi logistik, pergudangan, inventori, packaging, material handling, dan rantai pasok (supply chain). Dengan green logistics, transportasi logistik harus ramah lingkungan, sejak titik awal hingga titik akhir, baik ekspor, impor, maupun perdagangan domestik antarpulau.
Sebagai informasi, green logistics telah dirintis di Jepang pada 2006 oleh DHL, satu perusahaan logistik terkemuka dunia. DHL Jepang menggunakan mobil F-Cell dari DaimlerChrysler berbahan bakar compressed hydrogen, dan truk Eco-Hybrid dari Mitsubishi Fuso. Kita berharap, cepat atau lambat, para pemain logistik terkemuka di Indonesia dapat mengikuti langkah DHL ini.
Beberapa strategi dapat ditempuh dalam masa transisi atau transformasi menuju logistik hijau. Pertama, pemanfaatan energi berpola hibrida atau diselang-seling antara penggunaan energi kotor dan energi bersih untuk mereduksi emisi karbon. Misalnya di pelabuhan peti kemas dipasang PLTS untuk mengoperasikan RTG di samping masih menggunakan diesel berbahan bakar fosil atau listrik PLN yang berasal dari PLTU batubara.
Baca juga : Kadin Indonesia Luncurkan Badan Logistik dan Rantai Pasok
Kedua, dalam jangka pendek/menengah beralih ke energi fosil yang lebih bersih, yakni BBG atau EBT, seperti biosolar untuk mesin diesel pada armada truk logistik. Armada lama (truk/kereta api logistik) perlu diganti dengan armada baru berbahan bakar EBT, seperti biosolar, baterai listrik, atau hidrogen.
Ketiga, membangun transportasi jalan dan kereta api yang terintegrasi sehingga dapat mengurangi penggunaan energi.
Keempat, akselerasi penggantian avtur berbasis fosil dengan green avtur atau bioavtur untuk transportasi udara, termasuk untuk angkutan logistik. Hal ini perlu didukung dengan penelitian dan pengembangan, misalnya kerja sama antara Pertamina, ITB, BPDPKS, dan PT DI, terkait bioavtur J2.4 yang menggunakan campuran minyak inti sawit sebesar 2,4 persen.
Kelima, regulasi penggunaan kemasan dan palet dalam industri logistik dengan bahan-bahan yang biodegradable.
”Logistik pintar”
Selain transformasi menuju logistik hijau, proses transformasi juga masih berlangsung menuju logistik digital atau logistik pintar (smart logistics) yang terkait dengan perkembangan teknologi revolusi industri 4.0.
Ini antara lain melibatkan internet of things (IoT) dan artificial intelligence (AI) dalam aktivitas logistik (Logistic 4.0). Tujuannya, meningkatkan efisiensi, memungkinkan real time monitoring, mengurangi kesalahan manusia, dan meningkatkan transparansi.
Aplikasi AI dalam mendesain optimasi rute transport, misalnya, memungkinkan penggunaan aset kargo secara optimum. Live tracking kendaraan secara real time berbasis GPS dapat meningkatkan transparansi, keandalan transportasi dan logistik, serta rute delivery yang efisien.
Aplikasi IoT, penilaian data, dan otomatisasi mempermudah pergerakan dan tracking kargo serta membantu mengoperasikan jaringan distribusi dengan baik. Selain itu, penggunaan GPS digital dan sistem radio-frequency identification (RFID) dapat meminimalkan biaya identifikasi dan lokasi produk di sepanjang rantai pasok serta meningkatkan profitabilitas.
Industri 4.0 membawa perubahan ke dalam industri logistik melalui tiga poros/domain utama, yakni otomatisasi, koneksi, dan pengambilan keputusan. Otomatisasi ini misalnya pada operasi forklift dan pergudangan dengan conveyer belt dan bar scanning.
Koneksi dan komunikasi antarmesin dan IoT memungkinkan setiap mesin/alat menangkap dan mentransmit data.
Koneksi dan komunikasi antarmesin dan IoT memungkinkan setiap mesin/alat menangkap dan mentransmit data. Penyematan sensor IoT dan AI pada Auto ID system mendukung keputusan otonom seperti pada robot pintar dan kendaraan otonom serta operasi sortasi pergudangan.
Transformasi atau transisi menuju smart logitics telah dan tengah berlangsung dari tahap paling awal/sederhana hingga tahap yang paling rumit dan advanced. Pada tahap awal di Indonesia kita saksikan maraknya pengembangan sistem aplikasi di bidang logistik dan e-commerce.
