Kestabilan merupakan salah satu komponen kunci dalam mewujudkan ekonomi yang lebih baik. Ini bisa dicapai melalui kebijakan moneter yang preemptive.
Oleh
Kristianus Pramudito Isyunanda
·4 menit baca
”To take away the punch bowl just as the party gets going”. Begitulah ekspresi lugas William McChesney Martin Jr, pemimpin bank sentral AS (United States Federal Reserve System) periode 1951-1970, dalam menerangkan fungsi utama kebijakan moneter. Saat ekonomi ”berpesta”, bank sentral sebagai otoritas moneter bertanggung jawab mengendalikan ”pesta” agar tak terlampau ”panas”.
Dengan kata lain, kebijakan moneter bersifat kontrasiklikal. Pernyataan Martin itu menjadi jargon dalam praktik kebijakan moneter di seluruh dunia. Misi utama kebijakan moneter adalah mengendalikan gejolak dalam siklus perekonomian. Dalam kondisi pertumbuhan ekonomi tinggi, kebijakan moneter berfungsi sebagai ”rem” agar ekonomi tidak terlampau agresif dan mengganggu kestabilan.
Dalam pertemuan tahunan Bank Indonesia (BI), 24 November lalu, Gubernur BI Perry Warjiyo menegaskan, respons kebijakan moneter 2022 akan mengarah pada kebutuhan stabilitas. Di tengah pemulihan yang terus berlangsung, sinyal kebijakan moneter berperan penting bagi perbankan dan dunia bisnis.
Di tengah pemulihan yang terus berlangsung, sinyal kebijakan moneter berperan penting bagi perbankan dan dunia bisnis.
Respons suku bunga
Jika dicermati, BI memberikan sinyal kebijakan moneter yang longgar selama pandemi berlangsung. Hal itu terlihat dari pergerakan suku bunga acuan yang masih dipertahankan rendah sejak awal pandemi Covid-19.
Di tengah inflasi yang masih diproyeksikan rendah dan stabil, kebijakan suku bunga rendah akan cenderung dipertahankan hingga terjadi tanda kenaikan inflasi. Efektivitas penguatan transmisi suku bunga acuan ke perbankan melalui transparansi suku bunga dan fokus pendalaman pasar uang masih perlu diperhatikan di tahun depan.
Di samping suku bunga acuan, BI menggunakan kebijakan intervensi tripel dalam pengendalian moneter. Kebijakan itu bertujuan menjaga kestabilan nilai tukar rupiah lewat intervensi di pasar spot, domestic non-deliverable forward (DNDF), dan pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder. BI tergolong berhasil mengelola gejolak nilai tukar semasa pandemi.
Metode intervensi tripel masih patut dipertahankan di 2022 guna mengantisipasi tekanan nilai tukar. Penguatan pasar DNDF sebagai bagian dari paket intervensi tripel terbukti mampu meredistribusi transaksi pasar spot dan mendorong perbankan kian aktif bertransaksi lindung nilai. Cara itu pun efektif mengurangi beban cadangan devisa dalam upaya menstabilkan nilai tukar dan mendukung pendalaman pasar valas.
Antisipasi tekanan global
Dinamika yang patut diantisipasi dalam menetapkan kebijakan moneter 2022 adalah normalisasi kebijakan likuiditas global. Seperti halnya BI, banyak bank sentral di negara -negara maju menerapkan kebijakan moneter longgar dan mengucurkan stimulus likuidi -tas demi menopang ekonomi yang terdampak pandemi.
Kebijakan likuiditas kala pandemi di beberapa negara maju, seperti AS, pun mulai menunjukkan konsekuensi berupa tekanan inflasi, seiring pemulihan yang lebih cepat. Kondisi itu mendorong otoritas berancang-ancang melakukan normalisasi kebijakan.
Respons kebijakan BI di 2022 perlu bertitik berat pada kebijakan nilai tukar guna mengantisipasi tekanan agar stabilitas eksternal tetap terjaga. Komunikasi kebijakan bank sentral AS yang diarahkan untuk menghindari efek tantrum atas normalisasi kebijakan harus dicermati secara baik. Sinergi dengan otoritas fiskal dan implementasi strategi operasi moneter yang efektif diperlukan demi menjaga tetap menariknya imbal hasil SBN yang kompetitif di tengah potensi perubahan dinamika global.
Kelebihan likuiditas yang sangat besar di perbankan sebagai dampak kebijakan moneter longgar semasa pandemi perlu menjadi perhatian di 2022. Ekses likuiditas sejatinya adalah akar dari berbagai problematika makroekonomi.
Normalisasi kebijakan
Respons kebijakan dalam mengatasi dampak pandemi dapat menimbulkan dinamika yang sama dengan ”jebakan likuiditas” ala John Maynard Keynes. Menurut Keynes, sang proklamator ekonomi sisi permintaan asal Inggris, solusinya adalah kebijakan fiskal yang imperatif agar likuiditas terserap di sektor produktif.
Di sisi moneter, ekses likuiditas perbankan perlu diatasi dengan normalisasi dari pelonggaran kebijakan.
Di sisi moneter, ekses likuiditas perbankan perlu diatasi dengan normalisasi dari pelonggaran kebijakan. Kontraksi operasi moneter dan kenaikan giro wajib minimum dapat menjadi opsi.
Namun, normalisasi kebijakan moneter harus dilakukan secara terukur dan prudent agar tak mengganggu kemampuan bisnis perbankan dan perlu mempertimbangkan potensi merebaknya varian Omicron Covid-19 yang bisa kembali memberikan tekanan pada permintaan agregat.
Kebijakan moneter tahun 2022 perlu tetap berbasis bauran dengan kebijakan makroprudensial dan sistem pembayaran, serta upaya pendalaman pasar uang dan percepatan digitalisasi ekonomi-keuangan yang inklusif dan juga berkelanjutan. Basis bauran kebijakan ini dapat secara komprehensif mendorong percepatan pemulihan ekonomi dengan kestabilan tetap terjaga. Sinergi BI dengan pemerintah dan otoritas lain diperlukan untuk bersama-sama mengawal pemulihan ekonomi.
Kestabilan merupakan salah satu komponen kunci dalam mewujudkan ekonomi yang lebih baik. Ini bisa dicapai melalui kebijakan moneter yang preemptive. Kita patut menyambut optimistis arah kebijakan moneter BI di 2022 yang akan mendukung terciptanya ekonomi Indonesia yang makin kuat dan stabil.
(Kristianus Pramudito Isyunanda,Penasihat Hukum di Departemen Hukum, Bank Indonesia)