Asa dan Pengorbanan di Akhir Tahun Anggaran
Ada yang mesti dikorbankan demi wajah pemerintah agar defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tak terus bertahan di atas 3 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).
Apocalypto adalah ritual pengorbanan di siang bolong paling menakutkan.
Demi kelangsungan bangsa Maya, sekelompok suku kecil mesti dikorbankan untuk dewa. Film berlatar Yucatan, Meksiko, dan disutradarai Mel Gibson, 2006.
Ada yang mesti dikorbankan demi wajah pemerintah agar defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tak terus bertahan di atas 3 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Pemerintah diuber target konsolidasi fiskal 2023, di mana defisit harus kembali ke level 3 persen terhadap PDB, seturut dengan upaya untuk menahan laju rasio utang terhadap PDB, melalui penghentian penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) baru.
Belum lekang dari kepala, drama politik anggaran, lahirnya Peraturan Pemerintah No 1 Tahun 2020 tentang Pemulihan Ekonomi Nasional/PEN (sebagai pengganti APBN Perubahan 2020—tanpa persetujuan DPR). Semua mengamini itu, demi menjadikan APBN sebagai ”countercyclical (kontrasiklikal). Ada yang perlu dikorbankan, wajah DPR sendiri!
Kendati APBN Perubahan 2020 adalah proksi parlemen, selaku wakil rakyat, tetapi kelangsungan suatu bangsa mesti diselamatkan sebagaimana pengorbanan di bukit Apocalypto. Di balik asa, selalu ada risiko dan pengorbanan.
Atas dasar mantra ”APBN sebagai countercyclical,” muatan ekonomi menjadi benar-benar Keynesian.
Atas dasar mantra ”APBN sebagai countercyclical,” muatan ekonomi menjadi benar-benar Keynesian. Bentuk penasbihan Keynesian adalah menganjurkan meningkatkan pengeluaran pemerintah dan menurunkan pajak untuk merangsang permintaan (effective demand). Ekspansi fiskal serta subsidi bunga kredit untuk UMKM dan insentif pajak korporasi jorjoran adalah langkah yang dipilih. Toleransi defisit di atas 3 persen terhadap PDB menjadi permisif.
Tak pelak, realisasi belanja APBN hingga Oktober 2021 mencapai Rp 2.058 triliun. Hanya tumbuh 0,8 persen dari tahun lalu atau 74,9 persen dari outlook Rp2.790,4 triliun. Lantas, tinggal sisa dua bulan berikutnya, segala upaya dan kuasa dikerahkan merealisasikan Rp 732,4 triliun dari outlook belanja 2021. Ini pekerjaan sungguh berat bagi pemerintah.
Implikasi pengetatan
Salah satu media mengulas judul menarik, ”Belanja Ditahan, Pemulihan Ekonomi Stagnan”. Di rapat kabinet, gestur Presiden tampak serius. Sorot mata lebarnya melampaui pipi cekungnya. Tegas, menyasar ke hadirin, anak buahnya. Dengan suara datar, Presiden bertitah, ”Saya minta, sudah November, mau masuk Desember, percepat realisasi anggaran.” Hadirin tertegun. Sorot mata Jokowi kian tajam, memaksa anak buahnya di Paripurna Sidang Kabinet (17/11/2021).
”Kesannya”, alokasi pemerintah pusat ke daerah ditahan-tahan. Ada pos anggaran dana alokasi umum (DAU) dan dana bagi hasil (DBH) 90 pemerintah daerah yang ditahan.
Alasannya bermacam-macam, yang sifatnya administratif. Inilah yang menahan laju distribusi transfer ke daerah dan dana desa (TKDD), yakni hanya Rp 642,6 triliun sepanjang Januari-Oktober 2021. Turun 7,9 persen dibandingkan dengan tahun lalu (riset Bisnis Indonesia, 17/11/2021).
