Untuk mencapai tujuan memberangus praktik KKN, UU No 28/1999 perlu direvisi. Menambahkan beberapa pasal, seperti hukuman pidana kurungan penjara minimal lima tahun bagi PN yang tak melaporkan harta kekayaannya.
Oleh
JOHAN BUDI
·5 menit baca
Kompas
Heryunanto
Harian Kompas (Senin, 13/9/2021) menulis berita dengan judul ”Ironi Masa Pandemi, Kekayaan Pejabat Naik di Tengah Bertambahnya Penduduk Miskin”. Narasumbernya pejabat KPK, yang menyebut rata-rata harta pejabat di kementerian ataupun anggota DPR naik Rp 1 miliar dalam setahun masa pandemi.
Tak ada keterangan apakah pejabat di lingkungan Polri, TNI, jaksa, KPK, dan hakim mengalami kenaikan harta dalam setahun terakhir, dan pada masa pandemi. Padahal, mereka juga wajib lapor harta kekayaan.
Membaca berita di atas, penulis yakin sebagian publik akan berkesimpulan betapa pejabat kementerian dan anggota DPR tak punya empati pada nasib rakyat yang sedang susah. Seolah, di tengah rakyat susah, masih ”tega” menumpuk harta. Padahal, logika sederhana akan mengatakan setiap orang yang bekerja, apalagi gajinya cukup besar, pasti kekayaannya bertambah. Belum lagi nilai rumah dan tanah yang mereka miliki pasti juga naik seiring waktu. Mau ada pandemi atau tidak.
Tak lama setelah muncul berita tersebut, pada 3 Desember 2021 ada berita menarik tentang meningkatnya harta kekayaan salah satu pemimpin KPK. Dalam setahun, naik lebih dari Rp 4 miliar, pada masa pandemi juga. Lalu, ia sibuk mengklarifikasi asal-muasal penambahan hartanya itu. Inti penjelasannya, bertambahnya harta itu tak diperoleh dari melakukan hal yang ”aneh-aneh” selama jadi salah satu pemimpin KPK, tapi dia punya bisnis kos-kosan dan juga nilai tanah dan rumahnya ikut melejit, pada masa pandemi. Jadi, sah-sah saja.
Lantas, berapa harta yang wajar dimiliki oleh penyelenggara negara (PN)?
Lantas, berapa harta yang wajar dimiliki oleh penyelenggara negara (PN)? Tak ada ukurannya karena di republik yang kita cintai ini, siapa saja bisa jadi apa saja. Tak harus bersyarat kapasitas, kapabilitas, apalagi integritas. Pengusaha yang biasa berbisnis bisa jadi menteri yang mengurusi bisnis. Aktivis, LSM, penegak hukum, dan pengamat (pengamat apa saja) yang tak paham dunia bisnis bisa jadi komisaris BUMN. Dan masih banyak lagi, silakan melanjutkan sendiri profesi yang lain.
Maka, ketika ada perubahan jabatan atau posisi, kekayaan mereka tak bisa diukur dengan ukuran ”kewajaran” saat dia menjabat. Seorang penegak hukum, misalnya, bisa saja memang hartanya berlimpah karena sebelum jadi penegak hukum, dia seorang pengusaha atau bisa juga istri/suaminya seorang pengusaha, karena di Indonesia tak ada UU yang melarang pejabat bersama saudara atau turunannya berbisnis.
Apalagi, kalau bisnis itu merupakan kolaborasi antara pejabat pemerintah, penegak hukum, dan anggota DPR, maka aman sentosa bisnisnya. Tanpa takut ada penegak hukum memeras, izin lancar, dan pasti akan dengan mudah mendapat proyek yang berasal dari APBN.
Karena itu, ketika seorang pejabat sipil atau militer, penegak hukum dan sejenisnya, memiliki harta berlebih yang dianggap tak sesuai dengan profil atau gajinya, kita tak boleh suudzon atau menuduh ia korupsi. Tanpa bukti, menuduh seorang pejabat korupsi karena harta berlimpah bisa dikategorikan zalim.
