APBN 2022 Diharap Dapat Mengantisipasi Ketidakpastian Ekonomi akibat Pandemi Covid-19
“Di 2022 kita tetap harus mempersiapkan diri menghadapi risiko Covid-19 yang membayangi dunia dan negara kita,” tutur Presiden Joko Widodo.
Oleh
Nina Susilo
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 ditambah kemunculan varian baru virus SARS-CoV-2 membuat perekonomian pada tahun 2022 dipenuhi ketidakpastian. Karena itu, APBN 2022 diharapkan mampu mengantisipasi dan memitigasi segala kemungkinan sedini mungkin. Dengan demikian, reformasi struktural dan pemulihan ekonomi nasional tetap berjalan.
Pesan ini disampaikan Presiden Joko Widodo dalam pengarahan sebelum penyerahan daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) dan buku transfer ke daerah dan dana desa di Istana Negara, Jakarta, Senin (29/11/2021). ”Di 2022 kita tetap harus mempersiapkan diri menghadapi risiko Covid-19 yang membayangi dunia dan negara kita,” kata Presiden. Hadir pula dalam acara ini Wakil Presiden Ma’ruf Amin.
Selain itu, menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam laporannya, pemulihan ekonomi 2022 juga dibarengi risiko baru yang harus dikelola seperti volatilitas harga komoditas dan tekanan kenaikan inflasi, implikasi kenaikan suku bunga di negara maju terutama Amerika Serikat, rebalancing ekonomi Tiongkok, disrupsi rantai pasok, dan dinamika geopolitik.
Oleh karena itu, Presiden meminta antisipasi dan mitigasi harus disiapkan sedini mungkin. Dengan demikian, program reformasi struktural dan pemulihan ekonomi nasional tidak terganggu. APBN 2022 juga dirancang agar pelaksana bisa selalu berinovasi, responsif, antisipatif, dan siap dengan perubahan yang terjadi. Namun, tata kelola pemerintahan yang baik harus tetap dijaga.
Diharapkan, APBN 2022 memiliki peran sentral, apalagi Indonesia memegang presidensi G-20. Karena itu, Indonesia perlu menunjukkan kemampuan dalam menghadapi perubahan iklim, terutama dalam pengurangan emisi dan gerakan perbaikan lingkungan secara berkelanjutan. Aksi nyata komitmen pada ekonomi hijau dan berkelanjutan juga perlu ditunjukkan.
APBN 2022 juga harus mendorong kebangkitan ekonomi nasional dan mendukung reformasi struktural. Karena itu, APBN fokus pada enam kebijakan utama, yakni melanjutkan pengendalian Covid-19 dengan tetap prioritas sektor kesehatan; keberlanjutan program perlindungan sosial untuk masyarakat kurang mampu dan rentan; peningkatan SDM unggul; kelanjutan pembangunan infrastruktur dan peningkatan kemampuan adaptasi teknologi; penguatan desentralisasi fiskal untuk peningkatan dan pemerataan kesejahteraan; serta peningkatan reformasi penganggaran agar belanja lebih efisien.
Di 2022 kita tetap harus mempersiapkan diri menghadapi risiko Covid-19 yang membayangi dunia dan negara kita.
Kendati diliputi ketidakpastian, Sri Mulyani juga menyampaikan, ekonomi Indonesia di 2022 diproyeksi mampu melanjutkan pemulihan ekonomi. Penanganan pandemi di masa penyebaran varian Delta yang cukup efektif dinilai sebagai salah satu modal dalam menghadapi galur baru, Omicron. Apalagi, vaksinasi terus berjalan.
Instrumen APBN sepanjang 2020 dan 2021 juga dinilai mampu mendukung penanganan dan pengendalian Covid-19. Perlindungan masyarakat melalui bantuan sosial yang diperluas serta membantu UMKM dan korporasi akan dilanjutkan.
Defisit 4,85 persen
APBN 2022 juga masih dirancang tetap mengantisipasi pandemi yg belum berakhir. ”APBN 2022 masih bersifat ekspansif untuk meneruskan fungsi countercyclical tetapi dengan tetap memperhatikan risiko dan menjaga sustainabilitas fiskal dalam jangka menengah panjang,” tambah Sri Mulyani.
APBN 2022 akan terdiri atas belanja negara senilai Rp 2.714,2 triliun, yang terdiri dari belanja pemerintah pusat Rp 1.944,5 triliun dan TKDD Rp 769,6 triliun. Pendapatan negara senilai Rp 1846,1 triliun yang berasal dari pajak Rp 1.510 triliun, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp 335 triliun, dan hibah Rp 0,6 triliun.