Transaksi e-commerce dan permintaan last mile delivery meningkat pesat pascapandemi Covid-19. Hal ini berpengaruh terhadap meningkatnya aktivitas logistik, baik business to business logistics maupun business to consumer logistics.
Para pemain ritel daring perlu membangun logistic hub dan distribution center masing-masing. Alternatifnya ialah outsourcing, yakni menggunakan logistik pihak ketiga atau third party logistics (3PL), terutama ketika volume pesanan yang ditangani sudah relatif besar.
Sejumlah usaha rintisan, termasuk Gojek, Grab, dan Alibaba, berlomba-lomba menggunakan sistem aplikasi dan machine learning serta big data. Teknologi ini juga diterapkan pada pelayaran sebagai bagian dari rantai pasok.
Baca juga : Jalan Keluar bagi Bulog
Pada tahap yang agak maju, smart logistics dapat berupa penggunaan RFID, di samping GPS, komputasi awan, block chain, dan peranti TI lainnya, sehingga tercapai efisiensi dan penghematan biaya. Komponen penting untuk smart logistics ini akan terkoneksi dengan data analitik yang canggih, keputusan otonom, dan IoT. Smart logistics akan memainkan peranan vital dalam merampingkan proses interaksi antara e-commerce, marketplace, penjual/produsen, perusahaan logistik, dan konsumen akhir.
Pada tahap yang sama, peranti Industry 4.0 seperti IoT, AI, dan machine learning diadopsi untuk membangun pergudangan pintar (smart warehousing), dan pada tahap advanced melibatkan penggunaan robot-robot pintar untuk material handling di dalam gudang tersebut.
Gudang pintar adalah ekosistem teknologi yang mendukung proses penerimaan, pengidentifikasian, penyortiran, dan pengaturan barang secara otomatis. Sistem ini memastikan proses otomasi pada keseluruhan operasi pergudangan.
Pada tahap yang advanced seperti di Jepang dan Singapura, pemanfaatan teknologi untuk logistik sudah merambah ke penggunaan kendaraan otonom, robot pintar, dan drone. Drone pintar sudah mulai dipergunakan untuk pengiriman pesanan dari supermarket ke konsumen di Jepang dan Singapura. Dengan demikian, baik robot maupun drone pintar dapat membantu solusi permasalahan last mile delivery.
Pemanfaatan intelligent transport systems (ITS) juga terbukti mampu meningkatkan efisiensi logistik di negara tersebut. Sejumlah perusahaan pelayaran dan galangan kapal saat ini tengah bekerja sama mengembangkan kapal-kapal kargo yang dapat dikendalikan dari jarak jauh dan berencana diluncurkan pada 2025. Kapal-kapal kargo ini menggunakan IoT, yang dapat mengoneksikan sejumlah peralatan guna memperoleh data, seperti kondisi cuaca dan informasi pelayaran.
Kita di Indonesia menyadari masih terdapat banyak kendala untuk mengadopsi Logistics 4.0 atau Industry 4.0 secara penuh dan massif pada tingkat advanced. SDM mungkin belum siap, dan infrastruktur Logistics 4.0 juga masih underinvestment.
Meskipun demikian, kita wajib terus berikhtiar dengan merintis perwujudan smart logistics tersebut. Sebagaimana logistik hijau, dalam konteks logistik pintar ini, kita berharap para pemain bisnis logistik besar melakukan perintisan smart logistics.
Ekosistem dan kolaborasi
Dalam rangka mendukung peningkatan efisiensi logistik, pemerintah sebagai regulator dan fasilitator telah mengambil sejumlah langkah dan kebijakan. Di antaranya ialah penataan ekosistem logistik nasional atau national logistic ecosystems (NLE) sesuai dengan Inpres Nomor 5/2020, yang tahun ini memasuki tahun kedua. Selain itu, merger Pelindo sebagai pemain bisnis terkemuka dan kini berskala global menjadi langkah strategis.
Kementerian Perhubungan terus melakukan pengembangan digitalisasi perizinan dan layanan kepelabuhanan dengan berbagai aplikasi
Ekosistem logistik itu sendiri adalah interaksi, jejaring, interkoneksi, dan kolaborasi dari para pemangku kepentingan di bidang logistik, melalui platform bersama, yang disebut platform NLE, untuk merampingkan proses-proses bisnis terkait perizinan dan layanan kepelabuhanan serta menghubungkan proses logistik end to end. Platform NLE ini akan berkolaborasi dengan sistem-sistem logistik lainnya, termasuk SITOLAUT.
Perampingan proses-proses bisnis ini dapat mereduksi biaya logistik, khususnya menyangkut perizinan dan layanan kepelabuhanan.