Turunnya alokasi TKDD pada APBN 2021 sebesar 7,11 persen (dari alokasi 2020 Rp 856,9 triliun) menyibak tanya seputar makna desentralisasi fiskal. Di saat yang sama, belanja Polri dan pertahanan meningkat eksponensial di fase force majeure pandemi Covid-19.
Argumen paling dasarnya, salah satu fungsi APBN adalah fungsi distribusi. Realisasi TKDD adalah instrumen fiskal untuk pemerataan PEN. Oleh sebab itulah, mantra ”APBN sebagai countercyclical” diucapkan demi keselamatan suatu bangsa meski marwah DPR dan UUD 1945 dipertaruhkan.
Minggu lalu, awal November 2021, sekelompok Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Kabupaten Alor, NTT, datang ke Jakarta, mengeluhkan kecilnya alokasi dana alokasi khusus (DAK). Merenda asa, berharap, ada ”mulut kuasa” yang menyambungkan mereka ke bukit Apocalypto, tempat dewa bersemayam. Melakukan advokasi fiskal. Entah bagaimana selanjutnya kisah sedih itu.
Baca juga : APBN 2022 Diharap Dapat Mengantisipasi Ketidakpastian Ekonomi akibat Pandemi Covid-19
Dana menganggur
Penyakit makin gemuknya dana menganggur (idle) di bank-bank daerah/BPD juga patologi yang anomali. Padahal, realisasi anggaran melahirkan alur pertumbuhan yang bottom-up dan merata. Namun, pertumbuhan demikian emoh terjadi. Desentralisasi fiskal sebagai alat pemerataan pemulihan ekonomi stuck.
Dua soal ada di depan kita, pagu desentralisasi fiskal yang terkoreksi dan tak maksimalnya daerah menyerap TKDD. Rakyat di daerahlah korbannya!
Tak pelak, makin intens belanja diperlambat (dengan berbagai argumen), berdampak pada makin gemuknya saldo anggaran lebih (SAL). Bila kembali ke data historis, tercatat, dalam Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) 2020, SAL akhir—sebagai penjumlahan dari SAL awal, penggunaan SAL, sisa lebih pembiayaan anggaran (silpa)/sisa kurang pembiayaan anggaran (sikpa), dan penyesuaian SAL—meningkat menjadi Rp 388,11 triliun (82,47 persen) dari SAL akhir 2019 sebesar Rp 212,69 triliun. Data historis SAL terus meningkat sejak tahun anggaran 2017.
Baru-baru ini, beberapa koran merilis, pemerintah menggunakan SAL untuk membeli SBN.
Baru-baru ini, beberapa koran merilis, pemerintah menggunakan SAL untuk membeli SBN. Tujuannya baik, merangsang permintaan SBN. Demikian pula pendalaman serta menggairahkan pasar keuangan domestik (mitigasi tapering The Fed). Bukankah ketika pasar global terdisrupsi, kembali ke rantai pasok pasar domestik adalah cara terbaik? Saya setuju. Namun, kita dijejali antrean pertanyaan lain, bukankah hakikat ekspansi fiskal adalah sebagaimana mantra ekonomi Keynesian?
Dalam film Apocalypto, Paw, si Cakar Jaguar, berlari menghindari tumbal dari bukit pengorbanan. Akar, batang, dan daun di belantara dijadikan senjata (natural weapon) dan sumber daya melawan tentara dewa. Ia lari dari pengorbanan demi menyelamatkan nyawa lain, keluarga dan sukunya. Belanja (APBN) dan penyerapannya adalah alat pemerataan, pemulihan, dan penyelamatan.
Dan John Maynard Keynes berkata, I myself was impressed by the enormous social benefits of increasing the stock of capital until it ceased to exist. Keynes terkesan pada manfaat sosial yang besar dari meningkatkan persediaan modal sampai tidak ada lagi. Wallahualam.
(Abdul Munir Sara, Tenaga Ahli Anggota DPR RI Komisi XI)