Dalam penjelasan seusai penyerahan DIPA, Sri Mulyani menjelaskan pendapatan dari sisi perpajakan sebesar Rp 1.510 triliun akan terdiri dari Rp 1.265 triliun perpajakan dan Rp 245 triliun kepabeanan. ”Angka ini terlihat relatif bisa dicapai karena pada 2021, kedua target penerimaan pajak dan kepabeanan diperkirakan bisa dilewati di atas target,” tambahnya.
Dengan reformasi perpajakan yang dilakukan, rasio penerimaan pajak juga diharapkan akan mencapai 10,14 persen dari GDP pada 2025.
Untuk PNBP senilai Rp 335,6 triliun yang lebih rendah dari realisasi tahun 2021 ini, menurut Sri Mulyani, disebabkan harga komoditas yang kerap berubah dan tidak stabil dalam jangka panjang. Kementerian Keuangan pun memperkuat koordinasi dengan kementerian/lembaga terutama berkaitan dengan PNBP yang bersumber dari kementerian/lembaga, badan layanan umum, dan deviden kekayaan negara yang dipisahkan
Dengan belanja dan pendapatan tersebut, APBN 2022 masih akan defisit 4,85 persen dari PDB atau Rp 868 triliun. Defisit ini dinilai menurun ketimbang 2020 yakni 6,14% dari PDB dan perkiraan 5,1-5,4% dari PDB tahun 2021 ini.
Namun, defisit di atas 3 persen pada 2022 adalah tahun terakhir yang diperbolehkan sesuai Undang-undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Pandemi Covid-19. Karena itu, pemulihan ekonomi dan konsolidasi fiskal secara bertahap perlu terus dilanjutkan.
Untuk mengatasi defisit ini, Sri Mulyani menjanjikan pemerintah akan menjaga pembiayaan secara hati-hati. Optimalisasi surat berharga negara (SBN) retail, penguatan retail investor baik dari luar dan dalam negeri, penguatan pembiayaan nonutang seperti saldo kas dan SILPA akan diterapkan. Waktu lelang surat berharga akan disesuaikan dinamika global secara berhati-hati. Selain itu, koordinasi dengan Bank Indonesia dan otoritas terkait akan dijaga.
Secara umum, menurut Sri Mulyani, belanja pemerintah pusat senilai Rp 1.945 triliun akan difokuskan pada peningkatan kualitas SDM, sektor kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur. Belanja di sektor pendidikan mencapai Rp 542,8 triliun; kesehatan Rp 255,4 triliun; perlindungan sosial Rp 431,5 triliun; infrastruktur Rp 365,8 triliun; ketahanan pangan Rp 92,2 triliun; pariwisata Rp 10,2 triliun; dan teknologi informasi komunikasi Rp 25,4 triliun.
Adapun untuk TKDD senilai Rp 769,6 triliun, pemerintah pusat akan memperkuat koordinasi dengan pemerintah daerah. Perbaikan dari sisi penyaluran ataupun penggunaan akan dilakukan.
APBN 2022 ini disusun dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 5,2 persen; inflasi 3 persen; nilai tukar rupiah Rp 14.350 per dollar AS; suku bunga SBN 10 tahun 6,8 persen; dan harga minyak 63 dollar AS per barrel.
Adapun sasaran-sasaran yang akan dicapai pada 2022 adalah tingkat pengangguran 5,5-6,3 persen; tingkat kemiskinan 78,5-9 persen; rasio indeks gini 0,376-0,378; indeks pembangunan manusia 73,41-73,46; nilai tukar petani 103-105; dan nilai tukar nelayan 104-106.
Untuk memastikan APBN 2022 mampu mendukung pemulihan ekonomi nasional, tambah Sri Mulyani, langkah reformasi struktural terus dilakukan baik dalam bentuk penguatan kelembagaan, debirorkratisasi,dan dukungan sektoral yang mendukung konektivitas dan mobilitas. Reformasi juga ditujukan untuk memperkuat kualitas pembangunan SDM melalui perlindungan kesehatan, sosial, dan pendidikan. Dari sisi keuangan negara, reformasi perpajakan dilakukan baik dari sisi administrasi maupun sisi kebijakan.
Reformasi penganggaran 2022 dilakukan untuk mendorong belanja agar lebih efisien, memperkuat sinergi pusat daerah, dan fokus pada program prioritas, serta mengantisipasi kondisi ketidakpastian. Sri Mulyani mengatakan, data yang kuat, terintegrasi, dan tepercaya akan menjadi kunci.