Urgensi revisi UU No 28 Tahun 1999
Kita sering membaca berita KPK mengumumkan kepatuhan PN dalam melaporkan harta kekayaannya, bahkan presiden dan wapres. Kewenangan KPK melakukan itu bersumber pada UU No 28/1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Penulis meyakini UU ini dibuat untuk tujuan memberangus dan mengawasi penyelenggara negara agar tak melakukan KKN saat menjabat. Dalam Pasal 5 Ayat 3 disebutkan, setiap PN wajib melaporkan dan mengumumkan kekayaan sebelum dan setelah menjabat. Sementara definisi PN dijelaskan dalam Pasal 2, kemudian lebih dirinci dalam penjelasannya.
KOMPAS/PRADIPTA PANDU
Pengumuman Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) calon presiden dan wakil presiden di Kantor Komisi Pemilihan Umum, Jakarta, Jumat (12/4/2019).
Penjelasan Pasal 2 Ayat 7 menyebutkan, PN termasuk pejabat eselon 1 dan pejabat lain yang disamakan di lingkungan sipil, militer, dan kepolisian. Termasuk di dalamnya, dan ini tak multitafsir, jaksa, penyidik, panitera pengadilan, pemimpin, dan bendahara proyek.
Sayangnya, dalam lima tahun terakhir penulis jarang menemukan berita KPK mengumumkan kelompok PN dari anggota Polri, kejaksaan, TNI, dan KPK. Jangankan menganalisis apakah harta mereka bertambah atau berkurang pada masa pandemi, mengumumkan kepatuhannya pun hampir tidak terdengar diumumkan oleh KPK. Mungkin hanya pimpinan KPK yang bisa menjawab ”rahasia” ini.
Jika kita mengacu pada UU No 28/1999, KPK punya kewenangan penuh memeriksa, menanyakan asal-usulnya, tak sekadar mengumumkan, harta siapa saja yang termasuk dalam kluster PN. Kesaktian KPK ini, sayangnya, hanya digunakan sekadarnya saja: mengumumkan jumlah dan notifikasi kepatuhan saja. Itu pun tak semua penyelenggara negara. Aparat Polri, KPK, jaksa, dan TNI sepertinya tak jadi fokus KPK untuk diumumkan hartanya.
Di sisi lain, tujuan utama dibentuk UU No 28/1999 adalah untuk melihat apakah seorang penyelenggara negara itu tidak KKN selama menjabat dengan melihat penambahan atau perolehan hartanya selama menjabat, yakni dengan mengumumkan dan memeriksa harta pejabat saat menjabat dan ketika dia pensiun. Sesuai dengan Pasal 5 Ayat 3 UU No 28/1999, PN melaporkan dan mengumumkan sebelum dan setelah menjabat.
Kesaktian KPK ini, sayangnya, hanya digunakan sekadarnya saja: mengumumkan jumlah dan notifikasi kepatuhan saja.
Lagi-lagi, kita juga jarang membaca berita KPK mengumumkan harta seorang PN setelah dia pensiun, tak menjabat lagi. Sebut saja, misalnya, mantan Kapolri, mantan Panglima TNI, mantan Jaksa Agung, dan mantan-mantan yang lain.
Memang, ada kelemahan UU No 28/1999 ini karena tidak ada sanksi pidana apa pun kepada PN jika dia tak melaporkan harta kekayaannya ke KPK. Karena itu, lapor harta kekayaan ini seperti sunah hukumnya. Dilakukan baik, tidak dilakukan tidak ”berdosa”.
Karena itu, untuk mencapai tujuan memberangus praktik KKN, UU No 28/1999 perlu segera direvisi. Menambahkan beberapa pasal, seperti hukuman pidana kurungan penjara minimal lima tahun bagi PN yang tak melaporkan harta kekayaannya, sekaligus memberi kewenangan penuh kepada KPK untuk mengumumkan dan memeriksa dengan teliti asal-usul harta pejabat itu.
SCREENSHOT GAK-LPT ILUNI UI
Johan Budi SP
Tentu saja, setelah memperoleh kewenangan tersebut, KPK harus mengumumkan, lalu memeriksa asal-usul harta para pejabat itu. Siapa saja yang harus diperiksa? Dimulai dulu dari insan KPK, lalu lanjut ke polisi, jaksa, hakim, TNI, menteri, anggota DPR, dan seterusnya.