Jumlah sekolah inklusi masih minim, penyebarannya pun tak merata. Perlu ada kesapakatan nasional dan gerakan masyarakat untuk memberikan kesetaraan pendidikan kepada penyandang disabilitas.
Oleh
IQBAL FAHRI
·4 menit baca
Pemenuhan hak pendidikan yang setara memiliki nilai strategis dalam peningkatan kesejahteraan penyandang disabilitas di masa depan. Namun, pada kenyataannya, hal ini masih menghadapi banyak tantangan. Minimnya sekolah yang mau menerima penyandang disabilitas hingga kini menjadi kendala serius dalam pemenuhan hak pendidikan yang setara.
Sejumlah sekolah yang mau menerima pun karena ada keharusan menerima penyandang disabilitas sebesar 5 persen dari total jumlah siswa. Meskipun begitu, sekolah-sekolah tersebut tak memiliki daya sedikit pun untuk memberikan layanan pendidikan yang berkualitas bagi penyandang disabilitas. Hal ini bisa saja terjadi karena persoalan belief system dan kompetensi yang tidak memadai hingga muncul anekdot di tengah-tengah masyarakat ”sekolah hanya mampu menerima, tetapi tidak mampu melayani”.
Problem serius lainnya muncul ketika sekolah inklusi yang kebanyakan berstatus swasta mematok biaya pendidikan fantastis yang tidak mungkin dinikmati oleh penyandang disabilitas berasal dari keluarga miskin. Sementara orangtua yang mampu membayar mesti menempuh jarak yang cukup jauh untuk menyekolahkan anaknya karena sekolah inklusi terdekat tidak tersedia.
Pendidikan inklusif yang diharapkan menghadirkan kesetaraan pendidikan menghadapi problematika serius, seperti mengurai benang kusut yang membutuhkan ketelatenan dan waktu lama untuk menemukan ujung dan pangkalnya.
Kesepakatan nasional untuk disabilitas
Minimnya sekolah inklusi dan penyebarannya yang tidak merata membutuhkan waktu yang cukup panjang dan biaya yang tidak sedikit untuk pemenuhannya. Kondisi genting dan berat ini memerlukan kesepahaman melalui kesepakatan nasional yang melibatkan sebagian besar elemen bangsa sehingga lahir kesadaran, komitmen, dan kesepakatan kolektif yang mengikat untuk mentransformasikan sekolah menjadi inklusif tanpa terkecuali.
Upaya tersebut dapat meningkatkan ketersediaan sekolah inklusi dan penyebarannya yang merata. Upaya tersebut juga sekaligus menjadi langkah strategis yang cukup efektif sebagaimana dilakukan di negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, Inggris, bahkan Korea Selatan, melalui gerakan masyarakat yang mendorong terwujudnya pendidikan yang setara melalui kesepakatan nasional.
Sayangnya, peringatan Hari Disabilitas Internasional setiap tahun terkesan seremonial belaka, tidak dijadikan momentum tahunan untuk menyepakati hal-hal strategis dan mendesak dalam pemenuhan hak disabilitas.
Sayangnya, peringatan Hari Disabilitas Internasional setiap tahun terkesan seremonial belaka, tidak dijadikan momentum tahunan untuk menyepakati hal-hal strategis dan mendesak dalam pemenuhan hak disabilitas yang perkembangannya begitu dinamis dalam berbagai sektor kehidupan terlebih lagi pada sektor pendidikan.
Peluang lainnya dapat muncul melalui inisiatif Komisi Nasional Disabilitas yang baru-baru ini dilantik guna terwujudnya kesepakatan nasional untuk disabilitas. Inisiatif ini dapat pula dijadikan pintu masuk dalam menyinergikan kementerian terkait guna percepatan pendidikan inklusif yang merata dan berkualitas.
”Belief system” dan kompetensi
Jumlah sekolah inklusi yang memadai dan penyebarannya yang merata tidak berarti apa-apa tanpa penciptaan belief system para penyelenggara pendidikan dan guru. Belief system ini menumbuhkan sikap menerima dan meyakini bahwa dirinya mampu melayani semua peserta didik yang beragam, termasuk penyandang disabilitas.
Oleh karena itu, agenda perubahan pola pikir (mindset) dan peningkatan kompetensi guru secara nasional menuju pendidikan inklusif mesti secara masif diperkuat dari hulu ke hilir serta berkelanjutan. Ini baik pada saat mengikuti sesi perkuliahan, pelatihan profesi guru, diklat kepala sekolah, ataupun pada sesi pelatihan peningkatan kompetensi guru dan kepala sekolah secara berkala.
Perlu diingat, agenda perubahan pola pikir dan peningkatan kompetensi guru sehingga mewujudkan keyakinan dan kemampuan dalam melayani pendidikan inklusif yang berkualitas merupakan pekerjaan berat dan panjang. Melalui dukungan penuh pemerintah dan pelibatan masyarakat secara integratif, pekerjaan berat dan panjang ini dapat secara bertahap akan membawa keberhasilan.
Hal penting lainnya yang tidak boleh diabaikan adalah kemampuan sekolah dan guru dalam melakukan kolaborasi. Kolaborasi dalam pendidikan inklusif merupakan kebutuhan dan keniscayaan.
Kolaborasi menjadi ujung tombak keberhasilan belajar bagi penyandang disabilitas karena tingginya tingkat kompleksitas yang akan dihadapi guru dan sekolah. Oleh karena itu, keterampilan kolaborasi bagi kepala sekolah, guru, guru pembimbing khusus, dan orangtua berperan penting dalam mendorong kemajuan belajar, penciptaan suasana belajar yang kondusif, penyelesaian masalah, ataupun intervensi yang diperlukan selama proses belajar di sekolah.
Kolaborasi menjadi ujung tombak keberhasilan belajar bagi penyandang disabilitas karena tingginya tingkat kompleksitas yang akan dihadapi guru dan sekolah.
Pada sisi yang lain, sekolah memerlukan dukungan eksternal sebagai penguat kolaborasi, seperti dukungan tenaga medis, terapis, psikolog, dan pusat sumber (resource center) terdekat dalam turut serta menangani problem kesehatan fisik, mental, dan aksesibilitas penyandang disabilitas yang akan memengaruhi mood dan pencapaian belajarnya. Semua bentuk kolaborasi tersebut mesti ada dan terjadi pada proses pelayananan pendidikan inklusif yang berkualitas.
Kompleksitas yang dihadapi oleh sekolah inklusi, sebagaimana diuraikan di atas, merupakan sebagian persoalan penting yang membutuhkan kesadaran, kesepakatan kolektif, langkah strategis, dan dukungan penuh semua pihak yang berkepentingan agar akses pendidikan yang setara dan berkualitas dapat mengantarkan keberhasilan belajar yang berujung pada kesejahteraan penyandang disabilitas pada masa depan. Pada akhirnya, penyandang disabilitas dapat bersekolah di dekat tempat tinggalnya, mengenyam pendidikan setinggi-tingginya, dan mendapatkan layanan pendidikan berkualitas, apa pun keberagaman ekonominya.
Iqbal Fahri, Wakil Ketua Pokja Pendidikan Inklusif Kabupaten Bogor; Kepala SMP Daar el-Salam (Sekolah Inklusi) Gunungputri, Kabupaten Bogor; Konsultan dan Pengembang Sekolah Inklusi