Posisi Indonesia sebagai Presidensi G-20 menjadi tonggak baru bagi pemerintahan Jokowi dalam memainkan peran di pentas dunia. Sudah saatnya kita meninggalkan sikap tidak percaya diri sebagai bangsa besar dan bermartabat.
Oleh
ENDANG TIRTANA
·4 menit baca
Seusai konferensi tingkat tinggi (KTT) di Roma, Italia, Indonesia dipercaya dunia memegang Presidensi G-20 untuk tahun 2022. G-20 merupakan kelompok negara-negara besar, mencakup negara-negara maju dan berkembang, yang menguasai sekitar 90 persen produk domestik bruto dunia. Pada tingkat kawasan, Indonesia mendapat giliran menjadi Ketua ASEAN pada 2023.
Artinya, peran Indonesia dalam percaturan internasional semakin strategis. Hal itu sekaligus menjadi tonggak baru bagi pemerintahan Joko Widodo dalam memainkan peran di pentas dunia. Hadirnya Presiden dalam KTT G-20, berlanjut dengan Konferensi Perubahan Iklim (COP 26) di Glasgow Inggris, menguatkan orientasi politik internasional Jokowi.
Selain itu, menggeliatnya kembali roda kehidupan nasional dan internasional Indonesia dalam berbagai sektor membuat kita menjadi optimistis dalam memajukan bangsa ini.
Indonesia merupakan negara besar dengan jumlah penduduk terbanyak nomor empat, negara demokrasi terbesar ketiga, dan negara berpenduduk Muslim nomor satu di dunia.
Sudah saatnya kita meninggalkan sikap tidak percaya diri sebagai bangsa besar dan bermartabat, bahkan kita bisa menjadi negara maju. Dengan itu pula kita bisa mewujudkan keadilan dan kesejahteraan yang diharapkan dapat dinikmati oleh semua anak bangsa.
Getir, ungkapan Presiden Jokowi melihat kenyinyiran yang kerap dilontarkan warga negara kita. Ketika posisi Indonesia semakin dipandang dan dihormati oleh internasional, justru di dalam negeri sering dikerdilkan.
Masyarakat Indonesia diingatkan jangan lupa bahwa kita adalah negara besar dengan sejarah yang besar. Dengan posisi tersebut, seharusnya seluruh warga negara mampu menghormati negaranya sendiri dan jangan saling meniadakan. Karena kebersamaan dan kekuatan gotong royong, kita, warga negara Indonesia, dihargai oleh negara lain di mana pun berada.
Penghormatan semacam itu layak didapatkan jika Indonesia mampu bergerak menuju ke arah kemajuan. Namun, kemajuan bangsa ini hanya tercapai jika semua elemen bersatu padu dengan meminimalisasi konflik-konflik politik yang tak beralasan, hanya menonjolkan pongahnya kedirian, kelompok, dan golongan.
Kita harus meninggalkan politik adu domba demi kepentingan kekuasaan dengan mengorbankan dan mempertaruhkan masa depan bangsa. Pengalaman pahit polarisasi dan politik identitas yang memecah-belah bangsa harus ditinggalkan.
Bagaimana politik kekuasaan bekerja dibedah mendalam oleh Niccolo Machiavelli dalam karyanya, Il Principe (1513). Machiavelli memotret konflik-konflik politik para penguasa pada masanya, di mana dirinya bekerja untuk pemerintah di kota Florence (Italia).
Machiavelli secara obyektif menjelaskan bagaimana kekuasaan harus direbut dan dipertahankan dengan segala cara. Adagium bahwa ”politik itu kotor” tampaknya berkembang dari logika kekuasaan yang kemudian diasosiasikan sebagai cara-cara politik machiavellis.
Realisme politik semacam itu ditegaskan oleh Thomas Hobbes dalam Leviathan (1651), yang menganggap bahwa kondisi alamiah dalam masyarakat adalah kekerasan dan kebrutalan. Untuk itu, Hobbes membenarkan perlunya kekuasaan luar biasa untuk mengatasi konflik di tengah masyarakat.
Dari sana pula modus kekuasaan dan politik transaksional bekerja, yang disebut oleh pakar komunikasi politik Amerika Serikat Harold D Laswell sebagai ”siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana cara mendapatkannya” (1950).
Moralitas dalam berpolitik
Di kutub yang berseberangan dari tradisi realisme adalah perlunya moralitas dalam memaknai politik. Pakar jurnalisme Agus Sudibyo, mengutip pemikiran politik Hannah Arendt, mengingatkan perlunya mengembalikan politik ke dalam makna yang otentik (2012).
Dalam The Human Condition (1958), Arendt menekankan makna dasar politik adalah tindakan demi menjaga kebebasan ruang publik supaya diisi dengan nilai-nilai kerja sama dan kehidupan baik bersama sebagai sifat alamiah manusia.
Pertentangan antara realisme kekuasaan dan moralitas politik bisa ditarik jauh pada pemikiran politik Islam. Gagasan realisme telah muncul dalam karya-karya sosiologis Ibnu Khaldun, khususnya kitab Muqaddimah (1377) yang menjadi magnum opus dari pemikir politik asal Maroko tersebut.
Mirip seperti Machiavelli, konflik-konflik politik juga melanda kekuasaan Islam pada masa itu. Teori politik Ibnu Khaldun dinilai telah menanggalkan idealisme yang dicita-citakan Al-Farabi, yaitu membangun negara yang utama (Al-Madinah Al-Fadhilah), versi Islam dari gagasan Plato.
Adalah tugas sejarah kita untuk membangun keadaban dalam politik, yaitu dengan mengedepankan obyektivitas, kesantunan, dan tanggung jawab. Praktik politik yang diperankan oleh partai-partai semestinya naik kelas menjadi model negarawan.
Partai politik dan para politisi berkewajiban mewariskan dan memberikan contoh praktik politik baik kepada masyarakat dan anak-anak muda di negeri ini. Sebab, masa depan bangsa dan demokrasi kita ke depan bakal ditentukan oleh mereka. Merekalah yang akan tampil dan memberikan kontribusi dalam berbagai aspek, termasuk politik.
Kepedulian dan keterlibatan anak muda dalam politik bisa menggusur politik kekuasaan politisi tua yang seharusnya sudah habis masa. Saatnya politik kaum muda. Jokowi sudah memulainya dengan mengembalikan politik ke dalam makna yang otentik khas kaum muda.
Endang Tirtana, Peneliti Senior Maarif Institute Jakarta