Penulis berhasil meyakinkan pembaca tentang argumen kuncinya bahwa teknologi dan infrastruktur bukan sekadar persoalan teknis semata, di dalamnya terdapat persoalan budaya, sejarah, dan kehidupan sosial masyarakat.
Oleh
ANDI ACHDIAN
·4 menit baca
Malam yang gemerlap di kota-kota besar di koloni Hindia Belanda awal abad ke-20 dapat dikatakan menjadi tanda yang tegas pemisah zaman dengan abad-abad sebelumnya. Keramaian malam hari untuk kanak-kanak bermain tidak lagi harus menunggu waktu tibanya bulan purnama, tetapi ketika senja beranjak dan lampu-lampu kota mulai menyala.
Seperti penemuan teknologi mesin uap yang mendorong kereta dan kapal bergerak lebih cepat dibanding kereta kuda, penerapan teknologi listrik di koloni menjadikan pandangan visual di sekitar alun-alun tempat warga kota berkumpul menjadi lebih jelas seperti siang hari.
Seperti disampaikan penulis buku ini, penerapan teknologi listrik telah melahirkan sebuah budaya perkotaan dengan hiburan, kegiatan kebudayaan, seni, pergulatan intelektual, dan budaya angkringan di kota-kota besar. Listrik juga memperkuat kesadaran tentang konektivitas global di kalangan budayawan ketika ”setum, listrik, dan mesin” semakin melekatkan dunia Timur dan Barat.
Kontestasi
Buku berjudul Jejak Listrik di Tanah Raja: Listrik dan Kolonialisme di Surakarta 1901-1957 memang layak disambut hangat para sejarawan dan pembaca umum di Indonesia. Pertama, buku ini memberikan catatan yang cukup lengkap tentang bagaimana teknologi modern (sering kali dianggap sebagai produk Barat) menjejakkan kaki di koloni.
Kedua, ia memperkaya perdebatan di antara para sejarawan tentang dimensi perkembangan teknologi di koloni-koloni Eropa di Asia dan Afrika, antara mereka yang memandang kehadiran teknologi seperti mesin uap, senjata api, telegraf, dan listrik sebagai alat imperial (tools of empire), dan pihak lainnya yang memandang ”konteks lokal” memiliki peran lebih penting dalam menentukan arah dan perkembangan teknologi dibandingkan sekadar mewakili ambisi kekuatan imperial abad ke-19 dan awal abad ke-20.
Meski tidak menafikan persinggungannya dengan kekuatan modal dan politik kolonial, buku setebal 278 halaman ini membawa pembaca pada aspek kedua ketika konteks lokal memberi warna terhadap arah perkembangan listrik di kota Surakarta selama lima dekade berselang.
Dengan judul Listrik dalam Kontestasi Kolonial yang membentuk bahasan dalam bab 3 buku ini, Eko Sulistyo menampilkan sosok-sosok bukan Eropa seperti Raja Mangkunegaraan VI dan kemudian Mangkunegaraan VII serta Pakubuwono XI, termasuk Kapitan China Be Kwat Koen, yang turut meramaikan investasi pengembangan listrik di Surakarta yang melatari kelahiran Solosche Electriciteits Maatschappij (SEM).
Penulis menyampaikan bagaimana persoalan investasi usaha listrik di sini bukan sekedar bagaimana membuat kota terang benderang dan kerajaan menjadi lebih gemerlap, melainkan juga mencakup persoalan kuasa terkait kedudukan para raja tradisional tersebut dengan rakyatnya, dan juga masa depan kerajaan.
Khususnya dalam lingkungan Kerajaan Mangkunegaraan, kita telah mendapatkan gambaran menarik sebelumnya tentang keterlibatan mereka dalam menguasai teknologi dan modal dalam pengembangan usaha pabrik gula Colomadu, dan kemudian listrik, yang mengesankan semangat transformasi para penguasa Shogun Jepang yang beralih menjadi industrialis setelah restorasi Meiji.
Dalam bab-bab selanjutnya buku ini, kita juga mendapatkan gambaran menarik tentang peralihan yang terjadi ketika Jepang dalam waktu singkat menduduki Indonesia yang menyebabkan kemunduran SEM dan semakin memudar dengan kebijakan nasionalisasi pemerintahan Republik Indonesia setelah revolusi kemerdekaan.
Sebagai sebuah kajian sejarah buku ini memang bukan pionir.
Historiografi
Sebagai sebuah kajian sejarah, buku ini memang bukan pionir. Namun, kedalaman sumber yang digunakan menjadikannya lebih unggul dibandingkan karya-karya sebelumnya.
Penulis telah mendapatkan ”harta karun” sumber primer dalam Koleksi Perpustakaan Reksopustoko Mangkunegaraaan berupa bundel korenspondensi pihak Mangkunegaraan dan Kasunanan dengan SEM menyangkut persoalan manajemen dan kebijakan-kebijakan penting dari soal penentuan tarif, pemasangan sambungan, perizinan, kontrak, dan lainnya yang memberi petunjuk penting tentang kontestasi politik kolonial yang dilakukan para aktor yang terlibat dalam menjalankan perusahaan listrik tersebut. Sumber tersebut menjadikan buku ini sebagai sumbangan penting dalam historiografi teknologi dan kebudayaan dalam sejarah Indonesia.
Dengan rincian tersebut, penulis berhasil meyakinkan pembaca tentang argumen kuncinya bahwa teknologi dan infrastruktur bukan sekadar persoalan teknis semata, tetapi di dalamnya terdapat persoalan budaya, sejarah, dan kehidupan sosial masyarakat. Pandangan ini memang perlu menjadi tekanan penting bagi para pembuat kebijakan negeri ini yang belum terbiasa menggunakan kajian sejarah dalam agenda-agenda pengembangan teknologi dan pembangunan (baca: investasi) sampai kemudian masalah datang menghantui.
Di luar gambaran tentang kebudayaan populer masyarakat perkotaan, ada pembahasan yang hilang terkait kemeriahan panggung politik antikolonial yang mewarnai kota Surakarta pada dua dekade awal abad ke-20. Beberapa kajian sebelumnya telah menunjukkan bahwa Surakarta adalah ”arena” penting dalam periode zaman bergerak ketika perang suara antara yang berkuasa dan dikuasai terjadi. Bukankah dalam perang suara tersebut diperlukan juga mesin-mesin cetak yang bergerak karena kehadiran enerji listrik?
Andi AchdianSejarawan
Data Buku
Judul buku: Jejak Listrik di Tanah Raja: Listrik dan Kolonialisme di Surakarta 1901-1957