Kementerian Perhubungan terus melakukan pengembangan digitalisasi perizinan dan layanan kepelabuhanan dengan berbagai aplikasi. Misalnya, SIMLALA (digitalisasi perizinan), INAPORNET (digitalisasi layanan kepelabuhanan), SITOLAUT (tracking distribusi barang dan ternak di wilayah 3TP, terkait program Tol Laut), dan dashboard monitoring untuk transparansi dan efisiensi.
Implementasi NLE akan menurunkan biaya logistik (di pelabuhan), sharing kapasitas logistik, meningkatkan transparansi layanan, keterhubungan sistem antarkementerian/lembaga terkait, memperpendek rantai pasok, dan menghilangkan duplikasi/repetisi/proses manual.
Untuk mendukung implementasi NLE, pemerintah telah dan akan terus mengembangkan infrastruktur interkoneksi antarmoda dari kapal ke truk atau kereta api logi, dan akses dari/ke pelabuhan di wilayah hinterland. Kebijakan merger Pelindo baru-baru ini dapat mendorong akselerasi implementasi NLE ke seluruh wilayah karena akan terdapat standardisasi operasi dan layanan kepelabuhanan.
Baca juga : Politik Pelabuhan Merger Pelindo
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, dengan kurang lebih 17.500 pulau, distribusi logistik hingga last mile delivery, tingkat kesulitannya cukup tinggi, menyebabkan ekonomi kita ”berat di ongkos”. Rasio biaya logistik terhadap PDB relatif tinggi, 23,5 persen.
Jepang yang negara kepulauan terbesar keempat di dunia, rasio biaya logistik terhadap PDB-nya sangat rendah, hanya berkisar 10 persen. Saat ini, Jepang salah satu negara yang paling banyak menggunakan otomatisasi pergudangan. Industri logistik Jepang juga telah mengembangkan sistem informasi untuk meningkatkan efisiensi sejak dekade 1970-an.
Tingginya biaya logistik selama ini bukan hanya karena faktor perizinan dan layanan kepelabuhanan yang kini tengah diperbaiki dengan implementasi NLE. Tantangan terbesar justru bagaimana memangkas biaya transportasi yang mencapai 50 persen dari biaya logistik, termasuk biaya trucking.
Untuk membangun sistem logistik nasional yang efisien, kita masih menghadapi beberapa tantangan fundamental
Untuk membangun sistem logistik nasional yang efisien, kita masih menghadapi beberapa tantangan fundamental. Pertama, pengembangan dan pemerataan konektivitas transportasi darat, laut, dan udara, di seluruh wilayah. Saat ini wilayah yang well connected adalah Jawa dan Bali. Pada level yang sedikit lebih rendah, wilayah Sumatera. Sementara di Kalimantan, Sulawesi, dan Papua, konektivitas transportasi berbasis jalan dan rel perlu dikembangkan secara masif.
Kedua, pengembangan dan pemerataan pelabuhan hub, terutama ke kawasan timur Indonesia (KTI). Pelabuhan-pelabuhan hub tersebut, khususnya regional hub, sekaligus menjadi logistic hub dan regional distribution center.
Pengembangan pelabuhan dalam pola hub-spoke ini antara lain pelabuhan Kijing (Kalimantan Barat) dan New Ambon Port (Maluku) sebagai regional hub. Daerah-daerah di KTI, khususnya hinterland dari pelabuhan-pelabuhan hub yang dikembangkan, hendaknya juga terpicu untuk mengembangkan produk-produk unggulan daerahnya dan meningkatkan kegiatan bongkar/muat di pelabuhan.
Ketiga, di luar sektor transportasi, adalah pengembangan dan pemerataan akses informasi melalui perluasan infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi, khususnya ke wilayah KTI. Hal ini antara lain untuk mengatasi masalah digital divide.
Dengan demikian, untuk mewujudkan sistem logistik yang efisien dan berkelanjutan dalam era Industry 4.0, perlu sinergi antarsektor/kementerian dan lembaga, tak terkecuali swasta. Kementerian Perhubungan tidak mungkin bisa bekerja sendiri sehingga perlu dukungan dari sejumlah kementerian, seperti Kominfo, PUPR, Perdagangan, Pertanian, Perindustrian, Keuangan, ESDM, Kelautan dan Perikanan, Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Dalam Negeri, dan pemerintah daerah. Selain itu, juga BUMN seperti Pelindo, Telkom, PLN, dan asosiasi logistik, seperti ALI dan ALFI.
Budi Karya Sumadi, Menteri Perhubungan RI